OLEH
WAYNEY K. HOY
(RUTGERS UNIVERSITY)
CECIL G. MISKEL
(UNIVERSITY OF MICHIGAN)
PENERJEMAH
SYARQAWI DHOFIR
PENGANTAR PENERJEMAH
Saya berterimakasih dan bersyukur kepada Allah SWT. Berkat persetujuanNya buku ini selesai dan berkat bimbinganNya buku ini rampung. Semangat menyelesaikan dan menerjemahkan buku ini juga tak lepas dari jasa Rasulullah SAW yang membimbing ummatnya untuk selalu haus ilmu, dan menempatkan belajar sebagai ibadah yang bernilai tinggi. Karena itu saya ucapkan, semoga penghormatan, berkah dan kedamaian Allah senantiasa mengabadi dalam perjalanan beliau menghadap Allah SWT, Kekasih yang selalu mengasihani beliau. Kemudian terimakasih ini saya sampaikan juga pada siapa saja yang telah berjasa kepada penerjemah, langsung atau tak langsung. Jazakumullah khairal jaza’.
Buku ini sebenarnya berasal dari buku Educational Administration: Theory, Research and Practice, karya Wayne K. Hoy, dari Rutgers University dan Cecil G. Miskel, dari University of Michigan, pada bab 12, “The Organizational Effectiveness of Schools”, halaman 373-408, edisi ke-4, cetakan McGraw-Hill.Inc, New York, tahun 1991.
Sengaja diterjemah berseri dan setiap seri adalah satu bab dari buku itu, karena pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan kemudahan praktis, seperti gampang dibawa, mudah dibaca di mana-mana, dan lain-lain. Selain dua alasan itu tidak ada lagi. Apakah bisa buku ini diterjemah demikian? Jawabnya bisa. Antara satu bab dengan bab lainnya memang ada hubungan, tetapi sama sekali tidak mengurangi keutuhan masalah yang dibahas pada setiap babnya yang lebih bersifat tematik. Artinya setiap bab berisi satu tema atau subjek pendidikan yang berbeda-beda. Bisa dibaca secara terpisah dari bab lain. Memang ada hubungan antar bab, namun hubungan itu hanyalah karena pendidikan di semua aspek dan temanya adalah satu hal.
Seperti lazimnya buku terjemahan, alih bahasa selalu mengalami hambatan perbedaan karakteristik dan rasa bahasa. Maka dalam keadaan yang demikian, diambil jalan terdekat yang memudahkan kepada pemahaman yang sebenarnya. Selanjutnya bila ada penerjemahan yang salah, karena apa saja, saya memohon maaf. Karena kesalahan itu dibuat insya-Allah di luar kesadaran. Semata terjadi karena kekurangan manusia.
Terakhir saya berharap kepada Allah, mudah-mudahan penulisan terjemahan ini memberi manfaat bagi para pelaku pendidikan formal maupun informal dan siapapun yang membacanya. Kedua saya berdoa, semuga menjadi sebagian amal penulis yang bisa menyertainya hingga kelak akhir menutup mata menuju ke haribaan Yang Maha Adil dan Maha Pintar, dan tidak menjadi penyebab terjadinya adzab Allah, baik karena kesalahan buku ini maupun karena perilaku dan sikap penulis yang berkaitan dengan ilmu yang ada di buku ini, amien ya Rabbal ‘alamien.
Prenduan , 21 Juni 2010
DAFTAR ISI
I. PENGANTAR
II. PENDEKATAN TEORITIK KEEFEKTIFAN ORGANISASI
A. Model Tujuan Keefektifan Sekolah
1. Pembatasan dan Tipe Tujuan
2. Asumsi dan Generalisasi
3. Kritik terhadap Pendekatan Model Tujuan
B. Model Sumber Sistem Keefektifan Organisasi
1. Definisi
2. Asumsi dan Generalisasi
3. Kritik Terhadap Model Sumber Sistem . .
C. Integrasi dan Perluasan Model Tujuan dan Model Sumber Sistem
1. Dimensi Waktu
2. Konstituen Ganda
3. Kriteria Ganda
D. Sebuah Model yang Telah Dintegrasikan:
III. RISET BERDASARKAN KRITERIA KEEFEKTIFAN PILIHAN
A. Adatabilitas (Kemampuan Menyesuaikan)
1. Ukuran
2. Peneltian
B. Pencapaian
1. Ukuran
2. Penelitian .
C. Kepuasan Kerja
1. Ukuran
2. Riset
D. Minat Hidup Fokus
1. Ukuran
2. Riset
E. Keseluruhan Keefektifan Keorganisasian
1. Ukuran
2. Riset
IV. SUMBER-SUMBER KONSEPTUAL DAN APLIKASINYA
A. Pengantar
B. Strategi Pengembangan Keorganisasian Tentang Perubahan Yang Direncanakan
1. Merubah Individu
2. Merubah Struktur Sekolah
3. Merubah Teknologi
4. Merubah Lewat Umpan Balik Survey
.
C. Sebuah Sampel Program Perubahan yang Direncanakan di SEkolah Tinggi Urban
V. RINGKASAN
Keefektifan organisasi adalah masalah utama analisis-analisis keorganisasian dalam bentukmnya yang beranekaragam.
Richard H. Hall
“Effectiveness Theory
and Organization Effectiveness”
PENGANTAR
Keefektifan organisasi adalah sebuah teka-teki. Pada saat makna dan ukurannya ambigu ia menjadi sebuah konsep sentral analisis keorganisasian. Keefektifan adalah titik puncak sekaligus titik nadir dalam riset keorganisasian. Disebut titik puncak karena semua teori keorganisasian dan praktek manajemen bertujuan mengidentifikasi dan memroduk performan yang efektif. Disebut titik nadir karena tak pernah ada teori yang sah untuk keefektifan keorganisasian dan tak pernah ada daftar formulasi kriteria yang dipandang mesti atau cukup untuk mengevaluasi konsep (Cameron, 1984, 236)
Walaupun kebingungan melakukannya, pentingnya mendefinisikan dan mengukur keefektifan organisasi bagi sekolah nampak jelas, Bila para pendidik, para pendukung sekolah (sejenis komite sekolah) atau para pemegang kebijakan berkumpul, topik pembicaraan yang paling sering dan paling menonjol adalah keefekfan sekolah. Istilah-istilah seperti “akuntabilitas” (tanggungjawab), “pencapaian akademik”, “tes kompetensi pendidik”, “tingkat siswa droup out”, “kepuasan terhadap profesi guru” dan “kecerdasan moral” pada umumnya seringkali ditampilkan dalam pembicaraan. Daya tarik yang kuat pada keefektifan organisasi bukan sebuah fenomena baru dan bukan pula sesuatu yang unik bagi dunia pendidikan. Kira-kira lebih dari ratusan tahun yang lalu, para penulis sebenarnya telah merepresentasikan bahwa sektor-sektor publik dan pribadi telah punya perhatian yang besar terhadap efektivitas dan efisiensi operasi yang dilakukan oleh semua tipe organisasi. Akhir-akhir ini fokus tertuju pada dunia ekonomi yang memang lebih kompetitif dan bebas, terutama sekali emergensi terhadap Jepang sebagai sebuah kekuatan ekonomi yang menonjol.
Kontroversi di seputar keefektifan organisasi sekolah menunjukkan tidak-adanya tanda-tanda penetapan abad, kapan dimulai. David K. Cohen (1987) mencatat sebuah kontroversi yang menarik: banyak sekolah sukses, tetapi mereka banyak menampilkan kegagalan. Dia menegaskan bahwa abad kedua puluh merupakan sebuah periode perkembangan besar di sekolah-sekolah publik Amerika (misalnya, kreasi tentang seluruh sistem yang diberlakukan pada sekolah menengah umum), tetapi sekolah menolak untuk dipraktekkan secara nasional. Kelanjutan aliran laporan yang menuntut reformasi pendidikan yang fundamental itu disesuaikan dengan tuntutan perubahan demografik dan ekonomi membanjiri para professional dan deisesuaikan dengan literature yang populer. Di dalam laporan-laporan dan kelompok-kelompok diskusi tentqng perubahan sekolah ditemukan argumen-argumen intens seringkali berhadapan dengan isu-isu dan pemikiran yang kompleks tentang definisi dan ukuran-ukuran yang tepat. Miskin konsensus adalah fakta Selama keefektifan organisasi menjelma sebagai sebuah tema sentral dalam teori dan praktek manajemen sekolah, persoalan pelik mengenai konsep tidak dapat dihindari. Ini serupa dengan yang ditemukan Hall (1980) bahwa walaupun adanya bias ideology, politik dan organisasi tak dipermasalahkan, keefektifan tetap menjadi variabel terikat untuk bisa dijelaskan, ditemukan atau diekspos. Isu itu terus mengalami jalan buntu, tak pernah jadi.
Pendidikan itu tak punya indikator-indikator keefektifan. Para pendidik dan para anggota masyarakat mengakui bahwa sekolah yang berbeda memperoleh tingkat kesuksesan yang berbeda pula, walaupun komunitas siswanya memiliki kemiripan. Berdasakan kenyataan atau informasi yang ada. Orang tua bisa saja menetapkan untuk menempatkan di sebuah area sekolah tertentu, karena mereka mengenal, misalnya James Madison Elementary menerapkan standar akademik yang unggul, sementara John Dewey Elementary kurang dalam hal prosedur displin yang kuat. Lagi pula semua sekolah melaporkan hasil-hasil kepada publik bahwa para pejabat mempercayai prestasi mereka yang representatif. Para pedukung sekolah diundang ke pertunjukan kesenian, penampilan musik, perlombaan atletik dan pameran ilmu pengetahuan, karena semua aktivitas tersebut mengilustrasikan prokduktivitas sekolah. Ini menunjukkan bahwa . pada level praktek, beberapa indikator keefektifan dikenali dan dipakai.
Bagaimanapun, bukti-bukti dan problem-problem yang serius muncul bila dihubungkan dengan teori, riset dan praktek mengenai keefektifan organisasi sekolah. Misalnya, ketika problem spesifik mengenai keefektifan sekolah lahir, maka ketika itu pula perdebatan muncul secara intensif: Apa kriterinya? Bagaimana kreteria didefinisikan? Siapa yang menetapkan kriteria? Bgaimana indikator diukur? Apakah keefektifan itu sebuah fenomena istilah yang luas atau istilah yang sempit? Tahunan usaha perbaikan yang dilakukan menimbulkan kemarahan, dan berakhir di jawaban singkat “darurat” . Meskipun demikian, beberpa pendekatan teoritik tentang keefektifan organisasi menawarkan janji pengintegrasian dan pemfokusan usaha-usaha yang akan datang untuk mensuplay jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
II. PENDEKATAN TEORITIK
KEEFEKTIFAN ORGANISASI
Pengajuan sebuah persoalan global tentang sebuah sekolah apakah efektif atau tidak efektif, sudah tentu maksudnya dalam makna terbatas. Keefektifan tidaklah berdiri sendiri, karena itu pembatasan dalam satu dimensi menjadi tidak akurat. Agaknya, sebuah sekolah atau organisasi-organisasi lain bisa efektif atau tidak bergantung pada satu kriteria yang dipakai. Tanpa sebuah model teori sebagai satu acuan, tidaklah mungkin menyatakan sebuah sekolah itu lebih efektif dari lainnya, atau menyatakan bahwa sebuah indikator yang disajikan adalah sebuah ukuran keefektifan satu-satunya, atau merencanakan cara-cara untuk merubah sekolah. Dua model teori secara sendiri-sendiri: Goal Model ( Model Tujuan) dan System Resource Model (Model Sumber Sistem), dapat memberikan dasar-dasar keputusan dan dasar-dasar untuk membuat aksi penting yang diperlukan untuk menciptakan keefektifan sekolah.
A. Model Tujuan Keefektifan Sekolah
1. Pembatasan dan Tipe Tujuan
Secara tradisional, keefektifan organisasi dibatasi berdasarkan tingkat pencapaian tujuan. Amitai Etzioni (1964, 6) telah memberikan batasan secara luas, yaitu “sebuah tujuan organisasi adalah keadaan yang diinginkan dari suatu urusan dimana organisasi berusaha mewujudkannya.” Sebuah organisasi dianggap efektif bila hasil aktifitasnya menemukan atau menghasilkan tujuan organisasi. Pada saat mengenali seluruh kelemahan yang ada dalam Model Tujuan, sejumlah sarjana menegaskan bahwa tujuan-tujuan dan prestasi-prestasi selalu bersifat relatif, karena itu pembatasan keefektifan organisasi penting sekali dan esensial. Tujuan dapat memberikan petunjuk dan mengurangi ketidakpastian bagi para partisipan organisasi dan memberikan standard untuk menilai organisasi.
Dalam sebuah Model Tujuan keefektifan organisasi, sebuah jarak antara tujuan ofisial dan tujuan operatif harus dibuat (Steers, 1977). Tujuan ofisial berupa statemen formal tentang tujuan yang dirumuskan oleh kantor pendidikan sejalan dengan natur misi sekolah. Statemen itu seringkali tertera dalam publikasi-publikasi kantor pendidikan, fakultas dan handbook (buku pedoman kerja) para staf. Tujuan ofisial berdasarkan naturnya berciri khas abstrak dan aspirasional. ( misalnya, semua siswa meraih seluruh potensi mereka secara penuh. Tujuan-tujuan itu seringkali tanpa perhitungan waktu, dan sekedar menghidangkan tujuan demi kepentingan dukungan pengamanan dan legitimasi dari pemerintah untuk sekolah, dari pada untuk kepentingan memberikan petunjuk kerja bagi para pendidik professional.
Sebaliknya, tujuan operatif merefleksikan maksud-maksud organisasi sekolah. Tujuan operatif mencerminkan tugas dan aktivitas aktual yang ditampilkan di sekolah, tak respek terhadap klaim-klaim yang harus dilakukan. Karena itu, tujuan ofisial di sekolah bisa saja operatif bisa juga tak operatif, bergantung pada seberapa luas tujuan-tujuan ofisial itu secara akurat merepresentasikan praktek-praktek pendidikan yang aktual. Sebagian tujuan operatif dipublikasikan (misalnya, upaya-upaya menempatkan siswa yang merugikan di kelas-kelas reguler), sementara itu sebagian yang lain tidak dipublikasikan (misalnya, upaya memberikan perlindungan perawatan kepada siswa selama enam sampai delapan jam setiap hari). Kenyataannya, tujuan-tujuan ofisial yang aktraktif di beberapa distrik sekolah diperlakukan sebagai keputusan penutup jalan yang bijak bagi kekurangan tujuan-tujuan operatif yang aktraktif sedemikian rupa, keduanya dipisah secara ekstrim seperti sikap sektarianisme dan rasialisme.
2. Asumsi dan Generalisasi
Ada dua asumsi mendasari Goal Model (Campbell, 1977):.
· Pertama: Sekelompok rasional pemegang keputusan dalam organisasi di pikirannya ada seperangkat tujuan yang ingin dikejar.
· Kedua : Ada sejumlah tujuan yang cukup untuk dimanaj dan dibatasi secara kongrit yang cukup bisa dipahami oleh para partisipan.
Jika asumsi itu diterima berikutnya adalah, para pemegang kebijakan akan bisa menilai keefektifan dan mengembangkan ukuran-ukuran untuk menentukan seberapa besar tujuan-tujuan itu bisa diraih. Meskipun para pemegang kebijakan itu secara nyata tak memiliki rasionalitas yang lengkap, dua asumsi dan generalisasi yang mengalir darinya tak akan bisa ditolak tanpa pertimbangan yang hati-hati. Kenyataan yang terjadi, praktek-praktek manajemen telah dikembangkan untuk meningkatkan spesifikasi tujuan dan pencapaian tujuan. Misalnya, majamen bersasaran (lihat seri 7) , biaya dan keuntungan analisis, titik-titik inti kurikulum, sasaran-sasaran perilaku dalam pengajaran, seluruhnya diapakai untuk menspesifikasi tujuan di sekolah. Mirip dengan itu, kantor administrasi dan pendidikan berusaha untuk meningkatkan pencapaian tujuan dengan cara mensentralisasi dan memformalisasi organisasi dan menugaskan untuk membuat garis-garis pedoman dalam membuat skop dan urutan kurikulum. Bagaimanapun, seluruh kelemahan yang ada dalam konsep tujuan dan model tujuan akan tetap dicatat .
3. Kritik terhadap Pendekatan Model Tujuan
Diantara kritik terhadap penggunaan tujuan untuk menilai keefektifan organisasi disampaikan Kim Cameron. Dia (1978) memberikan analisis berikut:
- Seringkali lebih fokus pada tujuan-tujuan administrator sekolah dari pada yang dirumuskan oleh guru, siswa, wali murid dan konstituen lainnya. Para peneliti cendrung hanya menanyai para manajer tentang isi tujuan sekolah dari pada konstituen lainnya. Mereka gagal mencatat perbedaan harapan yang diekspresikan oleh tujuan operatif sekolah.
- Dalam banyak hal para peneliti mengabaikan keserbaragaman tujuan dan sifat keaneragaman tujuan. Model Tujuan cendrung konsisten dalam tataran logika dan isi, padahal kenyataannya tujuan sekolah itu berbeda. Misalnya, tujuan tata tertib dan tujuan budaya seringkali muncul berdampingan di sekolah. Administrator dan guru berharap untuk memelihara lingkungan sekolah yang aman dan tertib, perasaan saling percaya, loyalitas kelompok, saling suka dan kebersamaan antar siswa. Selama tujuan-tujuan itu menampak dalam keharmonisan yang nyata (keserbaragaman), konflik-konflik pokok pun (keanekaragaman) akan terus mendasari tujuan-tujuan itu.
- Semua tujuan keorganisasian bersifat retrospektif (berhubungan dengan masa lalu). Tujuan difungsikan untuk memberikan justifikasi terhadap aksi pendidikan dan para pendidik, bukan untuk mengatur aksi itu. .
- Tujuan-tujuan keorganisasian bersifat dinamik, sementara itu Goal Model bersifat statik. Tujuan karena faktor-faktor kontekstual bisa berubah dan berbeda, sementara model tetap sama
- Tujuan ofisial (tujuan resmi) organisasi boleh jadi tidak menjadi tujuan yang operatif. Karena kesulitan dan kompleksitas melakukan analisis terhadap operasi-operasi aktual, peneliti bisa jadi tidak bisa mengidentifikasi tujuan operatif secara akurat. Karena itu, ia mengandalkan diri pada pendapat-pendapat perorangan tentang apa tujuan-tujuan yang diimplikasikan oleh praktek-praktek operasional. Hasilnya, tujuan ofisial mendapat tekanan yang lebih besar dibanding pentingnya tujuan operatif.
- Problem besar lainnya yang berkaitan dengan model prestasi tujuan adalah satu, isi pokok (Kanter dan Brinkerhoff, 1981, 330-331). Hasil yang diperoleh dari ukuran yang dipakai (outcome measure) tidaklah merupakan indikator-indikator murni dari kualitas kinerja, karena masih dipengaruhi oleh faktor-faktor lain . Misalnya, kualitas guru dan siswa, teknologi yang tersedia, dan keanekaragaman pengaruh faktor lingkungan terhadap pengawasan organisasi. Di dunia pendidikan, hasil-hasil yang dinilai bergantung secara luas pada status sosioekonomi. Wilayah sekolah yang kaya mencapai skor tes yang lebih tinggi dibanding dengan wilayah yang memiliki pengaruh latar belakang permulaan start siswa yang lebih baik secara akademik. Robert Wimpelberg, Charles Tedlie, dan Samuel Stringfield (1989, 95) beralasan bahwa faktor sosioekonomi boleh jadi merepresentasi kumpulan faktor yang .bersekongkol berkerja bersama-sama untuk atau melawan keefektifan sekolah.
Berdasarkan kritik-kritik kuat di atas, para sarjana (Yuchtman dan Seashore, 1967) menyimpulkan bahwa Model Tujuan yang dipakai untuk keefektifan organisasi tidak mencukupi. Bahkan mereka mengusulkan System Resource Model (Model Sumber Sistem). Usul ini didukung secara kuat oleh bukti dari hasil-hasil kerja belakangan ini (Etzioni, 1960; Katz dan Kahn, 1966, 149-170)
B. Model Sumber Sistem Keefektifan Organisasi
1. Definisi
Serupa dengan pandangan sumber terikat mengenai lingkungan luar yang dibicarakan dalam seri 11, Model Sumber Sistem mendefinisikan keefektifan sebagai kemampuan organisasi untuk mengamankan sebuah posisi tawar yang menguntungkan dalam lingkungannya dan memodali posisi itu untuk memperoleh sumber-sumber langka dan sumber-sumber yang bernilai. Konsep posisi tawar itu mengimplikasikan pengeluaran tujuan-tujuan spesifik sebagai ukuran puncak keefektifan. Agaknya, Model Sumber Sistem mengarahkan perhatian ke arah kapasitas organisasi yang lebih umum untuk memperoleh asset. Konsekwensinya, definisi keefektifan menekankan pada kesinambungan, proses perubahan tanpa akhir, dan pada posisi lebih, sumber-sumber bernilai dan sumber-sumber langka. Setiap waktu badan legislatif negara bagian akan berkumpul untuk menyesuaikan uang pajak untuk kepentingan sekolah. Proses ini sangat nampak. Organisasi-organisasi pendidikan berkompetisi dalam lingkungan politik negara bagian dengan agen-agen dan organisasi-organisasi transportasi, kesejahteraan sosial, lembaga pemasyarakatan, dan lainnya untuk mendapatkan komoditas bernilai dari dana bantuan negara bagian. Dengan proposal-proposal “sekolah pilihan” , kompetisi antara sekolah swasta dan negeri nampak semakin meningkat. Jika daftar-daftar sekolah negeri menurun, seperti yang mereka lakukan secara periodik, dan prospek ketenagakerjaan untuk pendidik melemah, maka kompetisi untuk siswa meningkat. Sejalan dengan itu Model Sumber Sistem, sekolah yang paling efektif akan mempertahankan perkembangan atau meminimalissasi kemerorotan lewat tawar-menawar yang menguntungkan dengan wali murid, murid, dan anggota dewan legislatif. Karena itu ukuran keefektifan berubah menjadi kemampuan organisasi memperoleh sumber.
2. Asumsi dan Generalisasi
Literatur yang berkenaan dengan Model Sumber Sistem mengandung asumsi-asumsi implisit (Yuchman dan Seashore, 1967; Campbell, 1977; Goodman dan Pennings, 1977, 147-184):
- Pertama, organisasi diasumsikan sebagai sebuah sistem terbuka yang memanfaatkan lingkungan luarnya Dengan kata lain, organisasi diasumsikan sebagai sistem sosial yang terdiri dari berbagai dimensi: organisasi, kelompok dan individu, yang merupakan bentuk putaran saling interaksi sebagai dasar mengevaluasi keefektifan, sebagaimana telah disajikan dalam Seri 2.
- Kedua, sebelum sebuah organisasi mencapai bentuknya yang utuh, ia berhadapan dengan tuntutan persyaratan yang begitu kompleks. Tuntutan itu biasanya dibatasi pada sejumlah kecil tujuan-tujuan keorganisasian yang sarat nilai yang boleh jadi mustahil bisa dicapai.
Sebuah generalisasi muncul dari asumsi-asumsi itu, yaitu, untuk menambah keefektifan organisasi: harapan-harapan birokratik, kelompok-kelompok informal, dan individu butuh bekerja sama yang lebih baik untuk menghasilkan pengaruh lingkungan yang kuat, dibanding bekerja dalam organisasi-organisasi yang kurang efektif. Semua organisasi menekankan pada sumber-sumber yang cukup dan menghindarkan diri dari tekanan yang tak semestinya. Manajemen pendidikan, misalnya, menaruk kepentingan besar untuk menfasilitasi keharmonisan, karena aksi-aksi keharmonisan dalam sebuah Model Sumber Sistem dapat mempertinggi keefektifan organisasi.
Ketergantungan yang kuat pada lingkungan memaksa organisasi memusatkan perhatian pada fungsi-fungsi penyesuaian untuk memenangkan kompetisi merebut sumber-sumber. Dari Model Sumber Sistem, organisasi yang efektif lewat cara mekanisme monitoring yang sensitif berusaha memperoleh informasi tentang perilaku baru yang dapat mengarahkan pada kemahiran memperoleh asset yang lebih banyak. Untuk menghindari dari kemerosotan pendaftaran, banyak perguruan tinggi, universitas, dan kantor pendidikan wilayah menyadap informasi tentang kebutuhan-kebutuhan pelayanan pendidikan yang diperlukan oleh calon siswa/mahasiswa yang tak biasa menjadi langgaganannya. Mereka berusaha menggali sumber-sumber kekayaan dari penduduk calon siswa/mahasiswa yang tak terlayani dengan cara menawarkan sebuah pelayanan unik untuk orang dewasa, kemudahan akses, dan program-program plus. Menurut Model Sumber Sistem, kreteria final, yang harus digunakan oleh peneliti untuk menilai keefektifan sekolah adalah konsistensi internal. Model Sumber Sistem memprediksi, organisasi yang efektif akan mendistribusikan sumber-sumber secara bijak pada suatu wilayah luas yang aneka ragam lewat mekanisme monitoring dan menyadapan.
3. Kritik Terhadap Model Sumber Sistem . .
Mode Sumber Sistem yang dipakai untuk mengetahui keefektifan organisasi diduga banyak memiliki cacat, khususnya bila diterapkan dalam organisasi pendidikan (Cameron, 1978, 605; Scott, 1977, 75-89, Steers, 1977, 48; Kirchhoff, 1977). Penekanan terlalu banyak untuk satu hal pada input boleh jadi dapat merusak pengaruh pada outcomes (hasil). Ketika organisasi pendidikan dihabisi untuk pencapaian sumber-sumber, maka fungsi-fungsi pendidikan yang lain bisa terabaikan. Misalnya , demi menahan kecendrungan pendaftaran merosot, banyak sekolah tinggi dan universitas mengajak untuk mengintensifkan dan memperluas kompetisi dalam pencarian calon mahasiswa, maka akan terjadi tindakan kompromistis antara program kekerasan dan pencapaian kualitas.
Kritik lain, diduga, ketika meningkatkan input atau meningkatkan perolehan sumber-sumber adalah merupakan sebuah tujuan operatif bagi organisasi, maka dengan demikian Model Sumber Sistem secara nyata menjadi Goal Model (Model Tujuan). Dengan demikian perbedaan pendekatan antara Model Tujuan dan Model Sumber Sistem boleh jadi hanyalah soal semantik yang berlebihan. Sebagaimana diungkapkan dalam penelitian Hall (1972, 100), “Perolehan sumber-sumber benar-benar tak pernah terjadi, Itu hanyalah didasarkan pada apa yang organisasi harus capai – yaitu tujuan, tetapi diselesaikan lewat tujuan-tujuan operatif”. Dengan kata lain, Model Sumber Sistem secara nyata membenarkan konsep tujuan operatif. Kenyataannya, Richard M. Steers (1977, 48) mengungkapkan, bahwa dua pendekatan itu adalah dua hal yang saling melengkapi (bersifat komplementer). Sesungguhnya, sebuah pendekatan yang mungkin – dalam keinginan puncaknya- adalah mengonsep keefektifan organisasi dengan cara mengkonbinasi dua pandangan tersebut.
B. Integrasi dan Perluasan Model Tujuan dan Model Sumber Sistem
Goal Models (Model Tujuan) dan System Resource Models (Model Sumber Sistem) mendistribusikan satu asumsi krusial, yaitu, “kemungkinan dan keinginan untuk mencapai satu seting kriteria dan dengan demikian mencapai satu statemen tentang keefektifan organisasi” (Connoly, Conlon, dan Deutsch, 1980, 212). Dalam Model Tujuan keefektifan didefinisikan dengan istilah pencapaian secara relatif sasaran-sasaran yang mungkin bisa dilakukan dengan menggunakan fasilitas dan sarana fisik, energi manusia yang berupa siswa/mahasiswa dan karyawan, teknologi kurikulum, dan beberapa komditas seperti uang, yang bias ditukar dengan sumber-sumber lain. Sedangkan Model Sumber Sistem didasarkan pada konsep sistem terbuka yang meletakkan nilai-nilai besar di atas keharmonisan dalam pengoperasian komponen-komponen organisasi, kemampuan beradaptasi, optimalisasi kepemimpinan, penetapan kebijakan dan proses komunikasi.
Beberapa teoritisi (Goodman dan Pennings, 1977, 147-184; Steers, 1977, 4-6, 48; Campbell, 1977, 50) telah berusaha mengitegrasikan dua pendekatan , dan walaupun pikiran-pikiran mereka sedikit berbeda, mereka sepakat bahwa penggunaan tujuan tidak dapat dihindari. Perilaku secara implisit dan eksplisit adalah tujuan yang menjadi sasaran, tak terkecuali perilaku keorganisasian. Bagaimanapun, dari bingkai kerja Model Sumber Sistem, tujuan bisa menjadi lebih bervariasi dan dinamis: tujuan-tujuan itu tidak statis, bukan keadaan puncak, tetapi relatif berubah secara periodik setiap saat. Lagi pula, pencapaian beberapa bagian dari tujuan dapat menyajikan sumber-sumber baru yang mengarah pada pencapaian tujuan-tujuan berikutnya. Jadi, ketika bingkai kerja sebuah sistem (model) digunakan, maka akan terjadi sebuah silus alami yang membentuk kekhasan tujuan dalam organisasi
.
Agar supaya mencapai sebuah pemahaman dengan nuansa yang tajam tentang keefektifan organisasi, maka model yang integratif harus diperluas hingga meliputi tiga karakteristik tambahan:
- Dimensi waktu
- Konstituen ganda
- Kriteria ganda
1. Dimensi Waktu
Sebuah faktor yang diabaikan dalam penelitian organisasi dan penilaian keefektifannya adalah waktu. Padahal isu-isu waktu mutlak penting dan sentral. (Bluedorn dan Denhardt, 1988). Martin Burlingame (1979) berbicara mengenai ritme musim; Ia adalah siklus murni yang membuat ciri khas pada kalender sekolah. Tahun mulai pada musim gugur, kosong untuk liburan pada musim dingin, dan berakhir di akhir musim semi. Para pendidik tahu bahwa waktu-waktu tertentu dari satu tahun akademik berpotensi besar menimbulkan krisis, kerusakan ssstem, menurunya pencapaian tujuan. Beberapa hari di akhir tahun akademik , misalnya, terlihat kondisi yang semrawut. Menyadari hal itu, para pendidik mengembangkan mekanisme pengawasan untuk mengendalikan problem-prolem yang tampil dalam waktu yang singkat itu, misalnya memperketat penafsiran terhadap aturan-aturan disiplin, wisata lapangan, dan aktivitas spesial lainnya.
Pengaruh waktu pada keefektifan organisasi dapat dikonsepsikan dengan sebuah mata rantai kesuksesan dengan jarak berjenjang dari jangka pendek, jangka menengah hingga jangka panjang (Gibson, Ivancevich dan Donnelly, 1976, 64). Bagi sekolah indicator representatif untuk keefektifan sekolah untuk jangka pendek meliputi, prestasi peserta didik, moral, kepuasan kerja dan loyalitas. Kriteria untuk jangka menengah, kesuksesan meliputi penyesuaian dan pengembangan organisasi sekolah dan program-program pengajaran, kemajuan karer para pendidik, dan kesuksesan mantan peserta didik terdahulu. Dari bingkai kerja Model Sumber Sistem, diketahui kriteria puncak untuk jangka panjang adalah kejayaan organisasi. Menurunnya pendaftaran siswa baru, penutupan sekolah, berkonsolidasi dengan kantor wilayah pendidikan yang kecil semuany itu mengejawantahkan adanya problem-problem jangka panjang yang berkaitan dengan kejayaan. Untuk mengilustrasikan poin-poin tersebut, Emil J. Haller dan David H. Monk (1988) menemukan bahwa antara tahun 1930 dan 1988 jumlah sekolah di wilayah kantor –kantor pendidikan di Amerika Serikat menurun dari 128.000 menjadi 14.000. Hanya selama tahun 1960 an saja jumlah sekolah di wilayah-wilayah kantor pendidikan telah tingga separuhnya.
Pengaruh lain dari waktu adalah kriteria yang digunakan untuk mengukur keefektifan organisasi tidaklah konstan tetap. Sebagaimana para pendukung sekolah merubah pilihan mereka, tuntutan dan harapan baru berkembang pula untuk mendenisikan keefektifan sekolah. Selama tahun 1970 an, misalnya, sekolah-sekolah menekankan pada pertumbuhan sosioemosional dan hak keadilan para peserta didik., tetapi lewat reformasi laporan pada awal tahun 1980 an , publik mulai menuntut efesiensi, pertumbuhan kognitif dan keterampilan kerja agar kepentingan supemasi ekonomi menjadi lebih unggul (Wimpelberg, Teddlie dan Stringfield, 1989, 83-88) . Satu lagi tekanan tambahan yang diprediksi dalam tataran yang lebih tinggi, yaitu kemampuan berpikir dan pengembangan ekonomi pada tahun 1990 an. Sebagai konsekwensinya, kinerja yang dianggap efektif hari ini, rupanya menjadi tidak efektif besok hari, sejalan perubahan tuntutan dan pilihan (Cameron, 1984, 239-240).
Sejalan dengan adanya kriteria spesifik mengenai perubahan keefektifan maka demikian pula organisasi, bergerak lewat siklus perjalanannya (Quinn dan Cameron, 1983). Pada awal tahapan kewirausahaan, fleksibilitas dan kecakapan memperoleh sumber menjadi kriteria prima. Bagaimanapun, sebagai organisasi yang matang criteria utama adalah komunikasi, stabilitas, produktivitas, efisiensi dan setting tujuan.
Boleh jadi tidak sesuai atau tidak mungkin untuk menerapkan kriteria-kriteria lama pada tipe-tipe organisasi baru. (Kanter dan Brinkerhoff, 1981, 329). Bagi organisasi-organisasi yang menyederhanakan edisi baru dari kriteria lamanya, itu bisa relatif mudah untuk menerjemahkan aturan-aturan dari satu setting ke lainnya dan menetapkan kriteria keefektifan yang kokoh. “Organisasi-baru-yang beda” menghadapi ketidakpastian yang lebih besar, hal itu terjadi karena kriteria keefektifan dan harapan orang luar tidak jelas. Misalnya, membuka yang baru, tetapi tradisional, sekolah tidak akan secara khusus memperhatikan dengan serius tentang kriteria keefektifan. Tetapi bila yang dibangun adalah sekolah alternatif, sekolah magnet, atau sekolah-sekolah pilihan, maka sekolah-sekolah itu akan mencipta tujuan-tujuan yang beda secara fundamental, kemudian pencapaian dalam ujian-ujian yang standard dan biaya per peserta didik menjadi kriteria yang kurang penting. Jadi bila tuntutan dasar para pembaharu berubah di sekolah, maka mereka juga harus memproduksi definisi baru dan ukuran baru tentang keefektifan sekolah
Tujuan sekolah efektif bersifat berkesinambungan, jaadi lebih pada berproses efektif dari pada menjadi efekif.(Zammuto, 1982, 161). Oleh karena itu, ketika mendiskusikan keefektifan sekolah, dimensi waktu menjadi komponen yang esensial.
2. Konstituen Ganda
Kriteria keefektifan selalu merefleksikan nilai-nilai dan bias-bias konstituen dan stakeholder, yaitu kepentingan individu atau kelompok di dalam atau luar sekolah yang memiliki dukungan dalam keefektifan organisasi (Cameron, 1978, 606). Bagi sekolah atau organisasi lain yang memiliki konstituen ganda atau kelompok-kelompok kepentingan yang juga ganda, kriteria keefektifan secara khas dirumuskan dari sejumlah pandangan. Ini maksudnya, stakeholder ganda memainkan peran penting, yaitu mendefinisikan tujuan dan menerima informasi penilaian dari mereka (Connolly, Conlon dan Deutsch, 1980). Untuk keperluan setting pendidikan, diskusi mengenai sebuah sekolah yang baik akan diikuti oleh para sarjana, orang tua, guru, politikus, birokrat, para pembayar pajak dan karyawan (Balderson, 1977). Daftar ini sekurang-kurangnya menggambarkan perbedaan sejumlah kepentingan kelompok-kelompok. Selanjutnya, literatur mengenai penampilan pengukuran membenarkan model politis organisasi (Kanter dan Brinkerhoff, 1981, 321-322). Sekolah dipandang sebagai medan tempur bagi dua stakeholder luar dan dalam yang bersaing mempengaruhi kriteria keefektifan dengan mengajukan kepentingan mereka masing-masing. Keefektifan kemudian menjadi kurang ilmiyah tapi lebih banyak mencerminkan sebuah konsep bermuatan politik.
Sebagai sebuah faktor yang lebih menyulitkan lagi, kelompok-kelompok konstituen menawarkan kriteria berbeda-beda. (Kanter dan Brinkerhoff, 1981, 324; Hall, 1980, 538). Misalnya, para manajer dan pejabat kantor pendidikan menekankan pada indikator-indikator birokratis untuk mengukur keefektifan, misalnya penggunaan fasilitas, prosedur anggaran, praktek-praktek personel, sebagian karena faktor-faktor itu mencerminkan hal-hal yang berada dalam pengawasan mereka (Scott, 1977, 87-89). Sebaliknya, para guru menekankan pada standard proses keefektifan. Mereka mengungkapkan bahwa keefektifan harus mencerminkan syarat-syarat kesesuaian dengan proses dan metode pembelajaran. Peserta didik, pembayar pajak dan politikus, bagaimanapun fokus pada ukuran-ukuran produk, hasil didikan dan efisiensi. Mereka menilai sekolah dari sudut pencapaian akademik, nilai-nilai lulusan, dan biaya per peserta didik.
Karena itu, sebuah kombinasi Model Tujuan dan Model Sumber Sistem memerlukan masukan berbagai macam konstituen yang dalam mendefinisikan dan mengevaluasi keefektifan sekolah menggunakan aneka kriteria. Pandangan demikian diistilahkan dengan pendekatan keefektifan keorganisasian yang “relativistic-multiple-contingency” artinya serba-mungkin-yang bersifat relatif (Keeley, 1984). Pendekatan relative berasumsi, “Tidak ada statemen tunggal tentang keefektifan organisasi yang bersifat mutlak atau yang diinginkan”. Dengan kata lain, berbagai stakeholder di dalam dan di sekitar organisasi sekolah memerlukan aneka jenis ukuran keefektifan yang berbeda-beda. Tak ada indikator keefektifan tunggal atau yang sederhana, daftar yang umumlah yang akan mencukupi (Kanter dan Brinkerhoff, 1981). Kekuasaan dan politik mempengaruhi definisi rumusan dan ukuran keefektifan.
3. Kriteria Ganda
Sebuah asumsi dasar di sepanjang diskusi yang ada tentang hal ini adalah bahwa keefektifan organisasi merupakan konsep multidimensional. Tak ada kriteria tunggal yang utama, seperti pencapaian peserta didik atau semua performan yang dapat memuat seluruh watak kompleks keefektifan sekolah. Dalam pendekatan kombinatif Model Tujuan dan Model Sistem Sumber, indikator-indikator keefektifan harus dijabarkan dari setiap fase lingkaran sistem terbuka sebagai input, transformasi dan output. Sesungguhnya, setiap variable fase, proses, atau outcome dapat dan telah digunakan sebagai sebuah indikator keefektifan.
Pengembangan indeks multidimensional atau ukuran gabungan mengenai keefektifan organisasi menuntut adanya seleksi terhadap konsep-konsep pokok. Memilih variable keefektifan yang paling cocok dan paling representatif, bagaimanapun akan menjadi tugas melimpah. Misalnya, John P. Campbell (1977, 36-39) menggunakan tiga kategori untuk mengklasifikasi setumpuk daftar indikator keefektifan. Serupa dengan dia, Steers (1975) menemukan lima belas kriteria yang berbeda dalam sebuah sample yang berasal hanya dari tujuh belas penelitian keefektifan.
Sekedar memberikan saran dan petunjuk bagi kepentingan penelitian keefektifan organisasi, sebuah model teori diperlukan untuk memberikan petunjuk cara memilih indikator-indikator keefektifan (Stewart, 1976; Hall dan Fukami, 1979). Raymond F. Zammuto (1982, 4) yakin bahwa sebuah pendekatan yang berguna adalah untuk mengingatkan bahwa organisasi-organisasi itu penemuan-penemuan sosial untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan manusia. Masyarakat berpartisipasi dalam hubungan yang berubah –ubah dengan organisasi untuk memperoleh hasil yang bermakna. Partipasi atau dukungan berkelanjutan terhadap organisasi bergantung pada kreasi organisasi dalam menghasilkan outcome yang bermakna menurut kacamata yang dirasakan oleh para partisipan. Dengan kata lain, sekolah memperoleh keuntungan mendapatkan lisensi untuk keluar dengan cara menciptakan outcome yang bermakna. Dalam konteks outcome yang bermakna, temuan Talcott Parsons (1960) menyajikan sebuah model yang sangat baik untuk menunjuki cara memilih kriteria yang spesifik . Karyanya telah digunakan oleh sarjana-sarjana lain untuk membimbing cara menganalisa keefektifan organisasi dan kebijakan pendidikan (Hall dan Fukami, 1979, Bowd dan Crowson, 1981). Parson telah membuat postulat bahwa kejayaan sebuah sistem sosial bergantung pada penguian empat fungsi penting. Fungsi-fungsi itu sangat fundamental untuk memperoleh sumber dan mempertimbangkan tujuan organisasi. Seperti telah dibahas dalam seri sebelumnya, semua sistem sosial harus memecahkan empat problem fungsional:
- Adaptasi
- Pencapaian tujuan
- Integrasi
- Latency
Adaptasi diperhatikan karena sistem perlu mengontrol lingkungannya. Sekolah menjadikan dirinya akomadatif terhadap tuntutan-tuntutan mendasar yang datang dari lingkungan dan konstituennya., dengan cara mentransformasi situasi eksternal dan merubah program-program internal sehingga menemukan kondisi baru. Tanda-tanda umum dari adanya adaptasi sekolah adalah:
- Innovasion (pembaharuan)
- Development (pengembangan)
- Growth (pertumbuhan)
Pencapaian tujuan adalah kepuasan terhadap tujuan sistem. Sasaran-sasaran didefinisikan dan sumber-sumber digerakkan untuk mencapai tujuan-tujuan akhir yang diinginkan. Indikator khas yang menunjukkan sekolah mencapai tujuan adalah:
- Pencapaian akademik
- Penemuan sumber
- Kualitas peserta didik
- Pelayanan
Integrasi menawarkan solidaritas sosial dalam sistem – proses pengorganisasian, pengkoordinasian, penyatuan hubungan-hubungan sosial ke dalam sebuah kesatuan tunggal. Di antara perhatian-perhatian kemasyarakatan yang utama yang sangat dipedulikan oleh sekolah adalah:
- Kepuasan kerja para karyawan
- Konflik interpersonal
- Absen peserta didik
- Moral
Latency adalah sarana keutuhan sistem nilai yang berupa pola-pola sistem budaya dan sistem motivasi. Sekolah-sekolah yang efektif mengharuskan adanya sebuah komitmen yang tinggi dan perilaku yang tepat khususnya di lingkungan pendidik dan peserta didik, untuk memperkuat nilai dan norma organisasi. Indikator yang menunjukkan sekolah berpenampilan efektif dalam soal fungsi latensi meliputi:
- Loyalitas
- Senang hidup fokus pada kerja sekolah
- Pearasaan bangga pada identitas lembaga
- Motivasi perorangan terhadap kerja sekolah.
- Komitmen terhadap organisasi
- Kecocokan aturan dan norma.
D. Sebuah Model yang Telah Dintegrasikan:
Kriteria spesifik untuk mengukur masing-masing dari hal-hal tersebut dapat digambarkan dari karya Campbell (1977) dan Steers (1975). Hasil penggabungan aspek-aspek umum, kriteria atau indikator-indikator khusus, dan pandangan-pandangan lain mengenai keefektifan, semua digambarkan secara ringkas dalam tabel 1 berikut. Konsekwensinya, gabungan Model Tujuan dan Model Sumber Sistem tentang keefektifan organisasi bisa dijabarkan dengan menyertakan empat fungsi penting dari sistem sosial yang diperankan sebagai tujuan operatif. Dengan menambah indikator-indikator spesifik tentang pencapaian empat tujuan , dan dengan mempertimbangkan kerangka waktu dan konstituen yang dapat dipakai di masing-masing indikator, kita bisa menyempurnakan model tersebut.
Sebagaimana telah diilustrasikan dalam tabel berikut, hasilnya berupa formulasi teori yang l;ebih komperhensif untuk mengarahkan usaha-usaha riset ke depan. Para peneliti yang menggunakan model ini untuk penelitian keefektifan organisasi sekolah akan melalui proses tiga langkah:
- Pertama menentukan konstituen yang akan mendefinisikan tujuan-tujuan operatif yang dianggap penting. Para penliti bisa mendefiniskan sendiri atau boleh jadi didefiniskan oleh beberapa sekolah, kelompok politisi dan kelompok lain.
- Kedua, mereka men-spesifikasi-kan aspek-aspek waktu, apakah memfokuskan pada tujuan jangka pendek, jangka menengah, atau jangka panjang.
- Ketiga mengidentifikasi seluruh indicator criteria. Untuk membuat evaluasi keefektifan sekolah yang komperhensif, mereka harus menyertakan outcome dari setiap empat tujuan penting. Misalnya, penelitian komperhensif keefektifan sekolah untuk jangka pendek dan menengah dari sudut pandang peserta didik, maka dapat digunakan keinovasian kurikulum, prestasi akademik, kepuasan siswa menerima pembelajaran, dan perasaan bangga terhadap identitas yang berkaitan dengan sekolah.
Tabel 1: Model Integratrif tentang Keefektifan Organisasi
Aspek-aspek Kefektifan | Pandangan Tambahan | Indikator Ganda |
Adaptasi | Waktu Kontstituen | Penyesuaian Inovasi Pertumbuhan Pengembangan |
Pencapaian Tujuan | Waktu Kontstituen | Pencapaian Kualitas Perolehan sumber Efisiensi |
Integrasi | Waktu Kontstituen | Kepuasan Iklim Komunikasi Konflik |
Latency | Waktu Kontstituen | Loyalitas Minat hidup sentral Motivasi Kebanggaan Identitas |
III. RISET BERDASARKAN
KRITERIA KEEFEKTIFAN PILIHAN
Beberapa konsep yang telah diusulkan sebagai indikator keefektifan organisasi, telah mendapatkan perhatian secara detail pada seri sebelumnya. Lainnya, seperti produktivitas dan efesiensi, dalam pengertian ekonomi klasik dan ekonomi swasta, nampaknya kurang dipraktekkan di organisasi sekolah. Sedikit indikator yang memiliki relevansi tinggi dengan sekolah, bagaimanapun telah menjadi bahan riset, tetapi belum dibahas. Konsep-konsep berikut ini akan dianalisis sebagai indikator keefektifan:
- Adaptabilitas (fleksibilitas dan inovasi)
- Pencapaian
- Kepuasan kerja
- Minat hidupfokus
Dengan catatan, semua itu adalah indikator-indikator dari (secara berturut-turut): adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan latency.
A. Adatabilitas (Kemampuan Menyesuaikan)
Di antara semua kriteria keefektifan organisasi. Steers (1975, 547) menemukan bahwa adaptabilitas, dan konsep fleksibilitas dan innovasi yang berhubungan secara tertutup, paling sering dipakai sebagai ukuran-ukuran keefektifan oleh para peneliti. Perangkat kriteria ini berkaitan dengan kemampuan organisasi memodifikasi prosedur-prosedur pengoperasiannya bersama kekuatan-kekuatan luar dan dalam yang memasukkan perubahan.. Bagi sekolah, adaptabilitas bisa didefinisikan sebagai kemampuan para pendidik professional dan para penentu kebijakan lain untuk merasakan kekuatan-kekuatan perubahan dan kemampuan berinisiatif menciptakan kebijakan dan praktek baru untuk menjawab tuntutan-tuntutan mendesak. Para penentu kebijakan yang bertindak atas nama sekolah berharap bisa memproduksi performan yang baik, menghindari penurunan, dan beradaptasi ketika keefektifan cenderung menurun sedang terjadi atau mengantisipasinya bila belum terjadi (Ford dan Baucus, 1987).. Akan tetapi adaptasi seringkali tidak efektif. Penyebabnya adalah para professional di sekolah. Misalnya, guru dan manajer sekolah terus menerus menggunakan satu model yang dianggap pernah sukses padahal prakteknya sekarang tidak efekktif, dan tak mau berinovasi mencoba yang baru. Sebuah penjelasan sangat penting tentang hal tersebut agar bisa memanfaatkan lebih lanjut banjirnya informasi pendidikan yang penting sekali adalah bahwa penentu kebijakan tidak mengadaptasikan sekolah dengan harapan dan kebutuhan sekarang. Dengan kata lain, struktur organisasi tradisional, penentuan kebijakan yang sentral, dan budaya berbagi pengertian, yang banyak mewarnai watak sekolah merintangi dan menghalangi usaha-usaha untuk membuat perubahan-perubahan fundamental yang banyak dituntut oleh para penentu kebijakan.
1. Ukuran
Berbeda dengan temuan-temuan Steers, Campbell (1977) menmukan, walaupun banyak orang menulis tentang kriteria adaptasi, tetapi relatif sedikit usaha mengukurnya. Ketika keadaptasian diukur, kuisioner adalah yang paling umum dipakai sebagai instrumen pengukuran. Bagaimanapun, kuisioner yang dilengkapi dengan sarana psikometrik yang memadai guna menilai fleksibilitas dalam organisasi pendidikan adalah terbatas. Banyak penelitian lebih menilai kesiapan beradaptasi dari pada respon adaptif yang aktual.. Alasannya, walaupun para manajer dan guru mampu dan berencana serta melaksanakan kebijakan-kebijakan untuk mendorong kesiapan berinovasi, ketika sebuah respon adaptif datang, maka sekolah mungkin beradaptasi atau mungkin tidak.
2. Peneltian
Ada dua penyelidikan dalam setting pendidikan yang menyajikan riset tentang adaptabilitas yang jujur dan khas. Eugene W. Ratsoy , Gail R. Babcock, dan Brian J. Caldwell (1978) menggunakan prosedur kuesioner untuk meneliti adaptabilitas sekolah untuk menggantikan program lama dengan program pendidikan guru berbasis universitas. Mereka menemukan bahwa sekolah menampilkan: kesiapan untuk
- Kesiapan untuk berkembang di sepanjang program tersebut.
- Kesiapan untuk menambah “guru yang mahasiswa”,
- Kesiapan untuk mengganti peran kerja-sama guru dengan program tersebut.
Singkatnya, kriteria yang dipakai adalah kesiapan beradaptasi.
Cecil Miskel (1977) menggunakan model kontingensi kepemimpinan, yang menghubungkan karakter personal kepala sekolah dan faktor-faktor situasional dengan tingkat usaha inovasi sekolah. Usaha inovasi telah dibatasi dalam bentuk sejumlah program baru yang dibuat dan difasilitasi untuk mengembangkan fungsi organisasi sekolah. Sebuah ukuran yang berbentuk kuesioner menanyakan para guru dan kepala sekolah untuk mengidentifikasi usaha-usaha modifikasi dan inovasi terbaru di program-program sekolah atau di proses-proses yang berlangsung selama satu tahun akademik. Sekolah-sekolah yang memiliki tingkat teknologi dan pengalaman yang rendah, dan para kepala sekolah yang berorentasi pada kestabilan tidak inovatif sekali. Ketika penlitian ini ntidak hanya mengukur kesiapan berubah, penelitian ini tidak menspesifikasi kekuatan-kekuatan luar (external forces) yang membantu mendorong melakukan adaptasi.
Jadi, walaupun adaptabilitas merupakan sebuah inidkator penting keefektifan organisasi, tetapi gaung ukuran-ukurannya masih mengalami kekurangan. Karena itu studi-studi riset yang teliti mengusulkan, penyedikan area yang lebih intensif itu diperlukan.
B. Pencapaian
Ketika membicarakan performan sekolah, banyak orang tua dan kelompok masyarakat lainnya, para pemegang kebijakan di pemerintahan, dan para sarjana membatasi keefektifan organisasi secara sempit. Kadang yang mereka maksudnya adalah skor yang dicapai peserta didik dalam tes berstandard yang mengukur keterampilan kognitif. Sementara banyak yang menyadari adanya kriteria lain. Mereka biasanya mengabaikan peran sekolah dalam mengembangkan motivasi, kreativitas, rasa percaya diri, aspirasi, dan optimisme yang semuanya adalah sesuatu yang diperlukan bagi kesuksesan masa depan di sekolah dan kehidupan dewasa. Misalnya, walaupun para peneliti (Madaus, Airasian, dan Kellaghan, 1980, 111-171) mencatat pentingnya sikap, nilai-nilai dan hal-hal penting lain yang diperoleh peserta didik dari sekolah, mereka membatasi pembahasan mereka tentang keefektifan secara total hampir sebatas pada keterampilan kognitif
Ada dua alasan yang nampak membantu menjelaskan sikap terlalu percaya pada skor hasil ujian berstandard. Yang pertama bersifat politis dan kedua bersifat praktis. Eric A. Nushek (1978) beralasan, beberapa konstituen pendidikan penting melihat skor ujian memiliki nilai intrinsic. Walaupun banyak pendidik tidak menyetujui, orang tua, peserta didik, dan para penentu kebijakan di pemerintahan selalu mempercayai tes ( ujian) itu bersifat esensial untuk mengukur akuntabilitas. Lagi pula, skor tes berstandard dapat disajikan secara umum ke hadapan publik; karena mengukur prestasi kognitif lebih mudah dari pada mengukur non kognitif. (Hanushek, 1978; Maudaus Airasian dan Kellaghan, 1980). Dalam tulisan Charles E. Bidwell dan John D. Kasarda (1975, 57) disebutkan, “Tujuan pendidikan sekolah bermacam-macam dan tak jelas, sementara prestasi akademik peserta didik terang di hadapan mereka. Kemudian, hanya itu hasil sekolah dan kantor pendidikan wilayah yang bisa dinilai secara luas dan terbuka ke public”.
Walauoun kelayakan, lebih dari sekedar teori, seringkali juga menunjuki program-program riset keefektifan sekolah, akan tetapi pencapaian peserta didik adalah sebuah indikator penting bagi pencapaian tujuan. Kemudian, begitu banyak konstituen berpengaruh yang mempercayai adanya nilai intrinsik dari prestasi peserta didik yang diukur dengan tes pencapaian yang standard. Keadaan demikian mengharuskan para manajer dan pendidik mengarahkan perhatian pada masalah faktor apa saja yang dapat menghantarkan sekolah memperoleh skor tes yang lebih tinggi.
1. Ukuran
Secara esensial, semua sekolah dan kantor pendidikan wilayah dan banyak negara bagian memiliki program-program tes. Di akhir tahun 1970 an, ada dua puluh sembilan negara bagian telah mempertimbangkan kompetensi yang didasarkan pada hasil program-program pengetesan (Madaus, Airasian, dan Kellaghan, 1980, 166). Pada akhir tahun 1980 an seluruh Negara bagian benar-benar telah memiliki tipe program tes untuk peserta didik , pendidik, atau program tes untuk keduanya.
Yang paling sering dipakai instrument tes yang terdapat dalam sederetan sub-sub skala yang diakui untuk mengukur anekaragam keterampilan. Yang dipakai secara luas adalah tes-tes pencapaian standard yang berisi Iowa Test of Basic Skill dan Metropolitan Achievement Test. Sebenarnya seluruh deretan tes mengukur pengetahuan tentang Bahasa Inggris, matematika, sains, ilmu-ilmu sosial serta bidang-bidang materi lain yang merupakan bentuk bagian-bagian skala pencapaian tambahan. Skor SAT dan ACT juga telah populer dipakai sebagai indikator-indiokator keefektifan sekolah. Selama masa dua dekade yang lalu peran-peran baru dan harapan-harapan baru untuk pengujian berstadard telah muncul. Sebagian dari peran dan harapan baru itu adalah, pengawasan internal ujian untuk memberi petunjuk tentang ketentuan-ketentuan ruang kelas sekarang muncul bersamaan dengan pengawasan eksternal ujian untuk menyetir pilihan-pilihan kebijakan (Airasian, 1987)
Akses data pencapaian yang sudah siap, menurunkan tugas-tugas koleksi data para peneliti.; Bagaimanapun, beberapa sarjana mempermasalahkan bahwa tanggungjawab utama tes-tes berstandard adalah tes-tes itu relatif tidak sensitif terhadap pencapaian peserta didik yang berasal dari sekolah-sekolah spesifik (seperti sekolah kejuruan, ptj) Maudaus Airasian dan Kellaghan, 1980, 146). Isi sebuah bidang materi seperti seni bahasa terlalu luas, dan tekanan pada kandungan isi materi antar wilayah-wilayah sekolah sangat berbeda. Tes-tes standard itu tidak bisa mengukur secara tepat pencapaian, keterampilan, proses dan hal belajar, yang semuanya itu penting sekali bagi pembelajaran di sekolah.
2. Penelitian .
Secara teoritik, penelitian-penelitian yang menggunakan data dari skor hasil tes berstsndard sulit diterima dalam manajemen pendidikan. Ada dua pendekatan untuk menyelidiki pencapaian kognitif sebagai sebuah indikator keefektifan organisasi yang terdapat dalam literatur: Pertama tertuju pada riset fungsi produksi. Penelitian ini populer di pertengahan tahun 1960 an. Ia juga diistilahkan dengan analisis output dan input. Tekniknya telah dikembangkan oleh para ahli mikroekonomi untuk memprediksi output yang dihasilkan oleh sebuah sistem yang memakai seperangkat input. Itulah variabel independennya. Hanushek (1989) menegaskan bahwa model yang mendasari adalah jujur. Penelitian ini berasumsi bahwa output yang dihasilkan oleh proses pendidikan berrelasi secara langsung dengan sederet input. Dalam sebuah setting sekolah, kelompok-kelompok input biasamya diklasifikasikan sebagai: sumber-sumber keluarga, sumber-sumber sekolah, karakteristik-karakteristik komunitas, sumber-sumber peserta didik, dan karakteristik-karakteristik teman sepermainnan. Sementara itu outputnya adalah skor yang diperoleh dari tes pencapaian Lau, 1978). Tujuan utamanya lebih pada memprediksi outcome, dari pada menjelaskan bagaimana hasil itu diproduksi. Karena itu, analisis statistik, kadangkala berupa beberapa bentuk analisis regresi yang dipakai untuk menyimpulkan penentu-penentu pencapaian yang spesifik dan peran setiap input dalam mempengaruhi performan peserta didik.
Penelitian pendidikan yang paling banyak berpengaruh yang merefleksikan pendekatan semacam ini adalah Equality of Educational Opportunity (Kesamaan dalam Memperoleh Kesempatan Berpendidikan) yang diketuai oleh James S. Coleman bersama kawan-kawan (1966). Dikenal secara populer dengnan “the Coleman Report”. Penelitian ini tetap menjadi survey pendidikan masyarakat Amerika yang paling luas dari yang pernah ada. Secara nasional, ada 645.000 peserta didik yang menjawab tes kemampuan dan pencapaian yang standard. Dan sebanyak itu pula berkas untuk mendeskripsikan latar-belakang keluarga mereka. Kira-kira 60.000 guru mengisi kusioner mengenai pengalaman pendidikan, kedudukan mengajar, perilaku, dan kemampuan verbal mereka. Terakhir, data tentang anekaragam variabel keorganisasian yang meliputi bentuk kelas, organisasi sekolah, perpustakaan, dan fasilitas laboratorium yang dikumpulkan lebih dari 4000 sekolah.
Temuan yang paling mengejutkan adalah mengenai peran sekolah dalam hal hasil pencapaian peserta didik. Ketika variabel latarbelakang keluarga menjadi variabel yang diamati, faktor-faktor sekolah menampilkan penjelasan sebagai varian kecil dalam menentukan hasil skor tes. Apa yang terjadi, mengapa bukan kesamaan materi sekolah yang paling besar, tetapi justru latarbelakang keluarga sebelum memasuki sekolah dan teman-teman sepermainan. Meragukan bahwa sekolah berkontribusi besar pada hasil pencapaian peserta didik. Hal ini telah diperkuat oleh hasil-hasil evaluasi terakhir yang dilakukan oleh Head Star and Title I terhadap program-program pendidikan pengganti (Madaus, Airasian, dan Kellaghan, 1980). Pengaruh pendidikan terakhir ditemukan hanyalah kecil.
Sejumlah besar penelitian tentang fungsi produksi diadakan terutama oleh ahli ekonomi yang terus berlangsung di akhir tahun 1960 an hingga awal tahun 1970 an. Beberapa tinjauan yang bermutu mengenai literatur ini masih tersedia. (Misalnya, Lau, 1978; Hanushek, 1978; Jamison, Suppes dan Wells, 1974; Averich, 1972; Murnane, 1981; Mackensie, 1983; Rowen, Bossert dan Dwyer, 1983)
Banyak peneliti awal menyimpulkan dengan pesimis bahwa sekolah punya pengaruh kecil terhadap perkembangan peserta didik. Jika pandangan ini diterima, maka menimbulkan bangunan masalah baru yaitu masalah pengeluaran dana pendidikan tambahan, untuk menyediakan guru lebih banyak, fasilitas lebih baik, dan sumber-sumber kurikulum baru, dan masalahnya akan menjadi sangat sulit. Betulkah masalah tersebut diselesaikan dengan penambahan dana ? Dalam peninjauan ulang terhadap 187 penelitian akhir-akhir ini, Hanushek (1989, 45) menyimpulkan bahwa dua dekade riset fungsi produksi pendidikan mulai memroduksi hasil-hasil yang konsisten. Variasi-variasi dalam pengeluaran dana sekolah tidak berhubungan secara sistematis dengan variasi-variasi dalam performan peserta didik. Faktor-faktor yang diteliti adalah:
- Perbandingan jumlah guru-murid (ratio guru/murid)
- Tingkat pendidikan guru, gaji dan pengalamannya
- Pengeluaran dana per murid
- Input-input manajemen
- Fasilitas
Secara sederhana dia mengungkapkan, riset fungsi produksi menemukan sedikit bukti untuk mendukung pemikiran yang menyatakan cara uang dialokasikan untuk sekolah akan membantu perkembangan belajar murid.
Dalam sebuah usaha menglarifikasi kesimpulan-kesimpulan Hanushek, Albert Shanker (1989) menawarkan sejumlah penjelasan yang meyakinkan. Sebagai pernyataan awal ia menegaskan bahwa “fakta-fakta” dalam tipe riset semacam itu tidak serta merta mengungkapkan diri fakta itu sendiri. Untuk membuat interpretasi yang beralasan terhadap temuan-temuan, sejumlah pertanyaan harus dikemukakan. Misalnya, Apa yang dimaksud dengan performan peserta didik ? Dalam lebih dari 70 persen penelitian, performan peserta didik itu diukur lewat tes standard. Ketika tes itu mengungkapkan sesuatu yang mendasar mengenai performan, maka hasilnya tidak menunjukkan kepada apakah peserta didik mampu menulis sebuah esai yang baik, menyusun pembahasan yang baik, atau menciptakan sesuatu. Bagaimana dengan temuan bahwa ratio guru-murid tak mempengaruhi munculnya perbedaan ? Shanker menawarkan dua penjelasan. Pertama, ratio bukankah sesuatu yang sama dengan bentuk kelas. Jumlah guru yang besar tidak bekerja secara tetap dengan peserta didik. Malahan mereka ditempatkan di tugas-tugas yang punya peran kecil (perbedaan kecil) bagi peserta didik. Kedua, kelas kecil boleh jadi tidak menggiring peserta didik memperoleh skor tes yang lebih baik dalam tes standard., tetapi kondisi kelas kecil yang sedemikian itu lebih banyak menciptakan semacam ini, yaitu guru-guru akan bisa memberikan penulisan tugas-tugas yang lebih banyak, dan lebih bisa menjelaskannya.
Shanker menyimpulkan, bahwa tipe penelitian fungsi produksi tidak akan bisa ditolak, tetapi tidak dapat menciptakan masalah bahwa uang dan sumber lain tidak ada artinya dalam pendidikan. Berikutnya dia menyatakan, bahwa riset itu akan memberikan “jedah” kepada siapa saja yang mendesak bahwa uang lebih banyak pada saat yang sama akan mengembangkan keefektifan sekolah. Jika kebanyakan anak tidak bisa belajar dengan duduk sepanjang hari, tidak dapat belajar dengan mendengarkan pelajaran secara passif, tidak dapat mengikuti buku-buku teks dan buku-buku kerja yang telah ditentukan dengan setting langkah cepat, maka melakukan hal-hal tersebut dalam kelas yang lebih kecil dengan guru yang lebih berpengalaman dan terdidik dan dukungan administratif yang lebih besar tak akan membantu mereka belajar lebih baik.. Sebagai sebuah kritik keras, Shanker menegaskan, perubahan-perubahan fundamental harus terjadi di tengah-tengah sekolah-sekolah diatur dan harus ada fungsi untuk memajukan keefektifan organisasi mereka secara signifikan.
Penelitian-penelitian fungsi produksi meninggalkan sedikit keraguan bahwa belajar di rumah sangatlah penting. Tak masalah bagaimana penelitian diukur, perbedaan-perbedaan dalam soal latar belakang sosioekonomik keluarga menunjukkan lahirnya perbedaan-perbedaan yang signifikan dalam pecapaian prestasi peserta didik. Sebuah interpretasi yang masuk akal menyebutkan bahwa ukuran-ukuran status sosioekonomik adalah wakil-wakil yang sesungguhnya bagi kualitas lingkungan belajar di rumah (nutrisi, lingkungan fisik, sikap orang tua, pendidikan, dan seterusnya).. Masih ada sedikit ruang untuk meragukan bahwa perbedaan-perbedaan antara sekolah dan guru adalah penting bagi pencapaian prestasi. Sekolah tidak homogen dalam mempengaruhi peserta didik; Sekolah berbeda dalam soal keefektifan. Sebagaimana pernyataan Steven T. Bossert (1988), penelitian-penelitian input-output tidak mempertimbangkan secara khusus bagaimana para peserta didik menggunakan secara sungguh-sungguh sumber-sumber yang tersedia di sekolah. Larry Cuban (1984) mencatat, bahwa impulse awal di belakang penelitian sekolah efektif telah meningkatkan pencapaian akademik di masyarakat yang pendapatan ekonominya rendah, secara umum di sekolah-sekolah minoritas. Sebagai tambahan, itu adalah sebuah reaksi yang dilakukan oleh para peneliti di pertengahan hingga akhir tahun 1970 an terhadap kesimpulan-kesimpulan dari penelitian yang dilakukan pada tahun 1966 (Coleman Report) dan penelitian-penelitian fungsi produksi berikutnya, yang menyatakan bahwa sekolah memiliki pengaruh kecil terhadap performan akademik.
Selama tahun 1970 para sarjana dan pembela sekolah efektif (misalnya, Bloom, 1976; Brookover, 1978; Edmonds, 1979; Madaus, Airasian dan Kellaghan, 1980; Clark, Lotto dan Astuto, 1984) telah mengklaim bahwa dengan cara memfokuskan pada proses-proses pendidikan seperti metode-metode pembelajaran, organisasi ruang kelas, iklim dan budaya, maka karakter sekolah akan ditemukan bahwa sekolah berkorelasi secara konsisten dengan prestasi pencapaian peserta didik dalam tes standard dan dalam indikator-indikator penting lainnya mengenai keefektifan organisasi. Para peneliti ini menggunakan pendekatan lain dalam mengkaji performan sekolah. Pendekatan lain itu diistilahkan dengan sebutan “Riset Keorganisasian”, atau yang lebih umum “Riset Sekolah Efektif”. Walaupun frasa “sekolah-sekolah efektif”, “pencapaian dalam tes standard” secara umum digunakan dalam bodi literatur, tetapi itu satu indikator keefektifan organisasi. Sejumlah reviu dan analisis yang bermutu mengenai literatur sekolah efektif telah dipublikasikan (misalnya, Purkey dan Smith, 1980; Brophy dan Good, 1986; Bossert, 1988)
Para sarjana telah menyimpulkan apa yang mereka percayai sebagai formula satu - tiga, lima , enam, atau sepuluh faktor sekolah yang penting untuk meningkatkan skor dalam tes standard. Ronald Edmonds dan Dawrence C. Stedman (1987) mempopulerkan formula lima faktor sekolah efektif, dan mengamati bahwa kebanyakan pendidik akrab sekali dengan formula itu, yaitu:
- Kepemimpinan kepala sekolah yang kuat, khususnya dalam soal-soal pembelajaran
- Harapan guru yang tinggi untuk meningkatkan pencapaian peserta didik.
- Penekanan pada keterampilan-keterampilan dasar.
- Lingkungan yang tertib
- Frekwensi evaluasi peserta didik yang sistematik.
Daftar yang serupa berasal dari riset yang dilakukan oleh Terry A. Astuto dan David L. Clark (1985), Bossert (1988) dan Wimpelberg, Teddle dan Stringfield (1989). Formula jumlah factor yang lebih besar diusulkan oleh S.C. Purkey dan Marshall S. Smith (1983). Tabel 2 berikut berisi faktor-faktor sekolah efektif yang diringkas dari reviu Edmons, Purkey dan Smith serta Stedman
Tabel 2: Tiga Set Faktor Proses dan Organisasi dalam Formula Sekolah Efektif
Peneliti | Faktor-faktor Keefektifan Sekolah |
Edmonds Smith dan Purker Stedman |
|
Ada statatemen sederhana, riset-riset sekolah efektif telah memiliki pengaruh yang hebat pada praktek sekolah. Good dan Brophy (1986, 582-586) dan Stedman (1987, 216-217) memberikan ringkasan sejumlah program-program perubahan, misalnya “Proyect RISE di Milwaukee” dan “the School Improvement Project di New York City”, semua didasarkan pada bodi riset sejenis ini. Program-program lain telah dilakukan di Atlanta, Chicago, Minneapolis, Pittsburgh, San Diego, St. Louis, Washington D.C.dan banyak lagi di wilayah-wilayah sekolah lain yang lebih kecil sebanyak di wilayah Negara bagian. (Cuban, 1984, 130). Namun demikian, usaha-usaha untuk menerapkan sebuah formula pengubahan jumlah faktor-faktor sekolah menjadi terbatas yang ditujukan untuk pengembangan performan akademik itu memproduksi hasil-hasil yang baur. Sejalan dengan Brophy dan Good, tujuan Project RISE nampaknya untuk mencapai beberapa kesuksesan. Skor yang dicapai dari tes pencapaian telah dikembangkan ke beberapa hal lain yang lebih luas, khususnya di bidang sekolah dan di area matematik. Stedman melakukan kritik tajam terhadap pendirian dan sikap Project RISE. Ketika mengetahui beberapa sekolah meningkatkan skor matematik mereka, dia menyatakan, kebanyakan sekolah-sekolah yang ada di bawah naungan program Project RISE terus menerus buruk dalam soal membaca. Kemudian, sekolah-sekolah yang mencapai sukses selalu diperlakuklan demikian yaitu mengajar untuk kepentingan tes.
Dalam alur yang serupa, Cuban (1983, 695-696; 1984, 131-132, 148-151) menawarkan sebuah catatan peringatan tentang serbuan penerapan perubahan oleh (yang dikenal dengan sebutan) para pembela sekolah-sekolah efektif. Dia membuat daftar dan mengggambarkan beberapa problem signifikan, konsekwensi yang tidak diantisipasi yang ada di riset itu, dan penerapan temuan-temuannya tentang sekolah efektif. Problem-problem yang dimaksud meliputi:
- Tak ada seorangpun tahun bagaimana menumbuhkan sekolah efektif.
- Konsensus ( kata sepakat) tentang definisi dari konsep-konsep kunci seperti keefektifan, kepemimpinan, iklim, dan lain-lain tak pernah ada.
- Keefektifan didefinisikan sangat sempit, yaitu urutan skor tes.
- Metode-metode riset yang lemah dipakai untuk menghasilkan temuan-temuannya.
Sedangkan konsekwensi-konsekwensi yang tidak diantisipasi meliputi:
- Mengembangkan keseragaman, misalnya kurikulum standard, dan penggunaan buku teks dan buku kerja yang sama untuk wilayah yang luas
- Agenda pendidikan yang sempit, misalnya, musik, kesenian, berbicara dan rasa harga diri mendapatkan perhatian yang kecil.
- Terjadinya konflik yang tinggi antara guru dan manajer di sepanjang kepemimpinan pembelajaran.
Ketika Stedman (1987, 217-222) bersikap kritis sekali terhadap usaha-usaha sebelumnya untuk mensistensis literatur tentang sekolah efektif, dia menawarkan formula sembilan faktor (lihat tabel 2 di atas) . Walaupun ini merupakat perangkat kecil variabel sekolah, tetapi ia juga membatasi kemampuannya untuk mendeskripsikan dan menjelaskan proses-proses kompleks yang berkaitan dengan pencapaian akademik. Dia telah memusatkan perhatian pada penelitian-penelitian kasus terhadap contoh sekolah yang terbaik. Sekolah-sekolah itu meraih tingkkat kesuksesan yang tinggi dalam beberapa tahun walaupun murid-muridnya berasal dari keluarga berpendapatan rendah. Menurut Stedman, kebanyakan penelitian-penelitian ini memberikan deskripsi yang rinci mengenai praktek dan organisasi sekolah. Dia mengklaim, bahwa formula sembilan faktornya telah menghasilkan sebuah interpretasi yang sangat berbeda tentang literatur sekolah efektif. Misalnya, sekolah-sekolah yang sukses yang secara aktif mengembangkan identitas rasial dan identitas etniknya:
- Memberikan lebih banyak perhatian individual pada murid-muridnya
- Melibatkan orang tua dalam pendidikan anak-anaknya di sekolah dan rumah.
Sebagai sebuah resep, praktek-praktek sembilan faktor itu memiliki saling keterkaitan yang tinggi. Usaha di sebuah area menjadikan usaha di area lain lebih mudah. Misalnya, ketika sebuah sekolah telah menjadi lebih responsif terhadap pluralisme budaya, maka ketika itu pula sekolah mengembangkan komunitas yang lebih besar dan mengembangkan dukungan rumah tangga yang lebih besar pula. Mengenai semua klaim dan model yang berkenaan dengan sekolah-sekolah efektif yang telah ada itu, resep-sesep obat mujarab ini akan dipertimbangkan sebagai hipotesis kerja yang memerlukan pengujian lewat desain riset yang kuat, sebelum diterima sebagai obat penangkal untuk sekolah yang miskin performan.
Mengenai riset yang berkaitan dengan kepala sekolah, ada empat karakteristik kepala sekolah efektif yang telah berhasil diidentifikasi secara khusus (Bossert, 1988, 346):
- Pertama, tekanan pada tujuan dan produksi
- Kedua, pembuatan keputusan yang kuat dan bertenaga
- Ketiga, manajemen efektif.
- Keempat, Keterampilan “human relation” yang kuat.
Hasilnya tidak sejelas sebagaimana para pendukung pernyataan program keefektifanm sekolah. Misalnya, Good dan Broophy (1986, 596) menyatakan, bahwa semua penelitian mengenai sekolah-sekolah efektif mendukung pentingnya kepemimpinan sekolah, tetapi membatasi pada keadaan yang bersesuaian dalam soal perilaku dan praktek yang menggambarkan sifat kepemimpinan dalam meningkatkan prestasi pencapaian akademik. Dalam sebuah penilaian yang lebih kuat dan lengkap , Bossert (1988, 351) terakhir menegaskan, penelitian-penelitian sekolah efektif telah mencoba untuk menghidupkan kembali birokrasi yang ideal dengan menyatakan bahwa kepemimpinan kepala sekolah yang kuat diperlukan agar penstrukturan organisasi ditujukan untuk keefektifan Kesimpuilan itu bagaimanapun lemah, karena ada yang mengatakan, proses apa yang mesti distruktur atau struktur apa yang perlu diciptakan untuk menghasilkan kesuksesan.
Dari penelitian sekolah efektif itu , ada dua kesimpulan yang mendapatkan dukungan (Bossert, Dwyer, Rowen, dan Lee, 1982):
- Pertama, perilaku administratif kepala sekolah itu penting bagi keefektifan sekolah.
- Tida satu tipe manajemen yang menampakkan kecocokan untuk semua sekolah.
Mirip dengan penelitian-penelitian kepemimpinan yang disebut dalam seri 9, temuan-temuan itu menegaskan kegunaan pendekatan kontingensi (pendekatan serba mungkin) bagi keefektifan organisasi dan kepemimpinan. Dengan kata lain, keefektifan bergantung pada kesesuian dan kecocokan dengan variabel-variabel situasi. Misalnya, bentuk dan sentralisasi hirarki administratif, organisasi program kurikulum, tipe prosedur pembelajaran di ruang kelas, iklim dan budaya sekolah, dan tipe kepemimpinan kepala sekolah.
Bagi para pendidik berpengetahuan, temuan-temuan dan klaim-klaim literatur sekolah efektif boleh jadi tak mengejutkan, tetapi mereka menyajikan permulaan dengan memilih cara yang sekolah bisa mempengaruhi pengembangan kognitif. Bagaimanapun, para pendidik yang sama sadar bahwa organisasi sekolah dan pencapaian akademik sangatlah kompleks dan bahwa formula lima hingga sepuluh sekalipun tak akan memecahkan masalah-masalah pengembangan keefektifan sekolah. Jika penentu kebijakan di pemerintahan dan publik mau percaya pada kebutuhan sumber tambahan, maka riset di jalur ini harus dikejar dan diperluas secara sungguh-sungguh untuk menggambarkan kompleksitas sekolah yang nyata. Sebagai tambahan, iklim dan budaya, perilaku guru dalam mengajar, organisasi ruang kelas, proses-proses birokrasi, motivasi, kepemimpinan dan komunikasi, akan diteliti di sekolah dan di ruang kelas untuk menambah penjelasan tentang bagaimana sekolah mempengaruhi prestasi pencapaian akademik,
Ringkasnya, walaupun tes-tes pencapaian standard mengandung perangkap politis, perangkap empirik, dan perangkap konseptual bagi para pendidik, akan tetapi untuk kepentingan mencari sebuah indikator keefektifan sekolah, maka itu semua penting dalam mengukur performan. Indikator ketiga tentang performan, yaitu kepuasan kerja, diterima dengan sikap sedikit lebih kontroversial dibanding pencapaian murid, walaupun yang ini juga sangat kurang difahami.
C. Kepuasan Kerja
Penelitian formal mengenai kepuasan kerja tak pernah ada hingga penelitian-penelitian Hawthornr mulai melakukannya pada awal tahun 1930 (lihat seri 1). Sebelum penelitian-penelitian ini, para manajer ilmiyah secara implisit telah mengenal konsep ini dalam kaitannya dengan buruh yang selalu lelah. Sejak tahun 1930 an kepuasan kerja mulai diteliti secara ekstensif. Edwin A. Locke (1976) misalnya mengestimasi bahwa minimum ada 3.350 artikel tentang kepuasan kerja dipublisikanpada awal tahun 1972. Selanjutnya angka itu berkembang lebih dari 100 artikel baru yang dipublikasikan setiap tahun.
Mengapa kepuasan kerja begitu sangat menarik ? Asalnya, kepuasan kerja menjadi penting karena para pendukung awal pendekatan “Human Relation”: (baik dari kalangan teoritisi maupun manajer) yakin bahwa “seorang pekerja yang senang adalah seorang pekerja yang produktif”. Kemudian baru-baru ini, penelitian kepuasan kerja diintensifkan dengan pemusatan perhatian secara umum pada kualitas kehidupan kerja, yang dilambangkan sebagai contoh publikasi selama 1970an adalah publikasi kerja di Amerika serikat yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan, Pedidikan dan Kesejahteraan Amerika Serikat (Pubcation of Work in America, U.S. Departement of Healt, Education and Wlfare, 1973). Sekalipun rata-rata dengan penekanan konsep baru itu, tetapi pemahaman kita mengenai kepuasan kerja tetap dibatasi. Bagaimanapun, telah ada sedikit kesepakatan mengenai definisi yang tepat tentang kepuasan kerja.
Usaha klasik mendefiniskan kepuasan kerja itu telah dibuat pada tahun 1935 oleh Robert Hoppock (1935,47). Ia terus menerus mengalami kesulitan memformulasi definisi yang tepat karena keterbatasan jumlah informasi yang tersedia mengenai materi ini. , Namun demikian, ia telah mendefiniskan kepuasaan kerja sebagai sebuah kombinasi keadaan-keadaan psikologis, fisiologis dan lingkungan yang membuat seeorang berkata, “saya puas dengan pekerjaan saya”
Definisi konsep yang lain telah diformulasikan. Kepuasan kerja telah dipahami sebagai orientasi afektif para individu pada tugas kerja yang mereka jabat saat itu. (Vroom, 1964, 99). Mirip dengan itu, kepuasan kerja adalah sebuah respon affektif seseorang terhadap pekerjaannya; respon itu dihasilkan ketika pengalaman-pengalaman kerja berhubungan dengan kebutuhan dan nilai-nilai perorangan (Smith, 1967;. Muchinsky, 1987, 396). Akhirnya, seorang peneliti mendefiniskan kepuasan sebagai keadaan emosional yang positif atau senang yang dihasilkan dari penilaian atas pekerjaan atau pengalaman-pengalaman kerja seseorang (Locke, 1976. 1300). Dalam setting pendidikan, kepuasan kerja adalah sebuah keadaan afektif yang diorientasikan pada sekarang dan akan datang tentang mau dan tidak mau yang dihasilkan ketika pendidik itu mengevaluasi tugas kerjanya. Sekalipun beberapa definisi konsep yang diterima telah muncul, tetapi pengukurannya tetap merupakan sebuah problem.
1. Ukuran
Metode-mtode khas pengukuran kepuasan kerja menggunakan kusioner yang berubah-ubah secara prinsip ke-langsung-annya dalam menilai konsep tersebut. Kebanyakan metode langsung (direct method) berupa sebuah pertanyaan tunggal, misalnya, Seberapa jauh anda puas dengan pekerjaan anda sekarang ?. Seluruh kusioner kepuasan kerja, dengan mengenyampingkan variasi-variasi yang ada, telah dikembangkan untuk mengukur variabel kriteria di beberapa penelitian (misalnya, Miskel dan Gerhadt, 1974; Miskel, Glanapp dan Hatley, 1975; Miskel, Defrain dan Wilcox, 1980).
Tabel 3. Seluruh Kuisioner Kepuasan Kerja
Kategori respon:
- sangat tidak Setuju
- tidak setuju
- netral
- setuju
- sangat Setuju.
- 1.Sebagaimana saya evaluasi masa depan saya sebagai pendidik, saya merasa tingkat kepuasan saya akan meningkat
- Saya agaknya tidak puas dengan pekerjaan saya.*)
- JIka saya cukup uang, saya akan hidup enak tanpa kerja, saya akan meninggalkan pekerjaan saya.*)
- Saya selalu berpikir pindah pada pekerjaan lain.*)
- Pekerjaan saya sebagai pendidik memberikan kepuasan pribadi.*)
- Saya puas dengan pekerjaan saya
- Kebanyakan pendidik lain lebih merasakan kepuasan kerja disbanding saya.*)
*) Skor terbalik.
Edward Holdway (1978a, 1978b) menyusun ukuran yang lebih luas untuk menilai kepuasan kerja para guru hingga pada aspek-aspek kecil pekerjaan mereka. Didasarkan pada hasil interviu yang luas dengan para guru, meliputi item-item tentang: kontrak-kontrak guru, tinjauan pustaka, dan tes-tes utama. Dia memilih lima puluh dua item untuk mengukur tujuh faktor kepuasan kerja. Tujuh faktor dan contoh itemnya terdapat dalam tabel 4 berikut. Sebagaimana tertera di dalamnya, tabel itu menunjukkan bahwa:
- Beberapa dimensi penting mengenai kerja guru diteliti secara cermat.
- Isi yang bermacam-camam ini dikombinasi dengan fakta yang menunjukkan bahwa instrumennya dikembangkan secara hati-hati,
- Kuisionernya dapat menyediakan sebuah ukuran yang baik sekali bagi masa depan penelitian.
Tabel 4: Faktor-faktor dan Item-item Contoh Kusioner untuk Menguji Kepuasan Kerja dengan Berbagai Aspeknya.
Kategori respon:
- tidak relevan dan tidak dapat diterapkan
- sangat tidak memuaskan
- cukup tidak memuaskan
- sedikit tidak memuaskan
- netral
- kurang memuaskan
- cukup memuaskan
- sangat memuaskan
Faktor Ke | Materi Faktor | Item Pokok |
Peratama | Pengakuan dan Status | Status guru di masyarakat |
Kedua | Peserta Didik | Sikap murid dalam belajar |
Ketiga | Sumber-sumber | Ketersediaan sumber pustaka |
Keempat | Tugas Mengajar | Kebebasan memilih metode mengajar |
Kelima | Keterlibatan dengan manajer | Keterlibatan dalam penetapan keputusan |
Keenam | Beban Kerja | Jumlah jam mengajar tiap minggu |
Ketujuh | Gaji dan Keuntungan | Gaji |
2. Riset
Selama tahun 1960 an dan awal 1970 an serangan, sanksi dan negosiasi professional telah memberikan fakta mengenai adanya sebuah keadaan umum yang menggambarkan ketidakpuasan di kalangan guru. Studi-studi riset menunjukkan, bahwa guru bagaimanapun secara tradisional tidak memiliki rasa puas. Dalam sebuah penelitian awal, Hoppock (1935, 155-156) menemukan temuan yang mengejutkan, kurang dari sepuluh prosen guru yang menjadi sampel tidak puas. Tak beberapa lama setelah itu, nampaknya Francis S. Chase (1951) menemukan, kurang dari delapan prosen guru tidak puas dengan pekerjaan mereka. Di awal tahun 1970 an, Rex Fuller dan Miskel (1972) juga menemukan kurang dari delapan prosen dari pendidik yang menjadi sampel tidak puas; Kenyataannya, 88,6 prosen menyatakan puas atau sangat puas dengan pekerjaan mereka. Kesimpulan yang cukup beralasan adalah, selama empat puluh tahun lebih, prosentase ketidakpuasan guru realatif stabil, level rendah, sepuluh prosen ke bawah.
Satu faktor yang mungkin mendukung relatif rendahnya level ketidakpuasan adalah sebuah perangkat jawaban yang berbias sosial dari guru, yang selalu dikatakan, mereka puas melayani anak-anak. Konsekwensinya, untuk menyuarakan kepuasan kerja yang rendah boleh jadi tidak bisa diterima secara sosial untuk menjadi seorang pendidik professional. Dukungan yang memperkuat pernyataan itu ditemukan ketika data ukuran langsung dan tidak langsung mengenai kepuasan diperbandingkan. Fuller dan Miskel telah mengukur level kepuasan secara langsung dengan pertanyaan, “Secara keseluruhan, bagaimana kamu merasakan pekerjaanmu, yaitu hal-hal yang kamu lakukan di sekolah secara nyata ? Para guru menjawab kategori kelima dari tingkatan: sangat puas hingga ke sangat tidak puas, yang di skala dari satu hingga lima secara ketat. Nilai rata-ratanya (mean-nya) adalah 4,15. Sebaliknya Miskel, Doughlas Glasnapp, dan Richard Hatley (1972, 69-79) menggunakan ukuran tidak langsung (lihat tabel 2), mereka menemukan nilai rata-rata secara substansial lebih rendah.
Beberapa teori yang lebih formal telah dirancang untuk menjelaskan level kepuasan kerja yang dimaksud. Salah satunya adalah “discrepancy hypotesis” (ketidaksesuaian hipotesis), diajukan oleh Patricia Cain Smith, L.M. Kendall, dan C.L. Hulin (1969). Mereka mengusulkan, kepuasan kerja, yang terbaik dijelaskan dengan mencari ketidaksesuaian antara motivasi kerja dari para pekerja tetap dengan insentif yang ditawarkan kepada mereka oleh organisasi. Konsep-konsep yang mirip dengan itu di dapat di inducemence-contributions thories (teori-teori sumbangan rangsangan) (Festinger, 1957). Pandangan-pandangan ini membuat postulat bahwa tingkat kepuasan kerja berrelasi dengan perbedan yang dirasakan antara apa yang diharapkan atau dirindukan sebagai imbalan yang jujur dan masuk akal (motivasi perorangan) dengan apa yang dialami secara nyata di dalam situasi kerja (insentif dari organisasi). Perangkat umum pendekatan-pendekatan kepuasan kerja diistilah dengan “intrapersonal comparison theories” (teori-teori perbandingan antar perorangan) (Muchinsky, 1987, 399-400).
Dengan menggunakan sebuah pendekatan perbandingan antar perorangan untuk organisasi kependidikan, Max Abbort (1965) mengajukan hipotesis, sepanjang para pendidik menetap dalam sistem sekolah, sepanjang itu mereka berperforman sesuai dengan cara-cara yang berlaku dalam posisi yang telah ditentukan. Dalam melakukan yang demikian, para pendidik mengantisipasi hubungan antara performan yang diharapkan dan hadiah-hadiah dari kantor pendidikan daerah. Jika mereka berperforman dan upah yang diantisipasi tidak datang, atau jika mereka merasa, upahnya adalah negatif, maka hasilnya adalah ketidaksesuaian. Dalam mencari sebuah penjelasan mengenai ketidaksesuaian itu, pertanyaan para pendidik adalah jawaban yang akurat tentang persepsi mereka yang sebenarnya. Banyak perubahan dalam persepsi membuat mereka mengubah kepercayaan mereka agar bisa bersikap akomodatif terhadap ketidakadilan yang dirasakan. Seperti itu juga, sebuah perubahan melibatkan sesuah perubahan kesesuaian dalam jawaban-jawaban afektif mengenai kerja, yaitu, sebuah perubahan dalam level kepuasan kerja.
Discrepancy (ketidaksesuaian) atau hipotesis perbandingan mengenai kepuasan kerja dikembangkan di luar analisis ini. Hipotesis itu disajikan secara deskriptif dalam Tabel 5, mengusulkan sebuah hubungan langsung yang bersifat positif antara level-level kepuasan kerja para pekerja dan tingkat kesesuaian antara kondisi kerja yang ideal dan kondisi kerja yang dirasakan. Jika kebutuhan-kebutuhan itu adalah memotivasi seseorang bekerja benar-benar puas lewat insentif yang diberikan oleh organisasi, maka tidak akan muncul “ketidaksesuaian” dan kepuasan kerja akan tinggi. Jika kebutuhan-kebutuhan perorangan lebih besar dari upah kerja yang diterima, maka ketidaksesuaian (discrepancy) muncul yang akan mendorong lahirnya ketidakpuasaan. Tetapi jika upah melebihi kebutuhan, maka ketidaksesuaian akan menghasilkan kepuasan kerja yang positif. Temuan-temuan Miskel, Glasnapp, dan Hatley (1975) mendukung hipotesis ketidaksesuaian (discrepancy hypothesis) untuk digunakan dalam setting pendidikan.
Pendekatan lain berusaha menjelaskan tingkat kepuasan kerja dengan cara menghubungkan kombinasi variabel dengan indikator-indikator kepuasan kerja. (Glisson dan Durick, 1988) . Variabel itu bisa dibagi dalam tiga kelompok:
- Karakteristik tugas kerja
- Karakteristik organisasi tempat bekerja
- Karakteristik pekerja (usia, kelamin, pendidikan)
-
The general relationship hypothesis (hipotesis hubungan umum), demikian sebutan istilahnya, berusaha mengkorelasikan kepuasan kerja dengan seluruh variabel secara benar seperti yang diajukan di dalam model sistem sosial (lihat seri 3) Beberapa reviu yang sangat baik mengenai riset yang menguji general relationship hypothesis telah tersedia. (Misalnya Locke, 1976; Holdway, 1978b; Rice, 1978).
Setelah melakukan reviu terhadap literature itu, Ratsoy (1973) menyimpulkan, kepuasan kerja guru, secara umum, rendah di sekolah, karena di sana guru merasakan adanya lapisan birokrasi yang tebal. Fakta lain, bagaimanapun, memberi kesan, bahwa statemen itu terlalu umum. Jika aspek-aspek birokratik khas sekolah berrelasi dengan kepuasan kerja, maka sebuah gambaran yang kompleks akan muncul. Faktor-faktor birokratik yang meningkatkan perbedaan-perbedaan status antar para professional, seperti hirarki otoritas dan sentralisasi, akan menghasilkan tingkat kepuasan yang rendah. Akan tetapi faktor-faktor yang mengklarifikasi kerja dan kebijakan sekolah yang mengaplikasikan kesamaan hasil akan menaikkan tingkat kepuasan yang tinggi (Gerhardt, 1971; Carpenter, 1971; Grassie dan Carss, 1973; Miskel, Fevurly, dan Stewart, 1979). Misalnya, mengaplikasikan secara jujur peraturan-peraturan yang membantu menggambarkan tanggungjawab kerja, akan meningkatkan kepuasan kerja para pekerja.
Motivasi kerja juga berkorelasi secara konsistren dengan kepuasan kerja. Motivator dan kebutuhan-kebutuhan kesehatan dapat membantu kepuasaan para guru dan administrator (lihat Seri 7). Motivasi pengharapan ditemui juga berkorelasi secara signifikan dengan kepuasan kerja guru (Miskel, DeFrain, dan Wilcox, 1980; Miskel, McDonald, dan Bloom, 1983). Serupa dengan itu, misalnya iklim keorganisasian sekolah yang lebih terbuka dan lebih partisipatif (lihat Seri 8) akan mningkatkan level kepuasan guru (Miskel, Fevurly, dan Stewart, 1970; Grassie dan Carss, 1973).
Kepemimpinan, pembuatan keputusan dan proses komunikasi juga mempengaruhi kepuasan kerja guru. Pengaruh-pengaruh bentuk kepemimpinan para manajer sekolah telah dikenal (Blocker dan Rchardson, 1963). Watak hubungan antara guru dan manajer dan kualitas kepemimpinan berhubungan tinggi dengan moral guru; Yang lebih baik hubungannya dan yang lebih baik kualitas kepemimpinannya, maka moral guru cendrung lebih baik. Temuan-temuan dewasa ini lebih memperkokoh pernyataan-pertanyaan di tahun-tahun awal mengenai adanya pengaruh ini. Partisipasi yang lebih besar dalam pembuatan keputusan, khususnya mengenai metode-metode pembelajaran, menghasilkan kepuasan kerja guru yang meningkat. (Balasco dan Alutto, 1972; Mohrman, Cooke, dan Mohrman, 1978). Selain itu, kurang peluang berpartisipasi dalam pembuatan keputusan adalah sumber terbesar ketidakpuasan para guru (Holdaway, 1978b). Terakhir, kualitas proses komunikasi berrelasi dengan seluruh kepuasan kerja guru (Nicholson, 1980) Mengkomunikasikan secara jelas skop kerja para pegawai, bagaimana mereka berkontribusi berelasi dengan pencapaian tujuan-tujuan sekolah, bagaimana mereka mempertimbangkan misalnya, berkorelasi positif dengan kepuasan kerja.
Satu topik terakhir sehubungan dengan penelitian mengenai kepuasan kerja adalah hubungan antara kepuasan kerja dengan performan kerja. Secara intuitif, lebih banyak pendidik yang puas berperforma di level yang lebih tinggi daripada pendidik yang tidak puas. Kepercayaan semacam ini relative tidak berubah hingga sebuah analisis kritis terhadap literatur-literatur yang ada (Brayfield dan Crockett, 1955) mengungkapkan bahwa hubungan itu tidak sederhana, berhubungan langsung begitu saja. <orip dengan itu, reviu lain yang komperhensif tentang literature semacam itu (Haerzberg, Mausner, Peterson, dan Capwell, 1957) menemukan, bahwa kepuasan dan performa memiliki korelasi yang rendah tapi positif. Sama dengan hubungan yang rendah ini, sebuah kontroversi menguasi secara membabi buta variabel yang bisa menyebabkan adanya yang lain. (Greene dan Craft, 1979), yaitu performa dan kepuasan dipandangi baik sekali sebagai indikator yang terpisah dari keefektifan organisasi. Hanya saja dalam keadaan khusus kita bisa berharap adanya hubungan kausal antara keduanya: performa dan kepuasan.
Kita bisa menyimpulkan dari survey singkat ini bahwa selama pengetahuan mengenai kepuasan kerja cendrung menjadi agak terpisah, maka akan menjadi sebuah topik yang sangat menarik bagi para pendidik. Alasan adanya keterpisahan itu adalah banyak penelitian bergantung pada dasar-dasar teori dan hasil-hasilnya tetap mengenyampingkan fakta-fakta. Maka dari itu , tugas yang diperlukan adalah menerima teori yang koheren di area ini.
D. Minat Hidup Fokus
Sebagai sebuah indikator fungsi latency kritis dari sistem sosial (lihat Tabel 1), minat hidup fokus dapat didefinisikan sebagai sebuah perangkat sikap yang menetapkan pilihan individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang disukai yang dipilih secara sadar (dalam setting dipilih). Bila diberi rentang yang luas untuk aktivitas hidup sehari-hari, setiap orang akan memilih sedikit saja untuk mendapat perhatian utamanya. Cinta yang kuat pada area minat yang sangat penting dan keterlibatan di dalamnya akan berkembang. Memilih aktivitas sekolah sebagai “minat hidup fokus”, maksudnya yaitu pembagian waktu, emosi, komitmen dan energi yang tidak proporsional yang dinvestasikan diorganisasi itu dalam kaitannya dengan aktivitas hidup yang lain, menyebabkan performa sekolah perlu dikembangkan seperti pekerja yang memiliki minat hidup fokus dalam setting kerja.
1. Ukuran
Ada dua instrumen cocok dipakai di sekolah yang siap untuk digunakan untuk e menilai minat hidup fokus para guru. Versi awal adalah Central Life Interests Questionaire (Kuisioner Minat Hidup Fokus) yang disaring untuk menghasilkan satu dari tiga puluh dua item. (Dubin dan Guldman, 1972). Setiap pertanyaan berupa sebuah tipe perilaku dan meminta seseorang untuk memberi tanda pada setting yang ia lebih suka (kerja, selain kerja, tak ada bagian setting yang dipilih). Sebagai ilustrasi misalnya, “Saya berminat pada (a). semua hal tentang pekerjaan saya, (b). segala hal yang sering saya lakukan di sekitar rumah atau di masyarakat, dan (c). hanya pada semua hal yang lakukan.
Miskel, Glasnapp, dan Hatley (1975) mengembangkan pengukur minat hidup fokus yang lebih pendek dan agak lebih umum, khususnya dalam halsetting pendidikan. Tertera dalam Tabel 6, pengukur ini berisi tujuh item. Reabilitas estimasinya adalah 0,73.
2, Riset
Bukti-bukti melaporkan, variabel personal dan struktural di sekolah mempengaruhi kuat sekali minat hidup fokus para guru. (Miskel dan Gerhardt, 1974; MIskel, Glasnapp, dan Hatley, 1975; Dubin dan Champous, 1977; Miskel. DeFrain, dan Wilcox, 1980). Misalnya, sekolah merasa memiliki perbedaan-perbedaan status yang tinggi antara para guru dan para administrator, kurang berbagi dalam pembuatan keputusan, dan banyak aturan dan tata tertib yang cenderung dibebankan pada para guru yang memiliki minat hidup fokus yang rendah dalam kerja. Selain itu, temuan-temuan Dan C. Lortie (1975) mengusulkan, struktur karir dan upah kerja di sekolah meredakan perlawanan para guru yang menampilkan minat hidup fokus yang tinggi dalam mengajar. Dalam soal mengajar, sedikit kantor pendidikan memiliki sistem promosi untuk memberikan kepada para guru kesempatan bergerak naik dalam sebuah hirarki, dan kesempatan memperoleh keuntungan yang lebih tinggi dan upah yang lebih besar. Menjadi seorang administrator (manajer) atau seorang spesialis dapat mengaburkan identitas seseorang sebagai seorang guru, dan menggiring tidakadanya kontinuitas tugas yang dipakai untuk menampilkan performanya. Akibatnya, banyak guru melaporkan bahwa minat hidup fokus mereka tidak ada dalam pekerjaan mereka. Ada satu kesimpulan penelitian, hampir setiap guru pria dalam penelitian Lortie memiliki minat yang kuat pada pekerjaan sambilan (hobi) atau sebuah sumber tambahan pekerjaan untuk menambah pendapatan. Komitmen yang paling kuat datang dari guru-guru yang lebih tua dan guru-guru singgel.
Tabel 6: Ukuran Singkat Minat Hidup Fokus
Kategori respon: Tidak setuju sekali, tidak setuju, netral, setuju, setuju sekali.
1. Minat hidup fokus saya terdapat di luar pekerjaan saya di sekolah.*)
2. Minat utama hidup saya adalah semua yang berhubungan rapat dengan kerja saya di sekolah.
3. Ketika saya susah, itu seringkali mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan.*)
4. Saya percaya bahwa hal-hal lain lebih penting daripada kerja saya di sekolah.*)
5. Kebanyakan tenaga saya dkerahkan untuk pekerjaan saya di sekolah.
6. Ketika berbicara dengan teman-teman, saya lebih suka bicara mengenai kejadian-kejadian yang berkaitan dengan kerja saya di sekolah.
7. Perhatian fokus saya pada hal yang berkaitan dengan kerja saya di sekolah.
*) Memiliki skor terbalik
Mirip dengan itu, Philip A. Cusick (1981) telah menemukan, kebanyakan guru dalam penelitiannya memasukkan urusan besar waktu dan usaha dalam tugas mengajar, dan menghoramati tugas mengajar sebagai pekerjaan satu-satunya. Namun bagaimanapun tidak setiap guru bersikap seperti itu. Sejumlah guru mengembangkan keluarga, menjalankan bisnis pribadi, atau melakukan pekerjaan sambilan (part-time work). Kenyataannya, para pendidik menjalani semua kelompok usaha dalam mengisi waktunya di luar kerja, outside jobs. (Wisniewsk dan Kleine, 1984). Untuk menmabah informasi mengenai waktu luar kerja, Cusick tekah mengamati, ada sejumlah angka yang sama dengan tugas-tuigas yang masih berhubungan dengan kerja, (inside jobs), misalnya, melatih, menjadi kepala bagian, mengajar di sekolah musim panas (summer school), dan mengisi kelas-kelas malam. Cusick yakin, fenomena guru punya tugas ganda: inside dan outside jobs, punya implikasi bagi kepentingan riset dan praktik, karena pekerjaan ganda itu memiliki pengaruh signifikan terhadap kurikulum dan tugas mengajar. Waktu dan tenaga yang digunakan untuk menjalankan pekerjaan ganda itu, dapat membuat guru melanggar waktu dan usaha yang diperlukan bagi pekembangan kurikulum, persiapan pelajaran, dan tenaga untuk mengajar.
Ketika temuan-temuan itu menggambarkan sebuah potret yang agak negatif, temuan-temuan itu juga memberikan pemikiran mengenai metode-metode untuk mengembangkan minat yang berkaitan dengan kerja para guru. Agar pendidik memiliki minat hidup fokus dalam setting kerja, situasinya harus menghasilkan kesempatan-kesempatan yang luas yang tak merintangi perolehan upah. Misalnya, pikiran-pikiran yang ada dalam teori motivasi pengharapan. Pikiran itu telah mengajukan hipotesis, agar minat hidup fokus para guru tersentral pada sekolah, hubungan-hubungan antara performa pendidik dan penerimaan insentif yang diinginkan harus digambarkan secara jernih.
E. Keseluruhan Keefektifan Keorganisasian
Penggunaan empat fungsi penting dari sebuah sistem sosial sebagai kriteria bukanlah tak disukai. Paul E. Mott (1972) mengkombinasikan beberapa hasil penting untuk memformulasi sebuah model keefektifan keorganisasian. Dia telah mengintegrasikan komponen-komponen berikut: kuantitas dan kualitas produk, efisiensi, adaptabilitas, dan fleksibilitas. Mott beralasan, lima kriteria itu mendefiniskan kemampuan sebuah organisasi untuk memobilisasi sentra-sentra kekuatannya untuk beradaptasi dan bertindak mencapai tujuan. Sekolah-sekolah efektif memproduksi prestasi pencapaian murid yang lebih tinggi, lmengembangkan sikap para muridnya lebih positif, melakukan adaptasi dengan tekanan-tekanan lingkungan lebih baik, dan menyelesaikan masalah-masalah internalnya lebih bijak. Secara jernih, pandangan Mott ini bersesuaian dengan model sumber sistem pencapaian tujuan mengenai keefektifan keorganisasian yang dintegrasikan dan dikembangkan dalam seri ini.
1. Ukuran
Walaupun kita telah menolak indikator-indikator tunggal, namun ukuran singkat yang umum yang didasarkan secara kuat pada sebuah model teoroitik dan digunakan bersama instrument-instrumen lain, dapat mulai mengembangkan pemahaman kita tentang keefektifan keorganisasian. Mott telah mengembangkan sebuah ukuran delapan-item untuk digunakan dalam sebuah varitas sekolah (Miskel, Fevurly, dan Stewart, 1979; Miskel, Bloom, dan McDonald, 1980). Indeks yang dihasilkan oleh Index of Perceived Organisational Effectiveness (Indeks Keefektifan Keorganisasian yang Dirasakan) diragakan dalam Tabel 7. Kehati-hatian pengembangan dan reabilitas yang diistimasi tinggi membuatnya sebagai calon kuat yang berguna sebagai sebuah ukuran menyeluruh dalam penelitian-penelitian masa depan. Berdasarkan fakta, Mott menyimpulkan, data-data menganjurkan, penilaian-penilaian subjektif mengenai pekerja agar dijaga secara tepat dan tetap menyediakan sebuah ukuran valid yang jujur. mengenai keefektifan keorganisasian. Dukungan terhadap kesimpulan itu dewasa ini telah diberikan oleh Wayne K. Hoy dan Judith Ferguson (1985). Dengan menggunakan Index of Perceived Organisational Effectiveness dan bingkai kerja teoritik yang dikembangkan dalam serini, mereka menemukan, keefektifan menyeluruh yang dirasakan di sekolah-sekolah menengah berhubungan secara signifikan dengan seluruh dari empat indikator Parson System Imperatives: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan latency.
- Riset
Mott (1972, 179-185) telah memperluas penggunaan Index of Perceived Organisational Effectiveness. Ia menemukan sedikit hubungan signifikan antara sentralisasi pembuatan kebijakan dan keefektifan. Dalam organisasi yang sentralisasi tinggi, keefektifan cenderung lebih kecil. Selain itu, keefektifan menjadi lebih besar ketika para pemimpin menyediakan struktur tugas yang lebih banyak untuk dikerjakan, dan ketika kondisi telah terbuka. Temuan-temuan dalam setting sekolah mendukung kesimpulan-kesimpulan Mott tersebut (Miskel, Fevurly, dan Stewart, 1979). Formalisasi, kompleksitas struktur sekolah, dan iklim yang partisipatif semua sangat kondعsif bagi keefektifan keorganisasian. Serupa dengan itu, Miskel, McDonald, dan Bloom (1983) menemukan, keefektifan sebagaimana dirasakan oleh guru berhubungan kuat dengan hal yang pokok itu di area disiplin peserta didik, dukungan para ahli pendidikan spesial, waktu untuk aktivitas ruang kelas, dan motivasi pengharapan yang tinggi.
Dari apa yang telah dibahas sejauh ini, jelaslah bahwa banyak variabel yang diperlukan untuk menilai secara tepat pengaruh-pengaruh yang kompleks dari proses-proses administratif dan orgnisasional terhadap keefektifan sekolah. Walaupun pengetahuan di bidang ini masih agak terbatas, namun kita, dari riset yang telah dilakukan, bisa menggambarkan beberapa implikasi praktis.
IV. SUMBER-SUMBER KONSEPTUAL DAN APLIKASINYA
A. Pengantar
Pada pokoknya, usaha-usaha merubah sekolah menggambarkan upaya-upaya mengembangkan keefektifan keorganisasiannya. Sebagaimana disebut di awal seri ini, banyak laporan menyebut, usaha itu dengan istilah reformasi fundamental atau revolusi datar dalam struktur dan prsoses sekolah. A. Harry Passow (1988, 251) mengamati, sejarah reformasi sekolah itu menunjukkan bahwa usaha-usaha yang berlangsung baru-baru ini akan berlalu dalam waktu singkat. Sebagai bukti, Passow menyebut Charles E. Silberman (1970, 50), yang telah menyimpulkan, gerakan reformasi tahun 1960an telah menghasilkan perubahan banyak, tetapi sekolah tetap secara luas tidak berubah. Serupa dengan itu Jonas F. Soltis (1988, 244) mencatat telah terjadi banyak pembicaraan mengenai: pemberdayaan para guru dalam materi kurikulum, kontrol yang lebih banyak terhadap pembelajaran di sekolah dan pembagian wewenang dalam penetapan personel, pemerintahan bersama, dan kemandirian untuk bisa mengatur sendiri pekerjaan yang menjadi profesinya (self-regulation of profession) . Semua reformasi itu direncanakan untuk mengoreksi sebuah sistem yang didasarkan pada pemikiran yang tak seimbang, terlalu banyak top-down (dari atas ke bawah) dan pelatihan memberikan kekuasaan bottom-up (dari bawah ke atas) tidak diberikan cukup. Soltis menegaskan, para konstituen yang sangat kuat tidak setuju dengan penilaian terdahulu itu dan akan berusaha memboikot banyak reformasi dasar agar tidak menjadi kenyataan.
Tabel 7: The Index of Peceived Organisational Effectiveness
Setiap pendidik menghasilkan sesuatu selama kerja. Bisa berbentuk “produk” atau “pelayanan” Berikut adalah daftar produk dan pelayanan yang cuma sebagian kecil saja dari sesuatu yang sebenarnya dihasilkan dari sekolah:
Renacana-rencana pelajaran Belajar murid Prestasi atletik
Proyek-proyek komunitas Pengajaran Program seni dan musik
Kurikulum baru Pertemuan guru-orang tua
Silahkan ditandai jawaban anda dengan mencongkreng garis yang sesuai pada setiap item.
1. Anda tahu di sekolah anda, aneka macam barang dihasilkan oleh orang-orang. Berapa banyak mereka menghasilkan?
Hasil rendah
Lumayan rendah
Cukup
Tinggi
Sangat Tinggi
- Seberapa bagus kualitas produk dan pelayanan yang dihasilkan oleh orang-orang yang anda tahu di sekolah anda?
ٌKualitas rendah
Lumayan rendah
Sedang
Bagus
Sangat Bagus
- Apakah orang-orang di sekolah anda mengambil output maksimum dari sumber-sumber yang tersedia (uang, orang-orang, peralatan, dll) ? Seberapa besar efisiensi yang diusahakan ketika mereka melakukan pekerjaan mereka ?
Tidak efisien
Lumayan efisien
Tidak terlalu efisien
Sangat efisien
Sangat efisien sekali
- Seberapa baik pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang di sekolah anda, dalam mengantisipasi masalah dan dalam melakukan tindakan preventif agar masalah itu tidak terjadi atau mengurangi pengaruhnya ?
Jelek
Lumayan jelek
Cukup baik
Baik
Baik sekali
5. Seberapa besar orang-orang di sekolah anda menguasai informasi mengenai inovasi-inovasi yang dapat mempengaruhi cara mereka melakukan pekerjaan mmereka?
Tidak menguasai informasi
Agak tidak menguasai
Cukup baik
Mengunguasai dengan baik
Menguasai dengan baik sekali
6. Ketika perubahan dibuat dalam soal metode, hal-hal rutin, peralatan atau lainnya, seberapa cepat orang-orang di sekolah anda menerima dan menyesuaikan dengan perubahan-perubahan itu ?
Sangat lambat menerima dan menyesuaikan
Agak lambat
Cukup cepat
Cepat
Spontan.
7. Seberapa banyak orang-orang di sekolah anda siap menerima dan menyesuaikan dengan perubahan-perubahan ?
Kurang jauh dari separuh siap menerima dan menyesuaikan
Kurang dari separuh
Lebih dari separuh
Mayoritas
Hampir semua orang
8. Seberapa baik kerja yang dilakukan oleh orang-orang di sekolah anda dalam menanggulangi hal-hal darurat dan gangguan-gangguan?
Jelek
agak jelek
Pas
Baik
Sangat baik
Kebutuhan dan tantangan yang dihadapi dalam mengupayakan perubahan adalah : sejumlah pendekatan yang luas, ideologi-ideologi yang kuat, dan literatur yang sangat banyak tentang perubahan keorganisasian yang direncanakan. Bagaimana seorang manajer tahu yang mana yang akan digunakan dalam melakukan perubahan ? Jawaban saya adalah proses yang terus menerus yang memiliki dasar-dasar konseptual dan yang menggunakan varitas strategi yang simultan, daripada memilih satu dalam satu waktu. Salah satu pendekatan berbasis teori untuk kepentingan perubahan yang direncanakan adalah pengembangan keorganisasian (organizational development), atau yang populer dengan sebutan OD
B. Strategi Pengembangan Keorganisasian mengenai Perubahan yang Direncanakan
Pengembangan Keorganisasian (Organizational Development) atau OD dilahirkan sebagai sebuah perangkat teknik yang didefinisikan secara longgar selama tahun 1950an, pertama diaplikasikan dalam setting sekolah selama pertengahan tahuan 1960an, digunakan sebagai istilah yang menggaung selama awal tahun 1970an, dijual sebagai sebuah obat mujarab oleh para konsultan yang ditunjuk selama pertengahan tahun 1970an, dan baru menunjukkan harapan sebagai sebuah perangkat pendekatan yang berguna bagi perubahan yang direncanakan (planned change) di sekolah selama tahun 1990an. W. Warner Burke dan Leonard D. Goodstein (1980) telah memberikan sebuah sejarah yang rinci tentang OD. Pendekatan-pendekatan OD telah dimatangkan sebagaimana harapan para pendukungnya sehingga menjadi lebih realistik dan sehat. Kritik dan penilaian diterima. Misalnya, C. Brooklyn Derr (1976) sebagai seorang pembela awal, akhirnya mempersoalkan kesesuaiannya dengan sekolah. Michael Fullen, Mathew B, dan Gib Taylor (1980) akhirnya melakukan reviu ulang secara kritis terhadap literatur-literatur OD dan menyimpulkan, bagaimanapun OD adalah sebuah pendekatan yang berguna bagi kemajuan sekolah. Serupa dengan itu, Marshall Saska dan Burke (1987, 409) menyimpulkan, bahwa OD di tahun 1980an telah menuai penghormatan yang lebih besar, dan bahwa OD mendapatkan banyak intervensi sehingga OD bisa menjadi praktek yang standard.
OD (Organizational Development) bertujuan melibatkan kemajuan keefektifan organisasi dan kualitas kehidupan kerja (Sashkin dan Burke, 1987). Beberapa definisi pengembangan organisasi diajukan di sepanjang dua puluh lima tahun yang lalu. Demi kepentingan sekarang, kita akan mensintesiskan (Hornstein dkk,, 1971; Schmuck dan Miles, 1971; Huse dan Cummings, 1985) sebagian dan membatasinya pada proses pengubahan iklim dan budaya organisasi sekolah dengan menerapkan informasi yang diperoleh dari ilmu-ilmu tentang perilaku selama periode usaha yang direncanakan dan usaha yang diteruskan demi kepentngan perbaikan keefektifan organisasi. Ada empat poin kebutuhan perluasan yang harus dibuat.
Pertama, proses itu ditujukan untuk merubah system, bukan hanya individu. Itulah yang membedakan OD dari training laboratorium dan program-program pengembangan pendidikan dan manajemen yang hanya atau utamanya menekankan pada perubahan-perubahan individu. Tekanan itu pada fenomena keorganisasian, seperti pemecahan masalah, komunikasi, pembangunan tim, kepemimpinan dan performa. Dalam pemfokusan pada organisasi, OD tidak berasumsi, mengubah individu itu tidak penting; OD hanya mengakui, dalam menambah perubahan kemampuan dan sikap individu, situasi di mana para individu bekerja juga harus dimodifikasi agar terjadi kondisi yang sistemik, berkekuatan (powerful) dan perubahan permanent. Sebagaimana Sashkin dan Burke (1987, 397-398) menyatakan, “Kami lebih suka untuk menekankan ulang pada dua pentingnya tujuan OD: (1) mengembangkan kualitas kehidupan kerja para anggota organisasi, dan memajukan outcome (hasil) yang berperforma rendah, ada dalam garis bawah.”
Kedua, budaya atau iklim organisasi itu meliputi seperangkat asumsi-asumsi yang diberikan dan dipelajari yang mengatur perilaku individu (lihat Seri 8)..William A. Firestone dan H. Dickson Cobett (1988, 323, 335-338)_mengatakan, budaya adalah hal kuno, walaupun tidak abadi, ia merupakan kekuatan yang menfasilitasi status quo. Budaya membantu mengklarifikasi apa yang penting dan yang tidak pada saat kita ragu melakukannya. Dengan kata lain, budaya mendirikan sebuah perangkat pendirian yang lama dan selalu dijadikan kriteria penilaian yang tak terucapkan. Banyak inovasi harus berhadapan dengannya agar bisa dietrima tanpa perjuangan. Secara terbatas, OD berusaha mempertimbangkan perubahan norma dan nilai yang dapat mendukung kemajuan organisasi. Usaha-usaha merubah norma dan nilai berkali-kali melibatkan usaha peningkatan tingkat kolaborasi (kerjasama), partisipasi (peranserta), dan keyakinan, dan melibatkan usaha pengurangan tingkat terjadinya konflik. Idea ini muncul untuk membantu menjelaskan sistem-sistem pengetahuan, kepercayaan, nilai dan norma yang muncul agar bisa mempertimbngkan perubahan dan keefektifan. Firestone dan Corbett (1988, 336) mengamati bahwa, bekas-bekas karakteristik semacam itu ditemui ada beberapa jumlahnya di semua sekolah. Apa yang membedakan sekolah berperforma tinggi dari sekolah yang kurang sukses bukanlah sesuatu yang sederhana untuk dijelaskan dari aspek-aspek budaya, tetapi faktanya banyak anggota mengekspos aspek-aspek budaya itu dalam kata dan perbuatan.
Ketiga, OD lebih fokus pada mengembangkan perubahan terencana secara sadar dari pada menegmbangkan gerak organisasi. Beberapa porsi sumber organisasi (waktu, energi, uang, …) harus dikaitkan dengan sebuah program pembangunan kembali dan peneliharaan yang berkelanjutan. Karena organisasi-organisasi sekolah tidak bisa ditransformasi secara mudah atau cepat. Untuk perubahan serius dan yang terus menerus secara mandiri (self sustained change) memerlukan usaha dua sampai tiga tahun.
Keempat, teori-teori, temuan-temuan penelitian dan metodologi-metodologi yang berasal dari sosiologi dan psikologi sosial menyajikan semacam dasar informasi untuk OD. Sebagaimana Hornstein dan kawan-kawan (1971) telah observasi, perbedaan fase intervensi OD menuntut adanya perbedaan teknik perubahan. Mereka membuat postulat dua fase – suatu periode diagnosis diikuti dengan suatu periode intervensi. Dua periode ini tidak berurutan secara kaku karena proses diagnosis itu ada dalam suatu intervensi itu sendiri.
Fase diagnosis OD meliputi: mengumpulkan data, mengidentifika area masalah, dan menentukan sebab-sebab yang menjadi masalah. Dalam mengikuti fase ini, para partisipan harus membuat keputusan tentang teknologi intervensi yang mana yang akan dipakai. Beberapa kemungkinan teknologi yang bakal dipilih meliputi: pengembangan tim, sessi-sessi pemecahan masalah antar kelompok, intervensi pelatihan, konsulatsi proses-proses tentang tugas, pelatihan laboratorium, dan konsultasi proses antar perorangan. Jelas, penggabungan yang berbeda dari teknologi-teknologi tersebut bisa digunakan untuk mencapai program perubahan yang paling tepat.
Sebagai sebuah proses perubahan budaya, OD menjanjikan pengurangan masalah yang berhubungan dengan manajemen dan kepemimpinan yang ada di organisasi pendidikan. Untuk menfasilitasi usaha perubahan yang banyak, Firestone dan Corbett (1988, 330-331) membuat hipotesis, empat tugas sentral harus dilakukan. Tugas-tugas itu adalah:
- Pertama, mendapatkan sumber-sumber, misalnya, waktu, bantuan administrasi, dan fasilitas-fasilitas yang nyaman secara fisik
- Kedua, menyanggah proyek dari intervensi, gangguan yang menyulitkan dan kritik yang datang dari luar.
- Memberi upah pada staf atas usaha-usaha mereka
- Mengadaptasikan prosedur-prosedur pelaksanaan yang standard (misalnya, aturan formal dari kantor pendidikan daerah, skedul, dan merode-metode penilaian) dengan usaha-usaha pengembangan (inovasi)
Penanggungjawab melaksanakan empat tugas itu bisa staf kantor pendidikan daerah, kepala sekolah, guru, dan konsultan luar.
Huse dan Cumings (1985) mengonsep pengembangan keorganisasian (OD) sebagai bingkai kerja yang mencakup perubahan individual, perubahan struktural, perubahan teknologikal, dan umpan balik survey sebagai pendekatan-pendekatan spesifik di dalam strategi perubahan menyeluruh. Berikut pembahasan mengenai masing-masing cakupan.
1. Merubah Individu
Strategi OD untuk mengubah individu berasumsi, sekurang-kurangnya hingga beberapa tingkat, pertumbuhan individual terjadi secara simultan bersamaan dengan kemajuan keorganisasian. Strategi khas untuk mengubah individu melibatkan usaha-usaha berikut: training atau pendidikan, konseling (penyuluhan), seleksi (pemilihan) dan penempatan, dan terminasi (pemberhentian). Di sekolah, training dan pendidikan mungkin dirasakan mendapat tekanan yang paling besar. Kantor pendidikan daerah seringkali membiayai pendidikan kesarjanaan para guru dan administrator, dan meningkat hingga penetapan syarat-syarat kontrak pendidik untuk pelayanan pendidikan. Selain itu, hanya sedikit prosentase sekolah yang memulai tahun ajaran baru tanpa ada waktu walaupun hanya beberapa hari untuk pengembangan keterampilan dan pengembangan sikap.
Merubah individu, sebagai bagian dari pendekatan pengembangan keorganisasian, walaupun secara tak langsung, sudah sejak lama dianggap yang utama. Dalam sebuah penelitian besar tentang program-program pengembangan staf, Judith Warren Little dan kawan-kawan (1987) menemukan, kantor pendidikan daerah membelanjakan sejumlah uang yang cukup besar untuk kepentingan aktivitas pelayanan. Misalnya, program-program pengembangan staf untuk para guru dan administrator mengkonsumsi sekitar 1,8 persen atau $ 366 juta dari Dana Pendidikan California. Rata-rata , biaya total per pendidik professional $ 1.700. Meskipun temuan-temuan penelitian menyebutkan, para profesional berkomitmen dalam mengembangkan kemampuan pengetahuan dan prakteknya, dan menyebutkan, bahwa kantor pendidikan daerah memiliki kapasitas yang berkembang untuk mengatur dan mengadakan program-program pengembangan staf, akan tetapi para peneliti menyimpulkan, pertunjukan jumlah aktivitas pengembangan staf dan insentif itu nampaknya tidak menghasilkan sebuah perubahan yang substansial dalam berpikir atau performa para guru kelas di California. Nyatanya, sumber-sumber itu diaklokasikan untuk upaya-upaya memperkuat pola-pola pengajaran dan struktur-struktur konvensional sekolah yang ada.
Temuan-temuan Little dan kawan-kawan memberikan dukungan lebih lanjut bagi perhatian Daniel Katz dan Robert L. Kahn. Ia menyatakan, “usaha-usaha untuk merubah organisasi dengan merubah para individu memiliki sebuah sejarah panjang ketidakakuratan teori dan kegagalan praktek” (1978, 658). Program-program yang lalu, mengembangkan keefektifan, terlalu tidak menghargai hasil-hasil organmisasi dan terlalu menyepelekan proses-proses perubahan. Jadi, program-program yang diarahkan pada individu harus mempertimbangkan penggabungan karakteristik dan kriteria keefektifan sekolah yang bersangkutan. Menempatkan tekanan pada pelatihan dan pendidikan, seperti yang banyak dilakukan sekolah, untuk memajukan sekolah tidaklah cukup; nyatanya , ada bukti menyebutkan bahwa bentuk-bentuk training yang biasa dapat mengembangkan fungsi organisasi (Katz dan Kahn, 1978, 660). Jelasnya, diperlukan strategi-strategi tambahan.
2. Merubah Struktur Sekolah
Pendekatan langsung untuk mengembangkan performa keorganisasian adalah dengan merubah variabel-variabel struktural sekolah yang berupa bentuk-bentuk hirarki, kebijakan-kebijakan pemberian upah, proses-proses sentralisasi atau desentralisasi pengambilan keputusan, dan frekwensi komunikasi (Galbraith, 1977b; Child, 1984). Banyak laporan-laporan pembaharuan tahun 1980an, misalnya menyerukan untuk melakukan penstrukturan kembali sekolah lewat manajemen dan pemberdayaan guru berbasis internet. Pada umumnya, tujuan modifikasi-modifikasi struktural adalah mengintegrasikan (kerja menghubungkan dan kerja mengkoordinasi bagian-bagian atau fungsi-fungsi organisasi sekolah) misalnya, pengajaran dan administrasi seluruh pencapaian tugas (Huse dan Cummings, 1985, 41) Contoh-contoh khas pendekatan ini meliputi salah satu dari sentralisasi atau desentralisasi dalam pembuatan keputusan; merubah pola-pola, isi, quantitas, dan bentuk-bentuk komunkiasi; dan mengembangkan tujuan-tujuan operatif lewat proses-proses kelompok.
Richard Beckhard dan Reuben T. Harris (1977, 69-70) menyerukan kembali, struktur-struktur keorganisasian di awal-awal didasarkan pada disain organisasi militer dan Gereja Katholik. Dari pada menyandarkan pada struktur yang tidak sesuai dan ketinggalan zaman, sekolah-sekolah sebaiknya didesain sesuai dengan tuntutan-tuntutan kerja pendidik professional dan murid. Karena itu, merubah strategi-strategi akan dapat menguji tipe-tipe tugas yang berbeda-beda dan desain organisasi sekolah lewat cara-cara pengoptimalan kerja melakukan tugas-tugas itu.
3. Merubah Teknologi
Strategi lain adalah mengubah teknologi cara organisasi sekolah memberikan program-program pendidikan untuk merubah peserta didik. Di sekolah teknologi meliputi:
- Metode-metode administrative dan pemgajaran,
- Aliran kerja (skop dan urutan kurikulum)
- Metode –metode pembelajaran dan sarananya (misalnya, computer, videodisc, dan televise).
Contoh-contoh umum merubah tekonologi meliputi:
- Memperkenalkan prosedur pembelajaran yang baru (seperti belajar kolektif)
- Program-program kurikulum
- Pindah ke susunan ruang kelas di ruang terbuka atau sekolah-sekolah dalam sebuah sekolah,
- Mengatur pengetesan dan proses-proses penilaian program
- Melembagakan prosedur-prosedur evaluasi untuk para pendidik
Dalam menilai gerakan pembaharuan tahun 1980an, Bill Honig (1988, 261) menekankan teknologi sebagai sebuah poin pengungkitan kunci dalam mengimplementasikan kurikulum yang halus dan teliti. Misalnya, pembuatan kurikulum inti (core curriculum); teks-teks, soal-soal dan kurikulum yang sejajar; dan sebuah paket tanggung jawab yang komperhensif yang menyajikan perubahan-perubahan dalam teknologi yang bisa “membuat sebuah perubahan” dalam soal keefektifan sekolah.
- Merubah Lewat Umpan Balik Survey
Umpan balik survey merupakan strategi popular untuk membuat perubahan. Prosedur umpan balik meliputi pengumpulan dan penganalisaan secara sistematik informasi mengenai sekolah dan melaporkan data pada individu atau kelompok yang kena sasaran. Para partisipan dalam program perubahan dapat menggunakan informasi kepentingan penilaian, pemecahan masalah, dan perencanaan.
Ada empat syarat meningkatkan pengaruh program-program perubahan dengan menggunakan umpan balik survey (Mann, 1971):
- Pertama, Jika anggota sekolah berpartisipasi dalam desain pembuatan desain, pengumpulan, penganalisaan, dan penafsiran data, mereka harus merasa diuntungkan mendapat bantuan di dalam pemecahan-pemecahan yang diusulkan.
- Kedua, jika para partisipan membahas informasi kongkrit yang berkaitan erat dengan fungsi mereka, maka mereka harus yakin perubahan nampak lebih bisa diselesaikan.
- Ketiga, jika para anggota memperoleh pengetahuan tentang sukses relatif dari aksi dan perbuatan mereka, mereka harus termotivasi untuk menciptakan usaha-usaha tambahan.
- Keempat, jika norma-norma kelompok berkembang dalam mendukung perubahan, mereka harus dapat mendorong inisiatif-inisiatif perorangan.
Kekuatan umpan balik survey untuk mengembangkan proses-proses keorganisasian telah ditampilkan dalam suatu jangka panjang, dalam sebuah penelitian berskala luas tentang metode-metode perubahan dalam organisasi bisnis (Bowers, 1973). Strategi ini telah menghasilkan banyak sekali kemajuan-kemajuan yang sangat konsisten dalam jangka panjang bagi penggunanya. Selain itu, perubahan-perubahan yang dihasilkan tetap berlangsung setelah program selesai. Dengan sikap meremehkan, dengan penafsiran yang lebih konservatif, Edgar F. House dan Thomas G. Cummings (1985, 135) menegaskan, pengaruh umpan balik survey adalah pada sikap dan persepsi mengenai situasi. Mereka percaya, umpan balik survey itu dipandang yang terbaik sebagai sebuah jembatan antara usaha mendiagnosis problem-problem keorganisasian dan usaha mengimplementasikan metode-metode pemecahan masalah yang aktif.
Secara garis besar, OD itu didasarkan pada teori, mengkonsumsi sumber, dan merupakan pendekatan yang kompleks untuk membuat perubahan, akan tetapi ada yang menawarkan kekuatan yang signifikan untuk keperluan mengembangkan keefektifan organisasi sekolah. Setiap program harus didesain khusus untuk satuan kondisi yang muncul di suatu situasi sekolah yang bersangkutan. Sialnya, sebagaimana Good dan Brophy (1986, 585) amati, beberapa pendidik seenaknya mengambil perencanaan-perencanaan yang dikembangkan di wilayah atau sekolah lain dan menerapkannya dengan sedikit atau banyak modifikasi. Fenomena kopian ini telah dan sedang menampak jelas sebagian dalam penerapan formula keefektifan sekolah. Untuk mengharapkan pengaruh yang signifikan, program-program OD harus direncanakan secara spesifik dengan menggunakan cara-cara yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan unik dan populasi sekolah yang menjadi target. Sebuah deskrispsi program OD yang didesain secara spesifik untuk sebuah sekolah tinggi urban yang luas, akan disajikan berikut ini.
C. Sebuah Sampel Program Perubahan yang Direncanakan di Sebuah Sekolah Tinggi Urban
George J. Crawford, Cecil Miskel, dan M. Claradine Johnson (1980) telah mengembangkan dan berpedoman pada sebuah program OD selama tiga tahun. Bertempat dekat pusat kota, populasi dari sekolah tinggi terdiri dari 2000 mahasiswa dan 100 anggota staf professional.
Sasaran utama program ini adalah mengembangkan keefektifan organisasi sekolah. Statistik skorsing siswa, angka dropout, dan tingkat kegagalan menunjukkan, sekolah itu tidak berjalan secara eefektif. Misalnya, 8,2 % mahasiswa telah diskorsing, 30 % mahasiswa tingkat II (tahun kedua) droup out dari kuliah, dan 33 % mahasiswa tahun kedua gagal dalam sekurang-kurannya satu mata kuliah. Selain itu, angka tinggi mahasiswa droup out dari kalangan minoritas yang tidak proporsional jelas menuntut perhatian. Sekolah itu dapat digambarkan sebagai lembaga pendidikan yang memberikan kurikulum tradisional, dan melakukan kontrol mahasiswa dengan menggunakan pendekatan seperti yang digunakan dalam penjara (custodial approach).
Program perubahan ini menggunakan empat pendekatan yang biasanya dipakai untuk melakukan intervensi sosial, seperti yang telah dibahas di atas. Strategi merubah individu didasarkan pada model psikologi sosial, khususnya pada pemikiran baru-baru ini dari Kurt Lewin (1951). Dia memahami perubahan sebagai sebuah modifikasi kekuatan-kekuatan yang menegakkan pola-pola perilaku stabil dari para individu dalam organisasi. Dia percaya, perilaku dalam banyak waktu yang disediakan adalah hasil dari dua set kekuatan: (1) mereka yang berusaha memelihara perilaku yang ada dalam sebuah keadaan keseimbangan, (2) dan mereka yang meningkatkan perubahan. Ketika kekuatan-kekuatan itu kira-kira seimbang, maka status quo cenderung tegak. Untuk menghasilkan perubahan dalam perilaku yang diperlihatkan dalam organisasi, maka ada dua pilihan (1) kekuatan-kekuatan menaikkan perubahan harus dikembangkan, kekuatan-kekuatan itu harus mengusahakan perilaku yang konstan diturunkan, atau (2) mengkombinasikan keduanya. Konsekwensinya, fakultas dan kelompok-kelompok yang dibentuk staf meningkatkan keterampilan-keterampilan hubungan antar pribadi mereka, dan menggunakan sebuah proses tiga tangga: (1) pencairan (unfreezing), (2) pengubahan (changing), dan (3) pembekuan (freezing) sikap, nilai, norma, keterampilan dan perilaku.
Strategi-strategi memodifikasi struktur dan teknologi sekolah dimulai dengan mengembangkan dua puluh statemen tujuan, yang dirangking berdasarkan kepentingan oleh para partisipan. Selama akhir pertengahan tahun pertama dan permulaan tahun kedua, beberapa program baru sudah diperkenalkan. Penyuluh sebaya, kurikulum pendidikan karier, dan pusat penelitian independen dilembagakan sebagai modikasi-modifikasi program pembelajaran. Sedangkan perubahan-perubahan lain yang terakhir yang terkait meliputi: seorang guru baru sebagai penasehat program, prosedur pendaftaran yang direvisi untuk pemilihan mahasiswa yang lebih baik dalam kelas-kelas, dan publikasi daftar gambaran kursus.
Umpan balik survey telah digunakan sepenuhnya selama program perubahan. Dua set data biasanya dikumpulkan dan dibagikan kepada staf dalam sesi-sesi diskusi. Tingkat kegagalan, droup out dan skorsing ditabulasi tahunan. Sebagai tambahan, pada empat kesempatan –sebelum program dimulai dan di akhir setiap tahun akademik – semua anggota staf dan kelompok mahasiswa pilihan mengisi profil sekolah dalam bentuk kusioner dan tes mengenai keadaan sekolah.
Sebagai sebuah program perubahan tentang pengembangan organisasi sekolah, intervensi berakhir setelah tiga tahun dan melibatkan fakultas, staf, dan mahasiswa ke dalam penilaian, diagnosis, dan transformasi sekolah yang dilakukan secara sistematik. Aktivitas-aktivitas OD mengarah secara simultan pada organisasi dan individu. Tekanan diarahkan pada pengembangan skill dan sikap untuk mengembangkan komunikasi-komunikasi sekolah dan untuk mengembangkan tingkat partisipasi dalam penentuan pemecahan masalah mahasiswa. Nilai-nilai, sikap, dan keterampilan yang dilibatkan itu dipikirkan bisa menjadi kepentingan fundamental bagi kualitas kehidupan di sekolah tinggi.
Pengaruh apa yang dibuat oleh program gabungan ini pada keefektifan keorganisasian sekolah ? Jelasnya, kemampuan sekolah untuk beradaptasi telah ditingkatkan. Sekolah itu telah kehilangan tradisinya, keluar dari karakternya sehingga menjadi fleksibel dan innovatif. Hasil-hasil yang menunjukkan pencapaian tujuan, bagaimanapun, sedikit agak kurang jelas. Bagi mahasiswa kulit putih, angka skorsing dan kegagalan meningkat tipis. Bagi mahasiswa kulit hitam, angka kegagalan, droup out, dan skosing cenderung agak menurun. Dalam soal penampilan fungsi integrasinya (masalah iklim sekolah), secara keseluruhan sekolah menjadi lebih sedikit terbuka dan partisipatif. Partisipasi yang lebih besar dalam soal proses pengambilan keputusan, kerjasama tim, dan pembangunan tim, misalnya, menampilkan hasil-hasil yang bernilai. Terakhir, beberapa bukti kemajuan performa berdasarkan kriteria latency telah tersajikan dalam profil kuisioner sekolah. Komitmen terhadap tujuan-tujuan organisasi yang telah dirasakan, meningkat pada awala-awal tahapan program dan diperkuat hingga akhir program.
Namun demikian, peningkatan dramatis dalam soal tingkat keefektifan sekolah tidak menampak. Akan tetapi keuntungan-keuntungan yang berkaitan dengan penghargaan terhadap empat kriteria mendukung pendirian bahwa usaha-usaha perubahan yang terencana dengan menggunakan aneka ragam strategi dapat memajukan fungsi organisasi pendidikan. Selain itu, dimana perubahan positif dicapai, ia menampakkan tahan lama, akan tetapi berakhir juga (Seashore dan Bowers, 1969).
Sebuah masukan akhir, memperhatikan dan mengambil teori dan riset, bagaimanapun harus ditambahkan. Usaha-usaha pengembangan keorganisasian bukanlah obat mujarab untuk pemecahan masalah-masalah keorganisasian. Bahkan usaha-usaha itu merupakan aktivitas-aktivitas yang makan sumber yang boleh jadi secara bertahap dapat mengembangkan keefektifan sekolah dalam suatu tahapan periode waktu yang terlalu panjang dan lama. Selain itu, diperlukan riset tentang proses-proses perubahan yang didasarkan pada konsep tambahan. Sambil mengkritisi riset sebelumnya, Andrew H. Van de Ven dan Everett M. Rogers (1988) memrekomendasikan, penyelidikan di masa depan fokus pada perubahan sebagai proses dinamis yang terus menerus di mana variabel-variabel saling bertalian dan berurai di sepanjang waktu. Dalam bentuk yang serupa, Saskin dan Burke (1987, 412) menyimpulkan, praktek OD dan perubahan, tanpa sebuah teori yang koheren, bidang ini akan mudah diserang, dan kemungkinan OD dan perubahannya akan tetap menjadi terpecah-pecah, karena tak koheren sebagai sebuah disiplin.
V. RINGKASAN
Keefektifan organisasi memainkan peran yang begitu sentral dalam teori dan praktek pendidikan. Karena itu sebuah pemahaman yang lebih baik tentang konsep itu adalah penting bagi bidang ini. Ada dua pendekatan umum yang mendominasi penelitian: a goal perspective (perspektif tujuan) dan system resource model (model sumber sistem). Bagaimanapun, perbedaan antara keduanya, lebih banyak menampakkan pada kata-kata, bukan pada substansi, karena itu pendekatan itu bisa digabung menjadi satu bentuk, yaitu integrated goal system resources model (model gabungan sumber sistem tujuan) untuk menganalisa keefektifan keorganisasian di sekolah. Penggabungan itu bisa dibuat dengan menggunakan empat fungsi sistem sosial yang diperkenalkan oleh Parson sebagai multiple operative goals for organizations (tujuan-tujuan operatif organisasi yang bersifat ganda) yaitu:
1. Adaptation (penyesuaian), indikatornya: kemampuan beradaptasi, innovasi, pertumbuhan dan pengembangan.
2. Goal achievement (pencapaian tujuan), indikatornya: pencapaian, kualitas, tambahan sumber dan efesiensi.
3. Integration (penggabungan), indikatornya: kepuasan, iklim, komunikasi dan konflik.
4. Latency (hal yang tersembunyi), indikatornya: loyalitas, motivasi, identitas dan minat hidup terfokus.
Keempat fungsi sistem sosial itu memberi petunjuk pemilihan indikator-indikator keefektifan. Indikator-indikator itu adalah beberapa konstituen sekolah di seluruh masa panjang dan masa pendek. Bagi sebuah sekolah keefektifan jelas bukanlah satu hal. Ia komplek dan merupakan fenomena multidimensi yang dibatasi dalam kaitannya dengan tujuan-tujuan dan sumber-sumber sistem. Sialnya, kebanyakan riset tentang keefektifan sekolah membahasnya satu per satu, padahal keefektifan bukanlah satu hal melainkan multi dimensi, dan kebanyakan riset tidak didasarkan pada petunjuk sebuah model teori.
Para manajer yang berusaha mengembangkan keefektifan sekolah harus melibatkan perubahan keorganisasian yang terencana. Sudah tentu, perubahan itu bisa dikonsepsikan di bawah payung pengembangan organisasi (OD). Dengan menggunakan aneka ragam strategi, maka fokusnya akan terarah pada perubahan simultan dari perubahan individual, struktural dan faktor-faktor teknis.
BIBLIOGRAFI
Airasian, Peter, “State Mandated Testing and Educational Reform: Context and Consequences.” American Journal of Education 95 (1987): 393-412
Averich, H.A. S.J. Carroll, T.S. Donaldson, HJ. Kieling, dan Pincus, How Effective Is Schooling: A Critical Review and Synthesis of Research Findings, Santa Monica, CA: Rand, 1972.
Astuto, Terry A. dan David L. Clark, “Strenght of Organizational Coupling in the Intructionally Effective School”, Urban Education, 19 (1985): 331-356
Balesco,James A., dan Joseph A. Alutto, “Decisional Participation and Teacher Satisfaction.” Educational Administration Quarterly 8 (1972): 44-58.
Balderson, James H., “Who Likes the ‘the Good School?’ The Canadian Administrator 16 (1977): 181-194.
Beckhard, Richard, dan Reuben T. Harris. Organizational Transition: Managing Complex Change. Reading, MA: Addison-Wesley,1977.
Bidwell, Charles E. dan John D. Kasarda, “School Distrct Organization and Student Achievement.”American Sociological Review 40 (1975): 55-70.
Blocker, C.E. dan R.C. Rchardson, Twenty-Five Years of Morale Research-Critical Review”, Journal of Educational Sociology 36 (1963).
Bloom, Benjamin S., Human Chaacteristics and School Learning, New York: McGraw-Hill, 1976
Bluedorn, A.C., dan Denhardt, Robert B., “Time and Organization”, Journal of Management 4 (1988): 299-320
Bossert, Steven T., School Effects, dalam “Handsbook of Research on Educational Administration”, Ed. Norman J. Boyan, 341-352, New York: Longman, 1988.
Bossert, David C. Dwyer, Brian Rowen, dan Ginny V. Lee. “The Instructional Management Role of the Principal.” Educational Administration Quarterly 18 (1982):34-36.
Bowers, David G., “OD Teqniques and Their Results in 23 Organizations: The Michigan ICL Study” , Journal of Applied Behavioral Science 9 (1973)
Brayfield,.Arthur H. dan Walter H. Crockett, “Employee Attitudes and Employee Performance”, Psychological Bulletin 52 (1955): 396-424.
Brookover, Wilbur B., dkk, “Elementry School Social Climate and School Achievement”, American Educational Reasearch Journal 15 (1978): 301-318
Brophy, Jere E., dan Thomas L. Good, “Teacher Behavior and Student Achievement”, dalam Handbook of Research on Teachiing, 3rd ed. Merlin C. Wittrock, 328-375, New York: Macmilan, 1986.
Burke , W. Warner dan Leonard D. Goodstein, Trends and Issues in OD: Current Thori and Practice, San Diego: University Associates, 1980
Burlingame, Martin. “Some Neglected Dimensions in the Study of Educational Administration.” Educational Administration Quarterly 15 (1979): 1-18.
Cameron, Kim, “Measuring Organizational Effectiveness in Institutions of Higher Education”, Administrative Science Quarterly, 23 (1978): 604-632.
Cameron, Kim, “The Effectiveness of Ineffectiveness”, Research in Organizational Behavior 6 (1984): 235-285
Campbell, John P., “On the Nature of Organizational Effectiveness”, dalam New Perspectives on Organizatinal Effectiveness, Ed. Paul S. Goodman dan Johannes M. Pennings, 13-55, San Francisco: Jossey-Bass, 1977:.
Carpenter, Harrel H., “Formal Organizational Structural Factor and Perceived Job Satisdfaction of Classroom Teacher”, Administrative Science Quarterly, 16 (1971): 71-93.
Chase, Francis S. “Factors for Satisfaction in Teaching.” Phi delta Kappan 33 (1951): 127-132.
Child, John. Organization: A Guide to Problems and Practices, 2nd ed. London: Harper & Row, 1984.
Clark, David L., Linda S. Lotto dan Terri A.Astuto, “Effective School and School Improvement: A Comparative Analysis of Two Lines of Inquiry”, Educational Administration Quarterly, 20 (1984): 41-68.
Cohen, David K. ‘Schooling More and Liking It Less: Puzzles of Educational Improvement.” Harvard Educational Review 57 (1987): 174-177.
Coleman, dkk. Equality of Educational Opportunity. Washington, DC: U.S. Government Printing Office, 1966.
Connolly, Terry, Edward J. Conlon dan Stuart Jay Deutsch, “Organizational Effectiveness: Multiple Qu-Constituency Approach”, Academy of Mangement Review, 5 (1980): 211-217.
Crawford, George J., Cecil Miskel, and M. Claradine Johnson. “A Case Analysis of an Urban High School Renewal Program.” Urban Review 12 (1980).
Cuban, Larry. “Transforming the Frog into a Prince: Effective Schools Research, Policy, and Practice at the District Level.” Harvard Educational Review 54 (1984): 129-151.
Cuban, Larry. “Effective School: A Friendly but Cautionary Note.” Phi Delta Kappan 64 (1983): 695-696.
Cusick, Philip A. “ A Study of Networks among Professional Staffs in Secondary Schools.” Educational Administration Quarterly 17 (1981): 114-138.
Derr,C. Brooklyn, “O.D. Won’t Work in Schools”, Education and Urban Society, 8 (1976): 227-241.
Dubin dan Daniel R. Goldman. “Central Life Interests of American Middle Managers and Specialists.” Journal of Vacational Behavior 2 (1972): 133-141.
Edmonds, Ronald. “Some Schools Work and More Can.” Social Policy 9 (1979): 28-32.
Etzioni, Amitai. Modern Organizations, Englewood Cliffs, Nj: Prentice-Hall, 1964.
Etzioni, Amitai, “Two Approach to Organizational Analysis: A Critque and Suggestion.” Administrative Science Quarterly 5 (1960): 257-278.
Festinger, Leon A. Theory of Cognitive Dissonance. Evanston, IL: Row, Peterson, 1957.
Firestone, William A. and H. Dickson Corbett. “Planned Organizational Change.” In Handbook of Research on educational Administration, edited by Norman J. Boyan, 321-340. New York: Longman, 1988.
Ford, Jeffrey D., and David A. Baucus. “Organizational Adaptation to Performance Downturns: An Interpretation-Based Perspective.” Academy of Management Review 12 (1987): 366-380.
Fullan, Michael, Matthew B. Miles, and Gib Taylor. “Organization Development in Schools: The State of the Art.” Review of Educational Research 50 (1980): 121-183.
Fuller, Rex, dan Cecil Miskel. “Work Attachments and Job Satisfaction among Public School Educators.“ Paper presented at the Annual Meeting, American Educational Research Association, Chicago, 1972.
Galbraith, Jay. Organizational Design. Reading, MA: Addison-Wesley,1977b.
Gerhardt, Ed. “Staff Conflict, Organizational Bureaucracy, and Individual Satisfaction in Selected Kansas School Districts.” Ph.D. diss., University of Kasas, 1971.
Gibson, James L., John M. Ivancevich, and James H. Donnelly, Jr. Organizations: Behavior, Structure, and Processes, rev. ed. Dallas, TX: Business Publication, 1976.
Glisson, Charles, and Mark Durick. “Predictors of Job Satisfaction and Organizational Commitment in Human Service Organization.” Administrative Science Quarterly 33 (1988): 61-81.
Good, Thomas L., and Jere E. Brophy. “School Effects.” In Handbook of Research on Teaching, 3rd ed., edited by Merlin C. Wittrock, 570-602. New York: Macmillan, 1986.
Goodman, Paul S., and Johannes M. Pennings. “Toward a Workable Framework.” In New Perspectives on Organizational Effectiveness, edited by Paul S. Goodman and Johannes M. Pennings, 147-184. San Francisco: Jossey-Bass,1977.
Grassie Mc Grae C., and Brian W. Carss. “School Structure, Leadership Quality, Teacher Satisfaction.” Educational Administration Quarterly 9 (1973): 15-26.
Greene and Robert E. Craft, Jr. “The Satisfaction-Performance Controversy-Revisited.” In Motivation and Work, 2nd ed., edited by Richard M. Steers and Lyman W. Porter, 270-287. Mew York: McGraw-Hill, 1979.
Hall, Richard H. Organizations: Structure and Process. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1972.
Hall, Richard H. “Effectiveness Theory and Organizational Effectiveness.” Journal of Applied Behavioral Science 16 (1980): 536-545.
Hall, Douglas T., and Cynthia Fukami. “Organizational Design and Adult Learning.” Research in Organizational Behavior 1 (1979): 125-167.
Haller, Emil J., and David H. Monk. “New Reforms, Old Reforms, and the Consolidation of Small Rural Schools.” Educational AdministrationQuarterly 24 (1988): 470-483.
Hanushek, Eric A. “A Reader’s Guide to Educational Production Functions.” Paper presented at the Conference on School Organization and Effects, National Institute of Education, 1978.
Hanushek, Eric A. “The Impact of Differential Expenditures on School Performance.” Educational Researcher (May 1989): 45-51,62.
Holdaway, Edward A. “Facet and Overall Satisfaction of Teachers.” Educational Administration Quarterly 14 (1978a): 30-47.
Job Satisfactions: An Alberta Report. Edmonton, Alberta: University of Alberta, 1978b.
Honig, Bill. “The Key to Reform: Sustaining and Expanding Upon Initial Success.” Educational Administration Quarterly 24 (1988): 257-271.
Hoppock, Robert. Job Satisfaction. New York: Harper , 1935.
Hornstein dkk. Social Intervention. New York: Free Press, 1971.
Hoy, Wayne K. dan Judith Ferguson, “A Theoreitical Frame Work and Exploration of Organizational Effectiveness in School”, Educational Administration Quarterly, 21 (1985): 117-134
Huse, Edgar F., and Thomas G. Cummings. Organizational Development and Change, 3rd ed. St. Paul, MN: West, 1985.
Jamison, Dean, Patrick Suppes and Stuart Wells. “The Effectiveness of Alternative Instructional Media: A Survey.” Review of Educational Research 44 (1974): 1-67.
Kanter and Derick Brinkerhoff. “Organizational Performance: Recent Devel-opments in Measurement.” Annual Review of Sociology 7 (1981): 321-349.
Katz, Daniel and Robert L. Kahn. The Social Psyichology of Organizations, 1st ed. New York: Willey, 1966.
Katz, Daniel, and Robert L. Kahn. The Social Psychology of Organizations, 2nd ed. New York: Wiley, 1978.
Keeley, Michael. “Impartiality and Participant-Interest Theories of Organizational Effectiveness.” Administrative Science Quarterly 29 (1984): 1-25.
Kirchhoff, Bruce A. “Organization Effectiveness Measurement and Policy Research.” Academy of Management Review 2 (1977): 347-355.
Lau, Lawrence J. “Education Production Function.” Paper presented at the Conference on School Organization and Effects, National Institute of Education, 1978.
Lewin, Kurt. Field Theory in Social Science. New York: Harper and Row, 1951.
Little, Judith Warren, dkk. Staff Development in California: Executive Summary. San Fransisco: Far West Laboratory for Educational Research and Development, 1987.
Locke, Edwin A. “The Nature and Causes of Job Satisfaction.” In Handbook of Industrial and Organizational psychology, edited by Marvin D. Dunnette, 1297-1349. Chicago: Rand McNally, 1976.
Lortie, Dan C. Schoolteacher: A Sociological Study. Chicago: University of Chicago Press, 1975.
MacKensie, Donald E. “Research for School Improvement: An Appraisal and Some Recent Trend.” Educational Research 12 (1983): 5-17.
Madaus, Airasian, dan Kellaghan, 1980, 111-171
Mann, Floyd C. “Studying and Creating Change: A Means to Understanding Social Organization.” In Social Intervention, edited by Harvey Hornstein et al., 294-309. New York: Free Press, 1971.
Miskel, Cecil, “Principle’ Attitude toward Work and Co-Workers, Situational Factors, Perceived Effectiveness, and Innovation Effort”, Educational Administration Quarterly, 13 (1977): 51-70.
dan Gerhadt, “Peceived Bureaucrazy, Teacher Conflic, Central Life Interests, Voluntarism, and Job Satisfaction”, Journal of Educational Administration, 12 (1974): 97-118.
David McDonald, dan Susan Bloom, “Structural and Expectancy Linkages within Schools and Organizational Effectiveness”, Educational Administration Quarterly, 19 (1983): 49-82
Miskel, Douglas Glasnapp, and Richard Hatley. “A Test of the Inequity Theory for Job Satisfaction Using Educators’ Attitudes toward Work Motivation and Work Incentives.” Educational Administration Quarterly 11 (1975):38-54.
Miskel, Doughlas Glasnapp, dan Richard Hatley. Public School Teachers Work Motivation, Organizational Incentives, Job Satisfaction, and Primary Life Interest, Final Report. Washington, DC: Office of Education, Departement of Health, Education and Welfare, 1972.
Miskel, JoAnn Defrain, and Kay Wilcox. “A Test of Expectancy Work Motivation Theory in Educational Organization.” Educational Administration Quarterly 16 (1980): 70-92.
Miskel, Robert Fevurly, and John Stewart. “Organizational Structure and Processes, Perceived School Effectiveness, Loyalty, and Job Satisfaction.” Educational Administration Quarterly 15 (1979): 97-118.
Mohrman, Allan M., Jr., Robert A. Cooke, and Susan Albers Mohrman. “Participation in Decision Making: A Multidimensional Perspective.” Educational Administration Quarterly 14 (1978):13-29.
Muchinsky, Paul M. Psychology Applied to Work, 2nd ed Chicago: Dorsey, 1987.
Murnane, Richard J. “Interpreting the Evidence on School Effectiveness.” Teachers College Record 83 (1981): 19-35.
Nicholson, Jean Hagewood. “Analysis of Communication Satisfaction in an Urban School System.” Ph.D. diss., George Peabody College for Teachers of Vanderbilt University, 1980.
Parsons, Talcott, Structure and Process in Modern Societies, Glencoe, IL:: Free Press, 1960
Passow A. Harry. “Whither (or Wither?) School Reform?” Educational Administration Quarterly 24 (1988): 246-256.
Publication of Work in America, U.S. Departement of Healt, Education and Wlfare, 1973
Purkey, S.C., and Marshall S. Smith. “Effective Schools: A Review.” Elementary School Journal 83 (1983): 427-452.
Quinn, Robert E., and Kim Cameron. “Organizational Life Cycles and Shifting Criteria of Effectiveness: Some Preliminary Evidence.” Management Science 29 (1983): 35-51
Ratsoy, Eugene W., Gail R. Babcock, and Brian J. Caldwell. Organizational Effectiveness in the Educational Practicum Program-1977-1978. Edmonton, Alberta: University of Alberta, 1978.
Ratsoy, Eugene W. “Participative and Hierarchical Management of Schools: Some Emerging Generalizations.” Journal of Educational Administration 11 (1973): 161-170.
Rice, Alan William. “Individual and Work Variables Associated with Principal Job Satisfaction.” Ph.D. diss., University of Alberta, 1978.
Sashkin, Mashall, and W. Warner Burke. “Organizational Development in the 1980’s.” Journal of Management 13 (1987): 393-417.
Schmuck, Richard A. dan Matthew B. Miles, Organization Development in Schools, Palo Alto, CA: National Press Books, 1971
Scott, W. Richard, “Effectiveness of Organizational Effectiveness Studies”, dalam New Perspectives on Organizational Effectiveness, Ed. Paul S. Goodman dan Johannes M. Pennings, 63-95, San Francisco: Jossey-Bass, 1977.
Seashore, Stanley E. dan David G.Bowers, “Durability of Organizational Change”, American Psychologist, 25 (1969): 227-233.
Smith, Patricia Cain, L.M. Kendall, and C.L. Hulin. The Measurement of Satisfaction in Work and Retirement. Chicago: Rand McNally, 1969.
Smith, Patria Cain, “The Development of a Method of Measuring Satisfaction: The Cornell Studies”, dalam Studies in Personel and Industrial Psychology, Ed. Edwin A. Fleishman, 343-350, Hoewood, IL: Dorsey,1967
Soltis, Jonas S. “Reform or Reformation.” Educational Administration Quarterly 24 (1988): 241-245.
Stedman, Lawrence C. “It’s Time to We Changed the Effective Schools Formula.” Phi Delta Kappan 69 (1987): 214-224.
Steers, Richard M. Organizational Effectiveness: A Behavioral View. Santa Monica, CA: Goodyear, 1977.
Steers, Richard M. “Problem in the Measurement of Organizational Effectiveness.” Administrative Science Quarterly 20 (1975): 546-558.
Stewart, James H., “Factors Accounting for Goal Effectiveness: Longitudinal Study”, dalam Organizational Effectiveness: Thery, Research, Utilization, Ed. S. Lee Spray, 109-121, Kent. OH: Ken State University Press, 1976;
Van de Ven, Andrew H. dan Everett M. Rogers, “Innovations and Organization.” Communication Research 15 (1988): 632-651
Vroom, Victor H., Work and Motivation, New York: Wiley, 1964.
Wimpelberg, Robert K. Charles Teddlie, dan Samuel Stringfield, Sensitivity to Contex: The Past and Future of Effective Schools Research,” Educational Administration Quarterly 25 (1989): 82-107
Wisniewsk, Richard, dan Paul Kleine, “Teacher Moon Lighting: An Ustudied Phenomenon.” Phi Delta Kappan 65 (1984): 103-113
Yuchtman, Ephraim, dan E. Seashore, “A System Resource Approach to Organizational Effectiveness”, American Sociological Review, 32 (1967)
Zammuto, Raymond F., Assessing Organizational Effectiveness, Albany; State Universiity of New York Press, 1982.
0 komentar:
Posting Komentar