Oleh: Syarqawi Dhofir
Meskipun kita utamanya bermaksud untuk meneliti realitas, itu tidak berarti kita berikutnya tidak ingin sekali mengembangkannya. Kita harus mempertimbangkan riset-riset kita bahwa akan menjadi tidak berharga semuanya, jika riset-riset itu semata untuk maksud-maksud yang bersifat spekulatif. Perlu diketahui, jika kita memisahkan secara hati-hati problem-problem teoritik dari problem-problem praktis, itu tidak akan menyisihkan problem-problem praktis dari problem-problem teoritik, bahkan sebaliknya, akan menghantarkan pada posisi yang lebih baik untuk memecahkan problem-problem itu.
Emile Durkheim
The Division of Labor in Society
Kebanyakan sikap skeptis terhadap teori di bidang pendidikan didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan pendidikan tidak menghasilkan kepastian. Sikap skeptis yang demikian mewabah pada semua ilmu pngetahuan sosial., tetapi tidak demikian dengan teori dalam ilmu alam. Hal itu karena teori dalam ilmu pengetahuan alam, selain telah mencapai sebuah penghormatan karena dapat mengembangkan deskripsi sebagaimana mestinya, juga telah dapat menggambarkan fenomena ideal yang bekerja dalam dunia aplikasi-aplikasi praktis.
Kebanyakan orang berpikir, bahwa ilmuwan berhubungan dengan fakta-fakta, sedangkan filsuf mempelajari teori. Tentu saja, “fakta” dan “teori” adalah antonim. Fakta adalah riil dan makna-makna yang dikandung oleh fakta adalah keterangan-keterangan tentang fakta itu sendiri (self-evident). Sementara teori adalah spekulasi-spekulasi atau mimpi-mimpi. Teori dalam pendidikan, bagaimanapun, memiliki peran yang sama sebagaimana teori dalam fisika, kimia, biologi atau psikologi, yaitu memberikan penjelasan-penjelasan umum dan mengarahkan riset.
Tujuan semua sains adalah memahami dunia tempat kita hidup dan bekerja. Para ilmuwan menggambarkan apa yang mereka lihat, menemukan hal-hal yang bersifat teratur, dan memformulasikan teori. Ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pendidikan berusaha untuk mendeskripsikan dan menjelaskan hal-hal yang teratur dalam perilaku individu atau kelompok di dalam organisasi sekolah. Ilmuwan mencari prinsip-prinsip dasar yang memberi pemahaman umum tentang struktur dan dinamika kehidupan guru, peserta didik dan karyawan.
Beberapa peneliti memandang: “sains sebagai sesuatu yang statis, sebuah satuan prinsip yang saling berkaitan, yang menjelaskan tentang dunia tempat kita hidup”. Sebaliknya, Conant memandang (dan kita pun setuju dengan pandangan ini: “sains sebagai proses perkembangan yang dinamis, lewat eksperimentasi dan observasi, sebuah satuan prinsip yang saling berkaitan, yang selanjutnya kembali memproduk eksperimentasi dan observasi .
Dalam pandangan semacam ini tujuan dasar sains adalah menemukan penjelasan-penjelasan umum yang disebut “teori”. Teori memiliki peran sentral dalam sains. Sebagai tujuan puncak sains, teori merupakan sebuah satuan bangunan-bangunan (konsep-konsep) , definisi-definisi dan proposisi-proposisi yang menyajikan sebuah pandangan sistematik tentang fenomena dengan menetapkan hubungan-hubungan antar variabel, semua itu bertujuan untuk menjelaskan dan meprediksi fenomena. Ia merupakan sebuah badan dari kesimpulan-kesimpulan yang konsisten dan saling berkaitan yang siap untuk memberi penjelasan. Secara logis teori terdiri dari konsep-konsep, asumsi -asumsi, dan kesimpulan-kesimpulan. Fungsi utama teori untuk menggambarkan, menjelaskan dan memprediksi hal-hal yang teratur dalam perilaku (regularities in behavior). Teori merupakan metode heuristika (metode pemecahan) yang mendorong dan mengarahkan perkembangan pengetahuan selanjutnya.
Semua teori disajikan dalam bentuk umum dan abstrak. Teori bukan soal apakah salah atau benar, tetapi soal bisa dipakai atau tidak. Sikap menjauh terhadap teori adalah diakibatkan sebagiannya oleh kesalahan persepsi tentang teori. Semua teori dipakai untuk menunjuk luas konsistensi secara internal, menyimpulkan prediksi-prediksi yang akurat tentang kejadian-kejadian, dan membantu para praktisi agar lebih mudah memahami dan mempengaruhi perilaku manusia.
Bentuk dari teori itu, bagaimanapun, kurang penting dibanding tingkatan sejauh mana teori itu bisa dipakai oleh ilmu pengetahuan. Riset dan teori utamanya dipertimbangkan atas dasar kegunaannya (utility). Dan karenanya sikap menjauh dari teori dalam pemecahan berbagai persoalan adalah sikap tradisional yang tidak mendapat pencerahan ilmu pengetahuan. Sikap tradisional yang semacam inilah yang masih dipegangi oleh orang-orang kita, baik dalam masyarakat maupun pemerintahan.
Dunia teori itu dapat dipahami lebih baik dengan cara memperhatikan:
1. Makna masing-masing komponen teori dan
2. Bagaimana masing-masing komponen berkaitan antara satu dengan lainnya.
Komponen yang dimaksud, yang pertama adalah konsep. Ilmuwan mencipta konsep yang dapat membantu mereka dalam meneliti dan menganalisa fenomena yang ada secara sistematik. Dengan kata lain, mereka mencipta sebuah bahasa untuk mendeskripsikan perilaku yang terdapat dalam dunia nyata. Kedua asumsi, ia merupakan sebuah statemen yang dijamin atau diterima sebagai kebenaran. Asumsi-asumsi yang diterima tanpa bukti tidak memerlukan pembuktian itu sendiri. Dan ketiga generalisasi, yaitu sebuah statemen atau proposisi yang menunjuk pada hubungan pasangan dari dua konsep atau lebih. Dengan kata lain, Sebuah Generalisasi berhubungan dengan konsep-konsep dalam sebuah bentuk yang bernilai. Beberapa jenis generalisasi mendasarkan pada formulasi-formulasi teoritik. Asumsi disebut generalisasi, jika semua asumsi itu bersifat berhubungan dengan dua konsep atau lebih. Keempat adalah hipoteisis yaitu generalisasi yang mengandung dukungan empirik yang terbatas (lihat di atas). Kelima, prinsip yaitu, generalisasi yang mengandung dukungan empirik yang substansial. Dan terakhir hukum yaitu, generalisasi yang mengandung sebuah tingkatan yang kaya dengan dukungan empirik. Generalisasi yang sama pada tingkatan teori yang berbeda dan tingkatan riset pengembangan yang berbeda, bisa menjadi sebuah hipotesis, prinsip, atau hukum.
Riset itu tak akan pernah lepas hubungannya dengan teori. Karena itu, banyak pandangan yang salah dan ambiguitas-ambiguitas di sekitar teori dan riset. Kesalahan dan ambiguitas itu terrefleksikan ketika menafsir makna dan tujuan riset. Riset ilmiyah akan selalu melakukan investigasi terhadap proposisi-proposisi hipotetik tentang hubungan-hubungan antar fenomena alamiyah. Semua itu dilakukan secara sistematik, terkontrol, empirik dan kritis. Riset selalu diarahkan oleh hipotesis, yang dikontrol secara empirik dengan cara mengkontraskannya dengan hasil-hasil observasi terhadap realitas, yang dibuat dengan cara yang terawasi dan disusun secara sistematik. Selanjutnya, hasil-hasil dari pengujian itu terbuka terhadap kritik dan analisis para peneliti lain. Atas dasar itu maka setiap hasil riset harus terus menerus dilakukan pengujian ulang untuk mendapat kritik baik dalam kerangka memperbaiki kesalahannya, mengembangkan kekurangannya ataupun menggantinya dengan sesuatu yang lain yang lebih absah menurut hasil riset yang lebih baru.
Barangkali hasil-hasil riset itu sebagian tidak didukung oleh teori-teori dan asumsi-asumsi yang sehat, atau data-data yang memadai. Bila terjadi demikian tak perlu menyebabkan kita putus semangat. Sebab, pengetahuan kita akan selalu cacat dan tidak akan pernah selalu lengkap. Dan pengetahuan akan terus berkembang.
Bentuk dasar pengetahuan pada semua disiplin pada dasarnya serupa, terdiri dari konsep-konsep, generalisasi-generalisasi dan teori-teori, masing-masing tergantung pada salah satu yang disebut sebelumnya. Konsep senantiasa berkaitan dengan generalisasi yang selanjutnya membentuk sebuah satuan proposisi secara konsisten dan logis. Satuan itu memberikan sebuah penjelasan umum tentang sebuah fenomena (sebuah teori). Dengan demikian, teori secara empirik dicek dengan pengembangan dan pengujian hipotesis-hipotesis yang ditarik secara deduktif dari teori. Hasil riset kemudian menyajikan data untuk menerima, menolak, mereformulasi dan menyaring generalisasi-generalisasi dasar dari teori.
Selanjutnya, dengan dukungan dan fakta emperik yang berkesinambungan, generalisasi-generalisasi dikembangkan dalam bentuk prinsip-prinsip (kaidah-kaidah) yang menjelaskan fenomena tersebut. Teori itu awal dan akhir dari pekerjaan riset ilmiyah. Di satu sisi, teori menempatkan diri sebagai dasar penyimpulan hipotesis untuk menguji proposisi-proposisi yang dapat diperiksa kebenarannya. Proposisi-proposisi yang dapat diperiksa itu adalah proposisi yang menjelaskan dan memprediksi fenomena empirik yang dapat diamati. Dan di sisi lain, sasaran puncak semua kerja keras ilmiyah adalah untuk mengembangkan secara substantif badan teori
Sebagian besar orang kita menganggap teori sebagai sesuatu yang tak berhubungan dengan praktek. Anggapan inilah yang justru memandulkan kemajuan ilmiyah yang kita harapkan di negeri kita, khususnya Sumenep. Teori itu selalu berhubungan secara langsung dengan praktek. Hubungan itu, sekurang-kurangnya terjadi dengan dengan tiga cara.
1. Teori membentuk bingkai rujukan (frame of reference) bagi para praktisi.
2. Proses teorisasi menyajikan sebuah model analisis yang bersifat umum tentang kejadian-kejadian praktis.
3. Teori memberi arahan dalam pembuatan keputusan.
Teori memberikan kepada para praktisi alat-alat analisis yang diperlukan dalam mempertajam dan memfokuskan analisis mereka tentang problem yang mereka hadapi. Teori melengkapi kita dengan peralatan yang dapat mengembangkan pemecahan-pemecahan alternatif terhadap masalah-masalah pragmatis. Hubungan teori praktek itu ke depan menggunakan konsep teoritisi untuk memberi label pada aspek-aspek penting dari sebuah masalah. Pendekatan ilmiyah adalah cara pikir tentang kejadian-kejadian baik bagi teoritisi maupun praktisi sama saja. Tentu saja pendekatan ilmiyah adalah sebuah perwujudan yang sarat dengan penyelidikan rasional, baik yang berkaitannya dengan fokusnya, analisis teoritisnya, cara pengembangannya, maupun pemecahan masalah. Tetapi tidak berarti tidak berkait dan berhubungan sama sekali dengan dunia praktek
Memang ada perbedaan antara cara kerja teoritisi, praktisi dan periset. Tetapi perbedaan itu hanya muncul dalam soal-soal pemberian penekanan. Teoritisi beroperasi pada sebuah tingkat abstraksi dan generalisasi yang lebih tinggi daripada peneliti yang hanya menguji hipotesis. Sebaliknya, praktisi beroperasi pada tataran abstraksi yang lebih rendah dari peneliti, yang demikian karena para praktisi lebih memperhatikan kejadian-kejadian dan soal-soal khusus yang terdapat dalam dunia prakteknya.
Namun demikian teoritisi dan praktisi memiliki kemiripan kerja.. Mereka menggunakan pendekatan ilmiyah lebih ketat dari pada yang dilakukan oleh praktisi. Itu mereka lakukan atas dasar alasan-alasan yang baik. Para teoritisi seringkali membuat pendahuluan dengan proposisi yang berisi kalimat. Hal-hal lain adalah sama. Para peneliti mengontrol semua variabel-variabel lain yang tidak masuk dalam penelitiannya. Sebaliknya, para praktisi bekerja dalam sebuah dunia yang berisi keragaman dan keanekaragaman, dan semua variabel tidak terkontrol. Para praktisi didesak oleh jabatan, tanggungjawab, otoritas dan problem-problem yang datang mendadak (emmediacy of problem). Walaupun tidak dapat melepaskan diri dari problem-problem dadakan, para praktisi dituntut untuk lebih fleksibel dalam menerapkan metode ilmiyah. Meskipun demikian, pendekatan para teoritisi, peneliti dan para praktisi yang bijak, secara mendasar adalah sama, yaitu sistematis dan reflektif. Dan tradisi keilmuan semacam itulah sebenarnya yang diharapkan dimiliki oleh orang-orang kita.
Terakhir, tentang hubungan teori dan praktek adalah sebagai berikut. Tanpa teori, bagaimanapun, sama artinya dengan pengetahuan tanpa dasar. Pengetahuan tanpa dasar tak mungkin ada riset, karena dasar pengetahuan bagi riset sangatlah penting, terutama riset untuk menyajikan informasi penting selalu menyarankan adanya sebuah teori.
Itulah proses kerja manusia berperadaban, selalu ada dalam dinamika antara teori, riset dan praktek. Dengan cara demikian itulah kita baru bisa dianggap bekerja atas dasar ilmu. Dan bekerja atas dasar ilmu adalah syarat diterimanya sebuah kerja oleh Allah. “Siapa bekerja tanpa ilmu, pekerjaannya ditolak oleh Allah, dan tak diterima” demikian, nilai-nilai tradisonal Islam mengungkapkan. Bahkan lebih jauh Rasulullah mengungkapkan, “Siapa yang ingin dunia haruslah dengan ilmu, siapa yang ingin akhirat, haruslah dengan ilmu, dan siapa yang menginginkan keduanya haruslah dengan ilmu.”
Terakhir ini, negara kita, cendrung dikuasai oleh “kekuasaan politik” sehingga seluruh kebijakan lebih banyak didasarkan pada interes politik dari pada ilmu pengetahuan. Maka karena itu menggalakkan riset ilmiyah dan mengembangkan penguasaan teori, perlu terus dikembangkan di lingkungan komunitas kita. Memang terlalu dini bila pada babak-babak awal mengharapkan lahirnya “etos kerja atas dasar ilmu”, apalagi bila diharapkan etos kerja yang demikian akhirnya benar-benar menjelma, membudaya dan menguasai prilaku kita.
0 komentar:
Posting Komentar