Oleh: Sarqawi Dhofir
PENGANTAR
Para realis politik memandang dunia itu seperti ini : “sebuah arena kekuatan politik yang utama digerakkan oleh kepentingan sendiri yang dirasakan seketika. Sementara itu moralitas adalah rasionalitas retorik bagi tindakan bijak dan kepentingan sendiri.” Ini bukan dunia syetan tapi syetan itu sendiri, di mana orang-orang berbicara tentang prinsip-prinsip moral tetapi bertindak berdasarkan prinsip-prinsip kekuasaan (power)
SAUL ALINSKY
Semua organisasi sosial mengawasi anggotanya, bahkan masalah pengawasan itu menjadi lebih penting lagi terutama dalam organisasi formal. Organisasi-organisasi formal berencana dan mengatur dengan sengaja untuk mencapai tujuan, akan tetapi, bersamaan dengan itu ia selalu tidak mempercayai anggota-anggotanya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka tanpa dorongan-dorongan tambahan. Karena itu organisasi menetapkan dan menstruktur secara formal hadiah dan sanksi untuk mendukung harapan-harapan, aturan-aturan dan perintah-perintah organisasi. Struktur pengawasan ini mengharapkan lahirnya perilaku yang sesuai dengan norma-norma organisasi dengan cara menciptakan perilaku tertentu yang lebih menarik (Gross dan Etzioni, 1985, 109)
Inti pengawasan keorganisasian adalah kekuasaan (power). Menurut pengertian klasik kekuasaan adalah kemampuan untuk membuat orang lain melakukan apa yang anda maui, atau seperti yang didefinisikan oleh Weber (1947, 152)”Kemungkinan di mana seorang aktor yang berada dalam sebuah jabatan tertentu dalam sebuah hubungan sosial bisa memenangkan apa yang ia kehendaki walaupun dengan cara melawan.” Kekuasaan dalam pengertian yang kita maksudkan dalam tulisan ini adalah kekuasaan sebagai sebuah istilah yang umum dan menyeluruh. Ia meliputi pengawasan dengan cara pemaksaan yang kejam dan pengawasan dengan tanpa paksa tetapi dengan cara persuasif dan rangsangan (sugestif), tidak terbatas dalam pengertian kemampuan memaksa seperti dalam defnisi Weber di atas. Wewenang (authority) lebih sempit skopnya, dibanding kekuasaan. Ia adalah “kemungkinan komando-komando khusus tertentu (atau semua komando) dari sumber yang berwenang bisa ditaati oleh kelompok orang yang diperintah.” Weber secara tergesa-gesa menunjukkan bahwa wewenang tidak mencakup setiap model penggunaan wewenang atau pengaruh terhadap orang-orang lain. Ia berpendapat bahwa sebuah tingkatan ketaatan sukarela tertentu hanya dihubungkan dengan komando-komando resmi.
WEWENANG (OTORITAS)
Hubungan antar otoritas adalah sebuah bagian integral dari kehidupan sekolah. Basis sebagian besar hubungan guru-murid, guru-karyawan, atau atasan-bawahan adalah otoritas. Sayang sekali, begitu banyaknya otoritas perorangan disamakan dengan otoritarianisme. Padahal tidak demikian. Otoritas sebagai sebuah konsep seharusnya didefinisikan lebih jernih.
Berbeda dengan keyakinan-keyakinan umum, pelaksanaan otoritas khususnya dalam sebuah sekolah tidak mengandung pemaksaan. Herbert A. Simon (1957, 126-127) menulis bahwa otoritas dibedakan dari pengaruh (influence) dan kekuasaan pada bawahannya, yaitu sebagai “pegangan-pegangan dalam penundaan bagian-bagian kritisnya untuk memilih di antara berbagai alternatif. Otoritas menggunakan kriteria formal dalam penerimaan sebuah perintah atau tanda-tanda perintah sebagai basis pilihannya.” Jadi, ada dua kriteria otoritas dalam sekolah yang sangat penting dalam hubungan-hubungan atas-bawah:
1. Kemauan suka rela untuk melegimatisasi perintah, dan
2. Penyekorsingan kriterianya untuk membuat keputusan dan penerimaan perintah organisasi.
Peter Blau dan W. Richard Scott (1962, 28-29) mengajukan argumentasi, bahwa kriteria ketiga harus ditambahkan untuk membedakan otoritas dengan bentuk-bentuk lain dari kontrol sosial. Mereka berdua menegaskan bahwa “Sebuah orientasi penilaian yang muncul harus bisa membatasi pelaksaaan kontrol sosial yang memberi pengesahan dan perlu diketahui bahwa orientasi demikian itu hanya harus ada dan berlaku dalam konteks kelompok.” Otoritas yang dimaksud adalah otoritas yang dilegitimasi oleh sebuah nilai yang menjadi pegangan kebanyakan anggota dalam kelompok itu. Blau dan Scott menyimpulkan bahwa sebuah karakteristik dasar dari hubungan otoritas adalah kemauan suka rela bawahan untuk mendukung kriteria mereka sendiri dalam membuat keputusan dan untuk menaati petunjuk-petunjuk atasan. Kemauan suka rela itu diakibatkan oleh pemaksaan-pemaksaan sosial yang dipaksakan oleh norma-norma kelompok sosial (guru dan murid), bukan dipaksakan oleh kekuasaan yang dipakai oleh atasan (administator). Sesungguhnya pemaksaan sosial itu tidak secara khusus lahir dari kekuasaan yang memaksa atau tipe-tipe pengaruh sosial lainnya. Dengan demikian maka hubungan antar otoritas dalam sekolah memiliki tiga karakteristik utama:
1. Kemauan suka rela bawahan untuk taat.
2. Dukungan bawahan, dan
3. Sebuah hubungan kekuasaan yang disahkan oleh norma yang berlaku dalam kelompok.
Tipe-tipe Otoritas
Otoritas muncul jika sebuah keyakinan-keyakinan umum (baca: norma) di sebuah sekolah telah mengesahkan penggunaan kekuasaan sebagai seuatu “yang benar dan tepat” dilihat dari segi jenis legitimasi yang diklaim secara khusus oleh masing-masing tipe. Weber (1947, 325-328) membedakan tiga tipe otoritas:
1. Tipe Otoritas Kharismatik,
2. Tipe Otoritas Tradisional dan
3. Tipe Otoritas Legal.
Otoritas kharismatik tergantung pada kesetiaan pada hal-hal yang luar biasa yang dimiliki secara pribadi oleh seorang pemimpin yang dinyatakan dengan kesalehan tanggung jawab pribadi atau sifat-sifat keteladanan. Otoritas kharismatik cendrung bersifat tidak rasional, afektif, atau emosional dan sangat bergantung pada sifat-sifat pribadi dan watak pemimpin. Otoritas pemimpin kharismatik secara pokok muncul dari akibat daya tarik pribadi yang melimpah luar biasa. Secara khas sebuah orientasi nilai umum timbul dalam kelompok untuk memproduk komitmen normatif yang intens terhadap orang itu dan penghubungannya dengan orang itu. Jadi, para murid boleh jadi menaati aturan-aturan kelas hanya karena keajaiban pribadi sang guru.
…..
Otoritas Tradisional
Otoritas tradisional dihormati di sebuah masyarakat yang memiliki kepercayaan yang mapan terhadap kesucian status orang yang menjalankan otoritas pada masa lampau. Kepatuhan diberikan kepada posisi otoritas yang dianggap suci secara tradisional, dan kepada orang yang menempati posisi yang mewarisi otoritas yang tidak dapat dipungkiri oleh umum. Dalam sebuah sekolah, misalnya, para siswa dan guru mungkin saja menerima otoritas posisi yang demikian karena orang tua mereka dan nenek moyang mereka melakukan hal yang sama sebelumnya.
Otoritas Legal
Otoritas legal didasarkan pada hokum yang mengangkatnya dan bisa diganti otoritas tersebut oleh prosedur yang sah secara formal. Kepatuhan tidak diberikan kepada setiap orang atau setiap posisi melainkan diberikan kepada hukum yang menetapkan siapa dan kepada hal apa saja rakyat memberikan kepatuhan. Otoritas legal dengan demikian hanya berlaku dalam skop otoritas yang diberikan oleh hokum dalam kantor. Dalam sebuah sekolah, kepatuhan diberikan kepada prinsip-prinsip impersonal yang menjalankan pelaksanaan organisasi. Sarjana lain dan para teoritisi organisasi telah memperluas konsep-konsep dasar tentang otoritas. Robert Peabody (1962, 463-482) membedakan dasar-dasar otoritas formal – legitimasi dan posisi – dari dasar-dasar otoritas fungsional yang berupa kecakapan dan ketrampilan humas atau hubungan perorangan; sementara itu Blau dan Scott (1962) secara sederhana menggambarkan hubungan otoritas yang formal atau yang informal, tergantung pada sumber legitimasi kekuasaan.
Otoritas formal diberikan oleh organisasi dan ditetapkan secara legal oleh keadaan, tata tertib dan peraturan. Dalam kaitannya dengan organisasi, para karyawan menerima hubungan otoritas karena mereka setuju, dalam batas-batas tertentu, untuk menerima petunjuk-petunjuk dari para pengawas mereka. Organisasi itu memiliki hak untuk memerintah dan para karyawan memiliki kewajiban untuk taat (March dan Simon, 1958, 90). Dengan demkian, dasar otoritas formal terkait dengan persetujuan yang ditetapkan secara legal antara organisasi dan para karyawan.
Otoritas Fungsional
Otoritas fungsional memiliki aneka sumber, meliputi otoritas kompetensi dan otoritas perorangan. Walaupun Weber menyajikan otoritas kompetensi sebagai bagian dari pola rasional legal dari birokrasi, kompetensi selalu tidak dibatasi oleh posisi. Kompetensi teknik dapat memberikan sumber itu untuk melegimatisasi pengawasan dan petunjuk-petunjuk dalam sebuah organisasi formal; bagaimanapun juga posisi khusus yang disandangnya. Fakta ini merupakan sebuah dilema dan bertentangan dengan para profesional (ini adalah sebuah bahasan yang bisa kita rujuk pada Seri 6).
Otoritas informal adalah sebuah sumber lain dari sebuah kontrol yang sah yang berasal dari perilaku seseorang dan sifat-sifat individu. Walaupun posisinya informal, beberapa anggota organisasinya mengembangkan norma kesetiaan dan dukungan dari para koleganya. Norma-norma informal menunjang dan melegitimasi kekuasaan mereka dan memberikan otoritas informal.
Otoritas dan Perilaku Administratif di Sekolah
Otoritas adalah sebuah roman dasar kehidupan sekolah. Karena ia memberikan dasar pengawasan yang sah bagi para administrator, guru dan siswa. Sumber utama pengawasan adalah otoritas formal yang diberikan oleh kantor atau jabatan dan bukan oleh sebagian orang yang menjalankan peran kepegawaian (Merton 1957, 195). Ketika para administrator, guru dan siswa berhubungan dengan sebuah organisasi sekolah, mereka menerima hubungan otoritas formal itu. Mereka setuju dalam batas-batas tertentu untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mengenai persoalan-persoalan resmi sekolah. Pendek kata, para anggota sekolah masuk dalam persetujuan-persetujuan kontrak dimana mereka menjual janji untuk mengikuti perintah secara jujur sebagai bawahan yang loyal kepada atasan. Para administrator yang memerintah bawahan yang loyal, nampak memiliki keberuntungan untuk memperluas dasar otoritas mereka. Karena itu penting bagi kita merujuk kembali pada definisi, ukuran dan kegunaan sebuah konsep.
Loyalitas Bawahan kepada Atasan
Blau dan scott (1962) dalam pandangan analisis sosiologis mereka mengenai organisasi formal, pertama kali memperke nalkan loyalitas sebagai sebuah aspek penting hubungan hirarkis dalam organisasi-organisasi formal. Mengenai kepentingannya itu, mereka mengajukan hipotesis bahwa produktivitas pekerja berhubungan dengan faktor-faktor yang berkaitan dengan loyalitas. Barangkali mereka menyatakan demikian karena para pengawas yang memiliki dukungan loyalitas dari bawahan mereka lebih sukses dalam memperoleh kemauan untuk mematuhi petunjuk-petunjuk mereka dalam kerja kelompok mereka. Sayangnya kepentingan tersebut dalam konsep itu, Blau dan Scott tidak mendefinisikannya secara rinci. Mereka secara sederhana mencatat bahwa para pengawas (supervisor) yang memerintah dengan mendapat loyalitas akan “disukai”, “diterima” dan “dihormati”.
V.V. Murray dan Allen F. Corenblum (1966) menegaskan bahwa sekurang-kurangnya ada dua definisi lain yang cukup beralasan mengenai istilah tersebut yang bisa digunakan :
1. Definisi kognitif dan
2. Definisi behavioral.
Definisi kognitif menekankan pada tidak adanya keraguan bahwa untuk mempercayai orang yang menjadi supervisor mereka sebagai seorang pemimpin. Definisi behavioral menekankan pada kemauan bawahan untuk mengikuti supervisor itu ke arah baru, yang dianggapnya sebagai kriteria untuk menentukan loyalitas bawahan.
Dalam banyak penelitian sekolah, konsep loyalitas bawahan pada atasan kelas menengah telah dipertajam secara konseptual dan telah ditentukan batasannya secara operasional (Hoy dan Williams, 1971; Hoy dan Rees, 1974). Penelitian menunjukkan, walaupun loyalitas bawahan kepada seorang atasan mungkin bisa difahami menurut istilah-istilah kognitif, afektif dan behavioral, tetapi segi-segi itu secara bersama-sama sangatlah berbeda. Walaupun demikian semua segi itu secara bersama-sama memberikan sebuah indeks yang baik mengenai loyalitas bawahan terhadap atasan kelas menengah.
Model Administratif dan Loyalitas
Prilaku utama otoriter dan loyalitas guru barangkali berbeda, ini adalah sebuah prediksi yang dikaitkan dengan analisis teoritik Blau dan Scott (1962, 144). Satu strategi untuk memperluas skop otoritas formal ke seluruh bawahan adalah sama dengan dominasi. Administrator yang otoriter itu berusaha untuk meningkatkan pengawasan dengan cara mengadakan sanksi formal atau mengancam dengan akan menggunakan sanksi-sanksi itu; bagaimanapun, penggunaan cara itu dalam waktu lama cendrung akan meruntuhkan otoritas. Para bawahan, terutama sekali para profesional, membenci surat-surat peringatan yang diberikan secara konstan karena ketergantungan mereka pada atasan itu, terutama sekali dalam sebuah budaya yang egaliter. Strategi dominasi dan supervisi tertutup yang diberlakukan, tidak disukai untuk membangun secara mudah loyalitas dan dukungan dari professional. Blau (1955, 66-77) dengan rapi telah meringkas “Dilema otoritas birokrasi” sebagai berkut : “Itu tergantung pada kekuatan sanksi tetapi ia dilemahkan oleh pemberian sanksi yang terlalu sering dalam pelaksanaan-pelaksanaan kegiatan.” Kenyataannya, para supervisor yang tidak otoriter nampaknya menyukai menggunakan strategi yang berlawanan dengan itu. Mereka menggunakan satu strategi kepemimpinan dalam bentuk pelayanan dan pemberian bantuan yang dapat memenuhi kebutuhan bawahan. Menggunakan otoritas formal dengan menyediakan hadiah-hadiah dan pelayanan-pelayanan spesial dapat menciptakan kewajiban-kewajiban sosial dan membangun kemauan baik di tengah-tengah bawahan. Hasilnya dapat mempertinggi kemajuan loyalitas informal.
Untuk sejumlah alasan, dasar pemikiran untuk memprediksi sebuah hubungan negatif antara administrator otoriter dan loyalitas guru sebagai sebuah pemaksaan, khususnya dalam sekolah adalah:
- Pertama, watak supervisi di sekolah terfokus pada usaha membantu –bukan memerintah- para guru agar mengem bangkan cara mengajar mereka.
- Kedua, karena guru bekerja di ruang tertutup, mereka tidak mudah diamati. Lebih-lebih, para guru seringkali mengklaim diri mereka sebagai yang memiliki otonomi professional, dan supervisi tertutup nampaknya akan dilihat sebagai pelanggaran terhadap otonomi professio nal itu.
Akhirnya para guru menggantungkan kepentingan besarnya pada otoritas yang didasarkan pada kompetensi professional, lebih banyak dari kelompok-kelompok professional yang serupa seperti yang terdapat pada para pekerja sosial (Peabody, 1962). Karena itu tidak mengejutkan bila penelitian itu secara konstan mendemonstrasikan bahwa supervisor yang otoriter tidak sukses dalam melahirkan loyalitas guru (Isaacon, 1983; Mullins, 1983). Akhirnya, kontrol seorang yang otoriter yang dilakukan pada para guru tidak dapat melahirkan otoritas informal.
Ketidak-berpihakan emosional dan kebebasan hirarkis adalah dua karakter penting lain yang harus ada dalam hubungan-hubungan utama guru. Ketidak-berpihakan emosional adalah kemampuan administrator mendemons trasikan otonominya sebagai atasan yang berinteraksi dengan para guru. Para kepala sekolah berdiri di tengah-tengah di satu sisi dengan administrator yang lebih tinggi dan di sisi lain dengan posisi pengajaran yang professional. Keefektifan mereka tergantung pada dukungan yang mereka terima dari keduanya, mereka seakan-akan menjadi obyek yang ditekan oleh konflik yang datang dari dua kelompok itu. Konsekwensinya, ketidak-berpihakan emosional dari bawahan dan kebebasan hirarkis dari atasan adalah penting dalam membangun dukungan sosial dari guru kepada kepala sekolah. Tentu saja, penelitian telah menampilkan tingkat keakuratan keduanya, terutama sekali ketidak-berpihakan emosioanal dalam mewujudkan loyalitas guru kepada kepala sekolah (Isaacon, 1983; Mullins, 1983).
Nampaknya, pengaruh hirarkis adalah sifat lain dari administrator yang ingin menerima otoritas untuk memimpin kelompok-kelompok guru yang bersifat informal. Para administrator yang mampu dan ingin menekan pengaruh mereka kepada para pendukung mereka atas nama guru sangat dihormati dan dihargai oleh para guru, dan memperoleh banyak kepercayaan, dukungan dan loyalitas dari para guru mereka (Isaacon, 1983; Mullins, 1983).
Akhirnya, keotentikan (baca: keikhlasan=ptj) kepala sekolah dalam berhubungan dengan para guru adalah factor gawat dalam proses administratif. Ia bisa memberdayakan para kepala sekolah dalam membangun loyalitas guru dan otoritas informal. Keotentikan pemimpin adalah sebuah konsep yang licin. Rakyat secara fasih bicara tentang kesejatian, kenyataan dan keaslian perilaku, padahal masih merupakan suatu hal lain yang perlu didefinisikan secara jernih untuk dapat mengukur keotentikan. Berdasarkan pada hasil kerja James Henderson dan Wayne Hoy (1983) dan Hoy dan Henderson (1983), bagaimanapun tiga aspek utama keotentikan pemimpin, yaitu:
1. Akuntabilitas,
2. Manipulasi dan
3. Penonjolan peran diri secara lebih utama
telah didefinisikan dan diukur. Jadi keotentikan kepala sekolah didefinisikan sebagai:
1. Tingkatan dimana para guru menggambarkan para kepala sekolah sebagai orang yang menerima tanggungjawab (responsibilitas) atas pekerjaan-pekerjaan mereka;
2. Sebagai sesuatu yang tidak dimanipulasi, dan
3. Sebagai panampilan penonjolan peran diri secara lebih utama.
Kebalikannya, para kepala sekolah yang tidak otentik dipandang:
1. Sebagai orang-orang yang mengelak dari tanggungjawab, buta pada orang-orang lain dan dunia sekitarnya agar tidak meraih sukses,
2. Memanipulasi guru dan bersembunyi di belakang jabatan formal mereka. Seperti yang diharapkan, penelitian pendahuluan telah mendukung hipotesis bahwa keotentikan pemimpin yang dikenal banyak orang berhubungan kuat dengan kepercayaan pada perintah dan loyalitas guru.
Implikasi-implikasi dari penelitian-penelitian empirik nam pak jernih. Jika para administrator ingin berhasil dalam membangun loyalitas informal, maka mereka perlu berada di jalan dimana loyalitas guru terpelihara. Dalam anggapan yang demikian, perilaku seseorang yang otoriter ditaqdirkan untuk gagal. Sebagai gantinya, para administrator perlu menampilkan sifat independen mereka dari atasan dan menampilkan pengaruh mereka pada atasan. Lebih dari itu, walaupun berada dalam situasi sulit, perilaku mereka perlu tenang, kalem dan berpertimbangan. Barangkali yang terpenting, perilaku mereka harus menjadi otentik; mereka perlu menampilkan sebuah kemauan untuk sharing dalam ketidaktahuan, tidak memanipulasi guru, dan tidak terkekang oleh tuntutan-tuntutan peran birokratik (Blau dan Scott, 1962, 143).
SUMBER KEKUASAAN
Walaupun otoritas mengimplikasikan kesahan, tetapi tidak semua kekuasaan adalah sah. Kekusaan bisa dipakai oleh individu, kelompok, atau organisasi. Misalnya, sebuah departemen atau kelompok punya kekuasaan yang mengesankan, punya kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok, mungkin dalam soal personalia atau penetapan anggaran belanja. Demikian juga, seorang individu bisa memiliki kekuasaan, dimana ia menunjukkan keberhasilan menjadikan orang lain melaksa nakan perintah-perintah atau anjuran-anjurannya. Para pemimpin memiliki kekuasaan; mereka menjadikan orang lain melaksanakan petunjuk-petunjuk mereka. Sebagaimana yang kita lihat, apakah seorang pemimpin atau bukan, sebagian besar administrator memiliki kekuasaan sederhana karena –sebagai wakil dari organisasi- mereka memiliki kekuasaan organisasi. Tetapi administrator bisa memperoleh kekuasaan dari pribadinya sebagaimana ia bisa memperoleh nya dari sumber-sumber organisasi. Mereka itulah yang memiliki kekuasaan mempengaruhi perilaku orang lain.
Satu dari usaha-usaha pertama sekali untuk menganalisis kekuasaan adalah berasal dari hasil kerja rintisan John R.P. French dan Bertram H. Raven (1968, 259-270). Fokus perhatian mereka pada dasar-dasar kekuasaan interpersonal. Hal ini membuat mereka berhasil mengidentifikasi lima jenis kekuasaan:
1. Pemberian penghargaan,
2. Paksaan,
3. Legitimasi,
4. Referensi, dan
5. Keahlian.
Tipologi kekuasaan interpersonal itu telah diperluas ke tingkat organisasi.
Kekuasaan Lewat Penghargaan (Reward Power)
Kekuasaan lewat penghargaan (reward power) adalah kemampuan administrator untuk mempengaruhi bawahan dengan cara menghargai perilaku mereka yang menyenang kan. Kekuatan kekuasaan jenis ini tergantung pada keatrak tifan pemberian penghargaan dan luas kepastian di mana seseorang dapat mengontrol penghargaan tersebut. Misalnya, kepala sekolah yang mengontrol alokasi kenaikan gaji atau orang yang bisa membebaskan guru dari kerja-kerja rutin pekerjaan rumah, memiliki reward power yang memiliki kekuasaan atas nama semua guru di sekolah itu. Para guru mungkin melaksanakan permintaan-permintaan kepala sekolah karena mereka berharap diberi penghargaan atas kesetiaannya. Ini penting, bagaimanapun, penghargaan-penghargaan itu berkaitan dengan kesetiaan, dan usaha-usaha berpengaruh semacam itu penting dan etis. Philip Cusikck (1981, 132-133) menggambarkan salah satu usaha kepala sekolah untuk menggunakan reward power dengan cara mengatur jadwal, tugas-tugas tambahan dan sumber-sumber yang tak terbagi. Kepala sekolah hanya mengontrol hal-hal di mana guru ingin agar tugas-tugas mereka bisa ditambah. Kepala sekolah itu bisa memberi hadiah pada salah seorang ketua bagian berupa masa bebas, kelas favorit, dua kali masa makan siang, sebuah pembagian honor, atau dukungan pada aktivitas barunya.
Kekuasaan Lewat Pemaksaan (Coercive Power)
Kekuasaan lewat pemaksaan (coercive power) adalah sebuah kemampuan administrator mempengaruhi bawahan dengan cara menghukum mereka karena tindakan-tindakan mereka yang tak menyenangkan. Kekuatan coercive power tergantung pada kerasnya hukuman dan tergantung pada kemungkinan hukuman tidak dapat dihindari. Hukuman bisa bermacam-macam bentuknya, seperti:
1. Teguran resmi,
2. Tugas kerja yang tak menyenangkan,
3. Supervisi tertutup,
4. Pemaksaan secara keras dalam pelaksanaan peraturan dan tata tertib,
5. Penolakan tambahan-tambahan gaji, atau
6. Pemberhentian.
Pemberian hukuman bukan tanpa pengaruh negatif. Cercaan resmi pada guru secara berulang-ulang dapat menjadikan guru itu meninggalkan sekolah pagi-pagi. Hasilnya boleh jadi banyaknya absen, membingungkan dalam pemberian bantuan tambahan kepada murid, kecuali melalui kontak khusus, dan ada kecendrungan guru pada umumnya untuk menghindari semua hal termasuk aspek-aspek penting yang ada dalam pekerjaan mereka. Menariknya, hubungan yang sama itu bisa dipandang sebagai sebuah reward power dalam situasi tertentu, tetapi coersive power dalam situasi yang lain. Misalnya, jika seorang guru menaati seorang kepala sekolah karena takut pada hukuman, ini disebut coersive power; tetapi jika guru lain menaati untuk mengantisipasi adanya sebuah penghargaan di masa akan datang, maka yang demikian disebut reward power.
Kekuasaan Lewat Legitimasi (Legitimate Power)
Kekuasaan lewat legitimasi (legitimate power) adalah kemampuan administrator untuk mempengaruhi perilaku bawahan yang secara sederhana disebabkan oleh adanya jabatan formal. Bawahan mengetahui bahwa administrator memiliki hak untuk menyebarkan petunjuk-petunjuk dan mereka punya sebuah kewajiban untuk melaksanakan. Setiap administrator diberdayakan oleh organisasi untuk membuat keputusan-keputusan dalam sebuah area khusus yang berada di bawah tanggung jawabnya. Area tanggung jawab itu membatasi aktivitas di seluruh wilayah dimana administrator memiliki legitimate power. Kemudian sebuah perintah digerakkan dari area tanggung jawab administrator ke orang yang lemah legitimate powernya. Jika perintah dari seorang administrator telah diterima tanpa masalah, mereka akan menurunkannya ke dalam wilayah bawahan yang tak berbeda. Demikianlah sebuah perintah di dalam sebuah area. Pada saat itu juga perintah telah mengantisipasi pekerja yang telah mengadakan kontrak dengan organisasi dan perintah itu dilihat oleh pekerja sebagai sebuah kewajiban yang sah (a legitimate obligation). Misalnya, para guru berharap untuk menghitung dan memasukkan dalam angka tepat waktu untuk setiap masa penilaian. Di luar wilayah itu, bagaimanapun legitimate power memudar. Satu hal perlu diketahui oleh kepala sekolah, untuk memasukkan angka-angka yang telah di hitung dengan tepat dan memasukkan ke kantor merupakan suatu hal yang sedikit berbeda dengan hal menyuruh guru untuk merubah suatu angka. Legitimasi untuk permintaan pertama adalah jelas tak ada masalah. Tetapi tidak dengan perintah kedua, walaupun mungkin ada kesetiaan untuk melakukan perintah kedua, tapi itu tetap masalah.
Kekuasaan Lewat Referensi (Referent Power)
Kekuasaan lewat referensi (referent power) adalah kemampuan administrator untuk mempengaruhi perilaku yang didasarkan pada kesukaan dan perkenalan bawahan dengan atasan. Seorang individu yang memiliki referent power dikagumi, dihormati dan menjalankan sebagai sebuah model yang tak tertandingi. Sumber dari referent power berkaitan dengan kepribadian luar biasa dan ketrampilan-ketrampilan interpersonal individu itu. Misalnya, guru-guru muda mungkin kenal intim dengan kepala sekolah dan berusaha meniru sikap pribadi kepala sekolah itu bahkan boleh jadi meniru model kepemimpinan orang yang lebih berpengalaman dan disukai benar oleh kepala sekolah. Tidak hanya individu-individu bahkan kelompok pun bisa memiliki referent power. Anggota resmi dari sebuah kelompok referent power bisa juga memperoleh sebuah sumber referent power. Referent power, secara sederhana tidak berkaitan dengan pemegang-pemegang kekuasaan resmi sebuah organisasi. Para guru seperti halnya para kepala sekolah bisa juga memiliki referent power, dalam kenyataan banyak individu yang sangat mengagumkan mengembangkan kehormatan, kepercayaan, keyakinan dan loyalitas di tengah-tengah koleganya, usaha pengembangan yang demikian itu mirip sekali dengan usaha mengembangkan referent power.
Kekuasaan Lewat Keahlian (Expert Power)
Kekuasaan lewat keahlian (expert power) adalah kemampuan administrator untuk mempengaruhi perilaku bawahan yang didasarkan pada ketrampilan dan keahlian khusus. Bawahan dipengaruhi karena mereka percaya bahwa informasi dan keahlian yang dimiliki oleh administrator sangat relevan, dapat membantu dan mereka sendiri sadar bahwa tak memiliki informasi itu. Seperti halnya referent power, expert power adalah sebuah karakteristik pribadi dan tidak tergantung pada wewenang dalam sebuah jabatan formal kekuasaan.
Expert power, bagaimanapun, lebih sempit skopnya dibanding referent power. Kegunaan pengetahuan itu membatasi batas-batas expert power. Para administrator baru nampaknya memiliki ketertinggalan waktu dalam kemahiran expert power, karena untuk bisa menjadi ahli yang berpengetahuan dan diterima oleh para bawahan membutuhkan waktu yang panjang. Para kepala sekolah yang baru wajib tampil dengan cara bahwa mereka tahu bagaimana menampilkan fungsi-fungsi administratif dengan terampil sebelum para guru menerima usaha-usaha untuk mengimplementasikan praktek-praktek dan prosedur-prosedur baru.
Lima tipe kekuasaan ini bisa dikelompokkan secara kasar ke dalam dua kategori:
1. Kategori organisasional dan
2. Kategori personal.
Reward power, coerceive power dan legitimate power termasuk dalam ke;omok jabatan organisasi (kategori organisasional) Jabatan yang lebih tinggi, lebih potensial pula untuk bisa memberikan legitimasi, penghargaan dan pemaksaan. Berbeda sekali dengan referent power dan expert power, keduanya banyak tergantung pada pribadi yang terdapat pada sifat-sifat administrator, seperti kepribadian, kepemimpinan, gaya, pengetahuan dan keterampilan interpersonal. Secara singkat, beberapa sumber kekuasaan yang diperuntukkan mempengaruhi bawahan untuk lebih bisa menerima pengawasan organisasi, sementara lainnya lebih banyak tergantung pada karakteristik pribadi administratornya.
KEGUNAAN KEKUASAAN SECARA ADMINISTRATIF
Porsi waktu administrtor yang besar lebih banyak ddiarahkan pada power-oriented behavioral, yaitu, “perilaku yang secara pokok diarahkan pada pengembangan atau penggunaan hubungan-hubungan dimana orang lain dalam banyak tingkatan menghendaki kemauannya dibedakan antara kemauan yang satu dengan kemauan yang lainnya.” (Kotter,1978, 27) Para administrator memiliki tingkatan yang berbeda-beda dan mamiliki kombinasi tipe kekuasaan yang masih tetap diperdebatkan. Lebih-lebih, jalan yang ditempuh administrator dengan menggunakan satu tipe kekuasaaan dapat menghalangai atau memfasilitasi keefektifan jenis-jenis kekuasaan lainnya.
Reward power nampaknya dapat memproduk perasaan positif dan memfasilitasi pengembangan referent power, tetapi coerceive power memiliki pengaruh yang bertentangan (Huber, 1981, 66-67). Lebih dari itu, bawahan bisa melihat kenyataan administrator yang menampilkan keahlian seperti yang banyak dimiliki legitimate power. Dalam kenyataan , expert power dapat menjadi bentuk kekuasaan yang paling stabil. Dalam sebuah penelitian , perubahan-perubahan struktur organisasi dalam reward power menambah penggunaan coercieve power lebih bisa diterima dan mengurangi penerimaan penggunaan reward, legitimate dan referent power oleh administrator itu, tetapi expert power tetap stabil (Green dan Podsakoff, 1981).
Gary Yukl (1981, 44-59) menawarkan garis pedoman bagi administrator untuk membngun dan menggunakan lima jenis kekuasaan. Akibat yang muncul dari sebab penggunaan kekuasaan adalah pertimbangan-pertimbangan penting bagi para administrator. Tabel 4.1 meringkas kemungkinan hasil dari masing-masing bentuk kekuasaan bila ada syarat-syarat:
1. Komitmen,
2. Kepatuhan bersahaja atau
3. Penolakan.
Misalnya penggunaan referent power paling besar kemungkinannya untuk menaikkan komitmen, dan lebih sedikit kemungkinan untuk mengakibatkan kepatuhan yang bersahaja; paling kecil kemungkinannya untuk menimbul kan perlawanan dan menciptakan pengasingan. Komitmen paling besar kemungkinan munculnya bila menggunakan referent dan expert power; dan coerceive power mungkin akan memproduk perlawanan dan akhirnya pengasingan. Amitai Etzioni (1975) juga menawarkan analisis yang menyeluruh mengenai akibat-akibat penggunaan kekuasaan dalam orgamisasi.
Referent power tergantung pada loyalitas pribadi para administrator, dan loyalitas itu pun tumbuh relatif cukup lama.. Pengembngan loyalitas pada atasan adalah sebuah proses perubahan sosial yang dikembangkan pada saat administrator menampilkan perhatian, kepercayaan dan perasaan kepada para bawahannya. Penerimaan dan kepercayaan tertentu bisa meningkatkan kemauan baik dan pengenalan baik pada atasan, yang pada akhirnya menciptakan loyalitas dam komitmen yang kuat. referent power paling bersifat perasaan, jika para administrator memilih bawahan yang paling mungkin dikenali oleh mereka, jika administrator sering menggunakn seruan pribadi, dan jika mengesampingkan contoh-contoh perilaku peran yang benar, ini hanya sekedar contoh.
Keahlian seringkali tidak cukup untuk bisa menjamin adanya komitmen dari para bawahan. Penggunaan expert power yang sukses menuntut syarat adanya:
1. Pengenalan para bawahan terhadap pengetahuan administrator dan
2. Para bawahan merasakan kesuksesan pelaksanaan keahlian itu,
3. Para administrator harus menampilkan pengetahuan mereka secara meyakinkan dengan cara:
One. Menjaga kredibilitas,
Two. Memelihara agar selalu tahu (keeping informed),
Three. Beraksi secara meyakinkan mengenali kepentingan-kepentingan bawahan, dan
Four. Menjaga ancaman terhadap harga para bawahan.
Pendek kata, para adminstrator harus meningkatkan image keahlian mereka dan kemudian menggunakan pengetahuan mereka untuk menampilkan kegunaan dari keahlian itu.
TABEL 4.1 Kemungkinan Akibat Penggunaan Kekuasaan
Tipe kekuasaan | Kemungkinan respon bawahan terhadap kekuasaan | ||
Komitmen | Kepatuhan bersahaja | Penolakan/per lawanan | |
Referent | XXX | XX | X |
Expert power | XXX | XX | X |
Legitimate | XX | XXX | X |
Reward | XX | XXX | X |
Coerceive | X | XX | XXX |
Catatan: XXX = Kemungkinan terbesar
XX = Kemungkinan kecil
X = Kemungkinan terkecil
Otoritas dilaksanakan lewat legitimate power. Tuntutan legitimate power kemungkinan bisa diekspresikan dalam bentuk perintah, petunjuk atau instruksi. Hasil dari tuntutan administrator mungkin berupa kepatuhan yang bertanggung jawab, kepatuhan yang bersahaja, penolakan, atau pengasingan, tergantung pada watak dan cara dari tuntutan itu. Ada kemungkinan kecil penolakan dan pengasingan terjadi jika administrator membuat tuntutan secara bijak dan bersih, menjelaskan alasan-alasan tuntutan, peka terhadap kepentingan-kepentingan bawahan.dan secara rutin menggu nakan otoritas yang sah. (Yukl, 1981, 49-53).
Penggunaan Reward power adalah taktik administratif yang umum untuk memperoleh kepatuhan terhadap aturan organisasi atau terhadap tuntutan pemimpin khususnya. Penghargaan bisa jadi dalam bentuk eksplisi atau implisit, tetapi bahwa penghargaan-penghargaan itu tergantung pada kepatuhan terhadap perintah-perintah admnistratif adalah penting. Kepatuhan adalah kemungkinan sumber yang terpercaya yang paling besar dari reward power. Tuntutan itu adalah wajar dan etis, dan kepatuhan pada tuntutan bisa bervariasi. Ada beberapa bahaya dalam penggunaan reward (penghargaan). Reward power bisa diterima oleh bawahan sebagai tipuan (manipulasi), suatu hal yang umum menjadi alasan para bawahan untuk menolak dan bermusuhan. Lebih dari itu, penggunaan reward power yang berulang-ulang kali dapat membatasi hubungan administratif terutama dalam masalah ekonomi; jadi, respon bawahan dikalkulasi atas dasar keuntungan-keuntungan yang jelas. Jika penghargaan yang diberikan untuk menampilkan penghargaan pribadi admnistrator agar pekerjaan bisa dikerjakan dengan baik , bagaimana pun hal itu dapat menjadi sebuah sumber peningkatan referennt power. Orang yang sering menerima insentif dengan cara yang bisa diterima secara bertahap akan menjadi lebih disukai oleh penerima penghargaan (French dan Raven,1968).
Kebanyakan administrator yang efektif mencoba untuk menghindari penggunaan coerceive power khususnya karena mengikis kegunaan-kegunaan referent power dan menciptakan permusuhan, pengasingan dan agresi di tengah-tengah bawahan. Ketidak-hadiran, sabotase, pencurian, aksi-aksi kerja dan serangan-serangan adalah respon-respon yang umum terhadap pemaksaan yang berlebihan. Penggunaan pemaksaan kadangkala bisa dipertimbagkanuntuk dipakai bila problemnya menyangkut salah satu disiplin dan ia menjadi paling tepat bila digunakan untuk perilaku merusak yang suka menghalang-halangi organisasi, misalnya, pencurian, sabotase, tindakan kasar terhadap peraturan, penyerangan dan ketidak-patuhan secara langsung pada petunjuk-petunjuk yang sah (Yukl, 1981, 56) Agar sangat efektif, bawahan perlu tahu benar tentang aturan-aturan dan penjatuhan sanksi kekerasan. Pemaksaan memang potensial untuk menyingkirkan , karena itu disiplin harus diatur secara tepat, konsisten dan jujur. Administrator harus memelihara kredibilitas, tetap tenang, menjaga agar tidak tampil bermusuhan, dan menggunakan hukuman yang jelas dan terukur. Pengelimineran pengaruh-pengaruh coerceive power menjadikanya sebagai sebuah ukuran usaha akhir bagi kebanyakan administrator yang efektif.
TIPOLOGI KEKUASAAN MINTZBERG
Henry Mentzberg (1983) mengusulkan cara analisis lain mengenai kekuasan di dalam dan di sekitar organisasi. Dalam pandangannya, kekuasaan dalam organisasi berasal dari kontrol terhadap sebuah sumber , keterampilan teknik, atau kumpulan pengetahuan. Dalam banyak hal, bagaimanapaun menyajikan kekuasaan sumber keterampilan dan pengetahuan sebagai basis sangatlah tak berdaya dalam memfungsikan organisasi. Ia harus ada dalam persediaan pendek; dan harus tidak siap dipindahkan. Dengan kata lain, organisasi itu wajib memerlukan sesuatu yang hanya sedikit orang yang bisa menyediakannya. Misalnya, kepala sekolah itu menentukan jasa kenaikan gaji bagi para guru yang memiliki kekuasaan sumber. Wakil kepala sekolah yang memiliki keterampilan interpersonal untuk berhubungan secara efektif dengan orang tua, siswa dan guru yang marah pun memiliki kekuasaan, sebagaimana guru yang sendirian di sekolah memahami elemen-elemen baru yang dimasukkan dalam kurikulum.
Dasar umum keempat dari kekuasaan berasal dari hak-hak istimewa yang resmi (legal prerogatives). Yang memberi kan kepada beberapa orang hak eksklusif untuk mencipta kan pilihan-pilihan. Dewan pengurus sekolah memiliki hak resmi untuk mengangkat dan memecat para administrator dan guru; mereka diwarisi kekuasaan tertentu lewat undang-undang negara. Administrator sekolah pada akhirnya selalu dituntut oleh undang-undang negara untuk mengevaluasi kompetensi guru yang habis masa jabatannya. Lebih lanjut, mereka diberi hak untuk menyebarkan perintah kepada para pekerja, sebuah hak yang diatur oleh hak-hak istimewa resmi lain yang menjamin kekuasaan guru dan asosiasinya.
Akhirnya, kekuasaan datang kepada mereka yang memiliki akses masuk pada para pemegang kekuasaan. Ada sekretaris kepala sekolah yang memiliki sejumlah kekuasaan. Misalnya, teman-teman dari dewan kepresidenan atau pengawas atau kepala sekolah seringkali bisa merubah arah penyusunan keputusan organisasi.
Mintzberg juga mengusulkan satuan dari empat sistem kekuasaan internal yang merupakan sumber dasar bagi pengawasan kehidupan organisasi, yaitu:
1. Sistem otoritas,
2. Sistem ideologi,
3. Sistem keahlian dan
4. Sistem politik.
Sistem otoritas mendukung untuk pencapaian tujuan-tujuan formal yang ditetapkan oleh organisasi; sistem ideologi menyokong pencapaian sasaran-sasaran formal yang muncul dari organisasi yang mengembangkan identitas khasnya yang berbeda.; sistem keahlian mengawasi perilaku para profesional yang bertindak sebagai subjek sendiri dari standar pelatihan profesional mereka. Tiga sistem pengawasan secara khusus menyokong kebutuhan-kebutuhan organisasi. Itu semua adalah legitimasi. Tetapi itu semua harus mesti dengan kekuasaan yang juga memiliki kebutuhan-kebutuhan pribadi. Dalam proses usaha keras menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan organisasi yang lebih luas, semua individu mendapatkan mereka memiliki kebijakan, dan kebijakan membuka jalan menuju kekuasaan politik. Jadi sebuah sistem kekuasaan politik muncul bukan diakibatkan oleh otoritas formal, ideologi atau keahlian yang terjamin; kenyataan menunjukkan, itu adalah kesemrawutan, kepicikan, dan ketidak-sahan yang dilakukan secara khas.
Sistem Otoritas
Sistem otoritas adalah arus formal kekuasaan melalui saluran legitimasi. Ada dua sub-sistem kontrol di sini:
1. Kontrol personal dan
2. Kontrol birokratis.
Kontrol personal dijalankan dengan memberi perintah, mengatur dasar pemikiran keputusan, meninjau ulang keputusan dan mengalokasikan sumber-sumber. Secara bersama-sama empat alat kontrol personal itu memberikan kepada administrator kekuasaan yang dapat dipertimbang kan untuk mengarahkan birokratis. Di sisi lain berkaitan dengan pembenahan standar-standar impersonal yang dibuat untuk mengatur perilaku umum para guru di sepanjang area, seperti, waktu kapan mereka diharapkan telah ada di sekolah setiap hari, tugas-tugas kafetaria, sekolah dan keperluan-keperluan pekerjaan rumah (PR)
Sistem Ideologi
Sistem ideologi adalah perjanjian informal antar guru mengenai sekolah dan hubungannya dengan kelompok-kelompok lain. Karakter kerja kelompok dan istilah-istilah organisasi informal, iklim dan kultur adalah istilah-istilah yang kami pakai dalam teks ini (lihat Seri 6) untuk menangkap esensi dari sistem ideologi. Norma-norma organisasi informal, jiwa kelompok dari iklim itu, nilai-nilai dasar kultur sekolah, semuanya memberikan sebuah sumber kekuasaan dan kontrol yang bertenaga.
Sistem Keahlian
Sistem keahlian adalah pengaruh-mempengaruhi antar ahli atau para profesional untuk memecahkan kemungkinan-kemungkinan genting yang dihadapi oleh organisasi itu. Dihadapkan dengan tugas yang kompleks tentang belajar dan mengajar, sekolah mengangkat para spesialis (seperti guru, konselor, ahli psikologi dan administrator) untuk mencapai tujuan-tujuan dasar mereka. Kebutuhan pada otonomi untuk menciptakan keputusan-keputusan profesio nal yang selalu konflik dengan sistem otoritas formal, barangkali sebuah konsekuensi yang tak dapat dielakkan. Tentang kerja para profesional di struktur birokratis (lihat Seri 6). Sebagai guru yang harus terus meningkatkan profesionalitasnya, maka tuntutan pada otonomi dan kekuasaan yang lebih besar nampaknya sangatlah mungkin, dan pendanaan kekuasaan semacam itu mungkn akan menjadi mahal bagi sistem otoritas formal.
Sistem Politik
Sistem politik adalah jaringan kerja politik organisasi, yang merupakan kekurangan legitimasi dari tiga sistem kekuasaan lainnya. Ini adalah sebuah sistem yang juga kekurangan konsensus dan dana kepengurusan dalam sistem-sistem yang lain itu. Tak ada rasa kesatuan atau dukungan bersama untuk sebuah kebaikan umum. Sistem ini bisa digambarkan sebagai satuan permainan-permainan politik dimana para pemegang kekuasan bermain. Permainan yang bisa hidup bersama-sama dengan sistem-sistem yang legitimate itu menjadi lawan bagi sistem-sistem itu, atau menjadi pengganti bagi sistem kontrol yang legitimate.
Administrator sekolah tidak hanya harus mengenali sistem-sistem yang mempengaruhi itu, tetapi juga harus tahu bagaimana membuka sumbat dan menggunakan masing-masing sistem. Secara jujur sistem otoritas adalah titik awal bagi para administrator sekolah. Posisi mereka tetap berkait dengan kekuasaan, tetapi kontrol posisi yang personal dan birokratis seringkali tidak cukup untuk memotivasi para guru agar menggunakan usaha-usaha ekstra atau agar kreatif dalam pelayanan kepada sekolah dan siswa. Bahaya itu bagi administrator sekolah adalah kepercayaan esklusif terhadap sistem otoritas. Berkepercayaan semacam itu sama artinya dengan membatasi komitmen pada sekolah dan beresiko memproduksi perlawanan dan pengasingan oleh para guru.
Sistem Ideologi
Apa yang Mintzberg sebut dengan sistem ideologi adalah sama dengan apa yang orang-orang lain tunjuk sebagai budaya, iklim, atau organisasi informal sekolah (lihat Seri 6). Ideologi organisasional dapat memproduk rasa taggung pada missi di kalangan para anggota. Para administrator level pertama, seperti kepala sekolah, adalah aktor kunci dalam pengembangan ideologi. Tujuannya adalah untuk menciptakan sebuah kepercayaan di kalangan guru dan siswa, bahwa ada sesuatu yang spesial mengenai sekolah mereka, dan bahwa sekolah mereka memiliki identitas yang berbeda atau budaya unik.
Kita telah selesai membicarakan beberapa jalan bahwa para kepala sekolah bisa membuka sumbat yang terdapat di organisasi formal, bisa mengembangkan loyalitas dan kepercayaan dan bisa memperluas skop otoritas mereka. Otoritas informal, bagaimanapun adalah sebuah permulaan yang lain bukan sebuah akhir. Puncaknya, kepala sekolah itu harus pergi ke alam baka, ia memerintah dan membangkitkan sebuah tanggung jawab organisasi berdasarkan loyalitas pribadi, sementara para guru meberikan loyalitasnya pada sekolah. Tentu konsekwensi dari sebuah ideologi yang kuat adalah mendistribusikan kekuasaan, dan karena itu kekuasaan menjadi lebih terdistribusikan di kalangan pendidik.
Walaupun sistem-sistem otoritas dan ideologi meningkatkan koordinasi dan kepatuhan, tetapi seringkali keduanya saja tidaklah cukup. Jika pekerjaan itu sulit, para ahli atau profesional diperlukan, dan bersama mereka datang tuntutan pada otonom untuk menciptakan keputusan-keputusan berdasarkan pertimbangan profesional, bukan berdasarkan otoritas atau ideologi. Kekuasaan para administrator perlu dibagi-bagi dengan para profesional. Mengajar akan menjadi lebih profesional seperti halnya juga pekerjaan, pemberdayaan guru akan lebih mungkin menjadi realitas dari ekedar sebuah slogan, dan banyak sekolah mau merubah struktur-struktur organisasinya agar menjadi birokrasi yang profesional (lihat Bab 5)
Pembicaraan kita tentang sistem kekuasaan Mintzberg membuat satu hal menjadi jernih bagi para administrator sekolah . Mereka harus siap untuk mebagi-bagi kekuasaan, mereka yang mendengarnya mungkin akan menjadi korban-korban ketidak puasan guru dan siswa, pengasingan dan permusuhan. Lebih dari itu, ketidak akuratan sistem-sistem kontrol mereka akan membuka jalan di sekolah bagi masuknya permainan kekuasaan informal dari sebuah dunia yang lebih gemerlap, yaitu kekuasaan politik, sebuah topik yang akn kami bicarakan sebentar lagi.
TIPOL OGI KEKUASAAN DARI ETZIONI
Amitai Etzioni (1975) telah menggunakan konsep kekuasaan dan tanggung jawab bawahan terhadap kekuasaan, yang dia sebut dengan “complience”(kesetiaan), sebagai dasar sebuah teori tentang organisasi. Di sini fokusnya adalah tentang kekuasaan organisasi memerintah perilaku para anggotanya. Tipologi kekuasaan Etzioni didasarkan pada alat-alat yang digunakan untuk menjadikan individu-individu bisa melaksanakan tugas-tugas organisasi. Dia mengidentifikasi tiga-tipe kekuasaan:
1. Coerceive (pemaksaan),
2. Remunerate (pemberian upah) dan
3. Normative (normatif)
Coerceive power (kekuasaan paksaan) tergantung pada aplikasi aktual atau pada aplikasi ancaman dengan menggunakan hukuman-hukuman fisik., penahanan, skorsi, pengusiran. Dan perlu diketahui hukuman badaniyah di sekolah merepresentasikan metode-metode paksaan yang khas. Metode ini bisa dipakai untuk memperoleh kepatuhan para siswa.
Remunerative power (kekuasaan pemberiaan upah) tergantung pada menajemen sunber-sumber material dan penghargaan. Gaji, upah, bonus dan keuntungan-keuntungan sampingan adalah bentuk aplikasi remunerative power yang umum digunakan untuk mengontrol perilaku para buruh.
Normative power (kekuasaan normatif) berasal dari alokasi dan manipulasi sanksi dan penghargaan yang simbolik. Kekuasaan ini bisa dilaksanakan dengan cara menyebarkan pengaruh penghargaan, status, atau prestise, lewat manipulasi simbol-simbol yang positif seperti honor, kenaikan jabatan dan rekomendasi.
Penyesuaian masing-masing tipe kekuasaan adalah tiga reaksi terhadap kekuasaan. Yang merupakan ciri khas Etzioni adalah kaitannya dengan istilah peningkatan dan petunjuk-petunjuk keterlibatan bawahan. Keterlibatan bergerak panjang berupa rangkaian kesatuan dari positif melewati netral hingga ke negatif. “Peningkatan Keterlibatan Positif” disebut “komitmen”. Peningkatan keterlibatan negatif” diistlahkan dengan “alienasi” dan “keterlibatan sedikit positif dan sedikit negatif” digunakan istilah “kalkulasi ”. Rangkaian kesatuan itu digambarkan dalam Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Zona-zona keterlibatan
- Alinasi kalkulasi Komitmen +
Peningkatan Sedikit peningkatan
Etzioni menunjukkan kepatuhan sebagai hubungan antara jenis-jenis kekuasaan yang diaplikasikan pada bawahan dan hasil keterlibatan mereka dalam organisasi. Klasifikasi kekuasaan dan keterlibatan diberlakukan pada semua individu dalam sebuah sistem sosial. Bagaimanapun, fokusnya pada partisipan level rendah, bawahan terdapat di level terendah dari hirarki organisasi. Sedangkan murid di sekolah ada di dasar struktur dan mereka termasuk partisipan level rendah.
Tipe kekuasaan diaplikasikan oleh organisasi selain pada partisipan rendah juga pada jenis keterlibatan atau respon. Mereka mengembangkan bentuk dasar tipologi kepatuhan ala Etzioni. Walaupun tiga jenis kekuasaan dan tiga jenis keterlibatan menghasilkan tipologi kesetiaan dengan sembilan kategori, tetapi hanya tiga tipe organisasi yang utama yang digambarkan (Lihat Gambar 4.3). Tiga kotak diagonal yang ditunjukkan dalam gambar, yang Etzioni sebut dengan “conngruent types” (tipe-tipe sama dan sebangun) didapat berulang kali (Hall, Hass, dan Johnson, 1967, Etzioni, 1975). Hubungan kesetiaan bisa disebut dengan “congruent” kalau watak keterlibatan partisipan dalam sebuah organisasi konsisten dengan jenis kekuasaan yang diberlakukan pada mereka. Agar lebih jelas, kekuasaan pemaksaan (coercive power ) cenderung untuk memba ngun alienasi; karena itu bila “sesuai” berarti didapat, dan hubungan itu dianggap kongruent.
Setiap level organisasi memiliki hubungan-hubungan kesetiaan sendiri-sendiri. Bagaimanapun, bentuk kesetiaan utama dari bawahan level rendah digunakan untuk mengklasifikasikan organisasi-organisasi karena dua alasan. Kesetiaan pada level itu lebih bermasalah dibanding pada level-level lain, dan organisasi-organisasi menjadi lebih mudah dibedakan dari masing-masing yang lain pada level rendah. Walaupun tiga bentuk kesetiaan benar-benar ada dalam semua organisasi, kebanyakan organisasi lebih banyak menyndarkan pada satu bentuk dari pada bentuk-bentuk yang lain; karena itu organisasi diklasifikasikan sesuai menurut bentuk-bentuk kesetiaan utama yang mereka miliki, seperti coercive, utilarian atau normative. Kemudian pada setiap tipe, organisasi bisa diatur menurut keterkaitan nya dengan penekanan pada bentuk-bentuk yang utama (Etzioni, 1975, 23-67).
Coercive Organizations ( organisasi-organisasi paksaan ) menggunakan pemaksaan atau ancaman pemaksaan sebagai alat utama untuk mengontrol aktivitas bawahan level rendah. Dan respon-respon kolektif terhadap kekuasaan adalah sebuah tingkatan tinggi dari alienasi. Dua jenis tipe coercive organizations yang paling menonjol di masyarakat Amerika dewasa ini adalah penjara dan rumah mental. Paksaan adalah alat-alat utama kontrol dan alienasi adalah tipe khas para penghuni rumah sakit dan para tawanan penjara.
Utilitarian Organizations (organissi-organisasi utilitarian) kebanyakan menyandarkan pada pemberian upah (remuneration) untuk memperoleh kekuasaan dari bawahan level rendah, dan responnya adalah keterlibatan kalkulatif. “Industri-industri kerah biru” adalah tipe khas dari organisasi-organisasi utilitarian. Ada banyak organisasi yang termasuk kategori tipe ini, yang dapat diatur sesuai dengan tingkatan ke-utilitarian- yang mereka sukai. Selanjutnya, industri-industri kerah biru yang paling kuat ke-utilitarianan-nya adalah industri kerah putih, kesatuan-kesatuan bisnis, organisasi-organisasi petani, organisasi-organisasi militer masa damai, masing-masing secara berurutan lebih sedikit ke-utilitarianan-nya.
GAMBAR 4.3 Tipe-tipe kesetiaan Ala Etzioni
Alienasi Kalkulasi Komitmen
| ||||||
Utilatarian | ||||||
| Normative |
Normative Organizations (organisasi normatif) yang pokok menggunakan kekuasaan normatif sebagai alat kontrol terhadap para partisipan level bawah yang secara umum mereka adalah berkomitmen tinggi pada organisasi. Contoh organisasi yang bertipe ini adalah organisasi keagamaan termasuk gereja, pemerintahan, biara, rumah sakit umum, perguran tinggi dan universitas, dan kesatuan-kesatuan sosial. Organisasi keagamaan kebanyakan sangat normatif karena menggunaan kekuasaan normatif secara lebih eksklusif dan menerima ,komitmen lebih besar dari tingkatan dan deret para partisipan dibanding lainnya. Sekolah-sekolah negeri, rumah sakit jiwa dan organisasi profesional, kantor-kantor hukum dan surat kabar lebih sedikit murni normatif dibanding organisasi keagamaan. Walaupun ala-alat utama untuk membujuk kesetiaan adalah masih tetap bersifat normatif di organisasi itu, tetapi alat-alat kedua untuk memperoleh kesetiaan memainkan peran penting. Misalnya, di rumah sakir jiwa, pemaksaan adalah alat yang tepat untuk melaksanakan kontrol, dan dalam perusahaan-perusahaan profesional, pemberian upah adalah penting.
Sekolah-sekolah negeri berkarakter menggunakan kekua saan normatif dalam mengontrol para siswa. Teknik normatifnya yang khas untuk memperoleh kesetiaan para siswa meliputi: manipulasi tingkatan dan honor, sindiran tajam (sarkasme), teguran, angka buruk, nasehat guru untuk berperilaku baik, mengirim siswa ke kantor, dan modifikasi dengan menggunakan tekanan teman. Paksaan tetap menjadi kontrol dalam sekolah. Di sekolah penahanan, skorsing, dan pengusiran terus dipakai penyelesaian akhir. Lebih dari itu, watak pengskorsingan sekolah-sekolah negeri benar-benar merupakan penjaminan mengapa banyak murid tidak senang pada orang yang menentang sekolah. Inilah pokok yang mendasari pemaksaan masih dipakai di sekolah. Meskipun demikian sekolah-sekolah negeri mengutamakan pengguna an ukuran-ukuran normatif untuk memperoleh kesetiaan siswa.
Sekolah masih dikelompokkan secara relatif menurut hubungannya dengan penekanan pada cara kontrol siswa yang normatif dan kursif. Di sekolah-sekolah di mana kursif memainkan peran lebih signifikan, para siswa kebanyakan teralienasi (Hay, 1972).
SEBUAH PERBANDINGAN
Analisis kita tentang wewenang (otoritas) dan kekuasaan (power) telah mencakup sejumlah pandangan konseptual (lihat Tabel 4.2). Perspektif-perspektif itu bisa membedakan pada tingkat mana kekuasaan menjadi legitimate atau tidak legitimate, dan menjadi formal atau informal. Menurut definisi, hanya tiga formulasi otoritas itulah yang mempertimbangkan kekuasaan yang legitimate. Kebalikannya, tiga perspektif tentang kekusaan seluruhnya berhubungan dengan dua hal secara bersama-sama: kontrol yang legitimate dan kontrol yang tidak legitimate, dan kekuasaan yang formal dan yang tidak formal, tetapi tidak ada bingkai kerja (framework) yang begitu menyeluruh mempertimbangkan empat kombinasi kekuasaan. Tipologi The Frence dan Raven menyajikan analisis klasik tentang kekuasaan interpersonal (kekuasaan antar pribadi), sementara itu Etzioni dan Mintzberg memfokuskan analisisnya pada kekuasaan organisasi. Etzioni menggunakan kekuasaan untuk mengembangkan sebuah teori komprehensif tentang kesetiaan organisasional, dan Mintzber mengembangkan empat sistem pengaruh untuk menggali konfigurasi kekuasaan di dalam dan di sekitar organisasi. Bagaimanapun, dengan demikian hanya formulasi Mintzberg yang mempertimbangkan kekuasaan yang tidak legitimate dan informal –sistem politik- dan yang merupakan permainan politik internal akan kembali dibahas berikut.
PERMAINAN POLITIK KEORGANISASIAN
Permainan politik adalah sebuah kenyataan dalam kehidupan keorganisasian. Walaupun semua telah berusaha untuk mengintegrasikan kebutuhan-kebutuhan individu ke dalam tujuan organisasi, tetapi para individu masih memiliki tujuan sendiri-sendiri untuk dipenuhi. Secara tak terelakkan mengungkapkan dalam bentuk usaha-usaha untuk memuaskan lebih banyak kebutuhan-kebutuhan sempit mereka, dan dalam bentuk proses membentuk koalisi dengan mereka yang memiliki kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan yang sama. Mintzberg (1983, 172) mengajukan alasan, bahwa permainan politik internal itu bersifat sembunyi-sembunyi dan illegal. Sebabnya adalah karena yang demikian itu didisain untuk menguntungkan individu atau kelompok yang seringkali atas biaya organisasi. Oleh karena itu maka akibat-akibat yang paling umum terjadi dari permainan politik semacam itu adalah konflik dan perpecahan. Permainan politik tidak diberi sanksi oleh otoritas formal, ideologi atau oleh keahlian resmi. Dalam kenyataan, permainan politik lahir karena kelalaian, lewat jalur kelemahan sistem-sistem penularan pengaruh yang lain, atau dengan cara membuat disain, untuk menolak atau mengeksploitasi orang-orang lain yang ada dalam pengawasan. Karenanya, dimana sistem formal itu selalu merupakan sebuah struktur yang diorganisir secara ketat, menurut pengamatan George Strauss (1964), sistem politik akan banyak melahirkan persaingan kelompok-kelompok berkuasa, masing-masing berusaha untuk mempengaruhi kebijakan organisasi demi kepentingannya sendiri, atau sekurang-kurangnya berkaitan dengan hal kepentingan sendiri dikacaubalaukan dengan kesan kepentingan organisasi.
Politik-politik keorganisasian selalu mengarah pada taktik-taktik politik, permainan dan konflik Aktivitas-aktivitas kekuasaan itu bisa muncul bersama-sama dengan banyak bentuk kekuasaan yang sah lainnya, menyusun diri mereka sendiri untuk beroposisi dengan kekuasaan yang sah, atau menjadi bagian-bagian tertentu untuk melemahkan sistem-sistem kontrol yang sah. Mengingat gambaran tentang aktivitas-aktivitas politik itu, maka kami kembali akan membahas tiga topik penting yang berkaitan dengan taktik-taktik politik, permainan-permainan politik dan manajemen konflik.
Taktik-taktik Politik
Semua anggota sebuah organisasi bisa masuk ke dalam permainan politik keorganisasian . Dalam kenyataan, nampaknya sama saja, tanpa melihat posisi maupun tingkatnya, setiap orang adalah seorang pemain dalam permainan politik. Karena itu kita kembali membahas seperangkat taktik-taktik politik yang umum dipakai oleh para pekerja di semua level (Verchio, 1988, 267-270)
Mengambil muka adalah merupakan sebuah taktik yang digunakan untuk memperoleh kemauan baik orang lain, lewat kemurahan hati, penuh perhatian dan pemberian cindra mata. Yang demikian didasarkan pada apa yang oleh ahli sosiologi disebut “norm of reciprocity” (norma penghargaan timbal balik), sebuah norma yang meresap di masyarakat Amerika. Membantu seorang kolega atau atasan sehingga mereka merasa berkewajiban untuk membalas kebaikan itu atau membayar aksi-aksi positif tersebut. Para guru seringkali berusaha memperoleh kemauan dan budi baik dari para kolega dan kepala sekolah mereka dengan cara membantu tugas-tugas orang lain dengan melakukan tugas yang melampaui tugas mereka. Daniel Griffiths dan koleganya (1965) dalam penelitian tentang mobilitas guru di kota New York, menggambarkan bagaimana taktik-taktik itu telah dipakai oleh para guru untuk menjadi administrator. Sejumlah guru yang cukup besar telah berpetualang untuk mencari kerja. Mereka merasa diganggu oleh banyak guru: guru yang berkuasa di ruang makan siang, administrator kerja tahunan , koordinator sekolah khusus guru-murid, atau pelatih team gerak jalan sekolah. Tidak ada satu pun dari bagian-bagian kerja itu yang tidak meminta bayaran, tetapi para guru petualang itu menemukan, banyak guru yang mendapat simpati dan perhatian para atasannya dan seringkali memperoleh posisi-posisi sangat penting seperti wakil kepala sekolah atau posisi empuk lainnya.
Jaringan Kerja (Networking) adalah proses pembentukan hubungan-hubungan dengan orang-orang berpengaruh. Termasuk di antaranya orang-orang yang mungkin saja berposisi penting, atau tidak, tetapi mereka punya akses pada informasi penting. Guru yang telah membina hubungan akrab dengan penjaga atau seketaris kepala sekolah, seringkali punya akses untuk memperoleh informasi penting. Serupa dengan itu, para guru yang memiliki kontak dengan suami atau isteri dewan presiden atau orang yang memiliki hubungan tidak langsung dengan pengawas, atau orang yang mengenal kepala bagian, mereka semua juga dianggap sebagai orang-orang yang mempunyai informasi sampingan yang penting.
Manajemen Informasi adalah sebuah taktik yang digunakan oleh orang-orang yang ingin mengawasi orang lain atau oleh mereka yang ingin membangun status diri. Walaupun informasi itu merupakan informasi kritik mengenai dirinya sendiri, ia tetap diperlukan untuk digunakan sebagai teknik menyebarkan informasi yang bisa meningkatkan posisinya dalam organisasi, baik organisasi itu formal atau informal. Mengambil informasi yang memiliki pengaruh kuat dapat meningkatkan kepentingan dirinya dan dapat mematikan ambisi orang lain. Kunci menuju manajemen informasi itu, pertama adalah memperoleh informasi krusial (networking) dan kemudian digunakan secara sangat terampil, menciptakan semuanya diketahui oleh orang lain dengan berbagai cara yang dapat meningkatkan ketergantunngan orang lain itu dan membangun reputasi anda sebagai “orang yang benar-benar tahu” tentang apa yang terjadi. Guru-guru yang memiliki networking yang menyimpan informasi penting adalah aktor-aktor utama yang khas dalam kehidupan politik sekolah. Manajemen informasi mereka dan pemeliharaannya yang sangat cermat itu akan seringkali meningkatkan peran mereka sebagai pemain penting dalam permainan-permainan politik sekolah itu.
Manajemen Kesan merupakan sebuah taktik sederhana yang banyak dipakai oleh setiap orang dari waktu ke waktu untuk menciptakan kesan yang menyenangkan. Taktik ini meliputi berdandan, bertindak untuk kepentingan diri sendiri, menekankan hanya pada prestasi, menuntut pujian kapan saja mungkin, dan menciptakan kesan itu sebagai sesuatu yang penting, atau paling tidak, harus ada. Kuncinya membangun sebuah kesan sedemikian rupa agar orang lain melihat anda sebagai orang berpengetahuan banyak, pandai berkomunikasi, berpikiran bijak, peka dan ahli bermasyara kat .
Sebagian taktik itu sah dan alami; sebagian lagi berliku-liku dan tidak sah. Ketika taktik-taktik itu didasarkan pada kebohongan, penipuan dan pemutarbalikan informasi , maka sulit dibenarkan oleh alasan-alasan moral. Robert Vecchio (1988) menjelaskan bahwa atas dasar alasan-alasan pembelaan diri, seseorang tahu pasti dengan taktik-taktik politik yang berliku-liku seperti korban kesalahan, menjaga konflik dengan cara menyebarkan rumor-rumor salah, mengeluarkan lawan dari pertemuan-pertemuan penting, dan membuat janji-janji palsu. Walaupun taktik-taktik politik merupakan fakta yang ada dalam kehidupan keorganisasian, tetapi tidak semuanya dipandang sah (Cox, 1982). Sebagai tambahan, ada juga sejumlah kesalahan umum yang merupakan kesalahan-kesalahan permainan politik yang merugikan, yaitu: melanggar serangkaian komando, tak mampu menahan marah di depan publik, selalu berkata tidak kepada atasan, dan meragukan keyakinan-keyakinan yang berharga (Vecchio, 1988, 269-270). Demikianlah taktik-taktik yang telah kita bahas itu menjadi basis politik keorganisasian
Permainan-permainan Politik
Sebuah cara untuk menggambarkan kekuasaan organisasi lebih penuh adalah membayangkannya sebagai sebuah satuan permainan politik yang dimainkan oleh para anggota organisasi. Permainan-permainan itu penuh dengan taktik-taktik yang berbelit-belit dan cerdik yang dimainkan sesuai dengan peraturan. Peraturan itu sebagian ada yang jelas dan lainnya tak jelas. Sebagian sangat gamblang dan lainnya mubham. Sebagian stabil dan lainnya selalu berubah. Tetapi peraturan itu secara keseluruhan ikut berpengaruh dalam menentukan permaianan-permainan itu.
1. Peraturan membangun jabatan, yang demikian merupa kan peluang-peluang yang digunakan oleh orang untuk memperoleh akses menuju posisi-posisi, akses untuk memperoleh kekuasaan dari tiap jabatan yang ada, akses untuk memperoleh saluran-saluran aksi.
2. Pertaturan bisa mengkerutkan tingkat keputusan dan tindakan yang diterima.
3. Sanksi peraturan menggerakkan beberapa hal–tawar-menawar, kerjasama, rayuan, penipuan, kepura-puraan dan ancaman– ketika membuat gerakan-gerakan lain yang ilegal, immoral dan tak wajar (Allison, 1971, 170-171)
Mintzberg (1983, 187-217) mengidentifikasi lima jenis permainan yang umum dimainkan oleh anggota-anggota organisasi:
1. Permainan-permainan untuk melawanan otoritas.
2. Permainan-permainan untuk mengkonter perlawanan tersebut.
3. Permainan-permainan untuk membangun basis-basis kekuasaan.
4. Permainan-permainan untuk mengalahkan penentang (lawan)
5. Permainan-permainan untuk mengubah organisasi.
Dengan mendasarkan secara kuat pada hasil kerja Minztberg itu kita akan membahasa masing-masing berikut ini:
Permainan Berupa Pemberontakan
Permainan berupa pemberontakan seringkali dimainkan untuk melawan otoritas formal. Permainan-permainan ini dimulai dari perlawanan terhadap sabotase yang ditujukan untuk memberontak. Ketika sebuah perintah telah dikeluarkan, biasanya kemudian secara khas muncul kebijakan untuk melaksanakan perintah itu. Selama tidak ada jaminan bahwa perintah itu akan dilaksanakan secepat mungkin, orang telah menyiapkan perintah yang bisa memanipulasi tindakan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Demi ketegasan memperoleh dukungan, orang akan berkata, “Silahkan mati jika tidak setuju dengan keputusan” kepada orang-orang yang tak mendukungnya. Graham Allison (1971, 173) menulis bahwa orang bisa “melakukan manuver untuk menunda implementasi, membatasi pelaksanaan keputusan, tetapi bukan itu tujuan yang sebenarnya, melainkan seringkali hanya digunakan sebagai cara agar keputusan itu tidak ditaati.”
Para pendukung dari lapisan bawah memiliki kekuasaan yang kecil dalam organisasi itu, karena itu mereka berusaha melakukan kontrol dengan cara mengelak, mengadakan sabotase dan memanipulasi struktur formal (Mechanic, 1962). Guru-guru profesional mampu dan bisa melakukan penolakan terhadap tindakan-tindakan formal yang dilakukan oleh penguasa administrasi. Sebuah peraturan yang menuntut para guru diam 15 menit setelah sekolah berakhir setiap hari, untuk membantu para siswa melakukan pekerjaan mereka, bisa gampang dirusak oleh para guru, dengan cara diam selama 15 menit, namun diam mereka digunakan untuk mengadakan pertemuan bukan dalam kerangka semangat melakukan peraturan. Jika iklim sekolah (lihat seri 8) tidak sehat, maka tindakan yang sangat mirip dengan pemberontakan itu akan lebih menjadi gejala lahirnya problem-problem endemis dari pada sekedar isu kecil itu sendiri. Bagaimana pun para administrator, selalu menggunakan otoritas untuk memerangi penolakan terhadap otoritasnya itu. Misalnya, ketika peraturan-peraturan digagalkan atau ditolak maka jawaban administratif yang khas dilakukan adalah mengembangkan peraturan-peraturan lanjutan dan penunjang-penunjang kekuatan dengan cara melakukan supervisi tertutup dan menjatuhkan hukuman terhadap mereka yang tidak melaksanakan. Pemecahan-pemecahan yang diusahakan seringkali gagal, karena pemecahan itu tidak berhubungan dengan penyebab dari lahirnya masalah itu, padahal masalah itu sebenarnya hanyalah merupakan gejala. Jadi, jika para administrator ingin meraih sukses dalam usaha mereka mengkonter pemberontakan, mereka harus menggunakan keterampilan politik mereka yang besar bersama-sama dengan kekuasaan dan otoritas jabatan yang dimiliki untuk “membujuk, merayu dan tawar-menawar dengan para pelaksana harian untuk menemukan apa yang mereka inginkan.” (Mintzberg, 1983, 193). Terakhir, adakan tawar-menawar dan ciptakan hubungan informal dengan pelaku-pelaku kunci “.
Permainan Membangun-Kekuasaan:
Permainan Membangun-Kekuasaan digunakan oleh para pendukungnya untuk membangun landasan kekuasaan. Para atasan, rekan sekerja, atau bawahan mungkin digunakan dalam proses pembangunan itu. “Main dukung” adalah sebuah contoh di mana seorang bawahan mencantelkan dirinya pada atasan agar ia bisa memiliki loyalitas absolut sebagai pengganti dari “sebuah aksi”. Misalnya, guru muda yang ingin menjadi kepala sekolah kadang-kadang mencoba memperoleh dukungan pengaruh dari pejabat kepala sekolah atau kepala sekolahnya itu sendiri. Robert M. Kanter (1977, 181-182) menulis, bahwa para sponsor (pendukung) menyediakan tiga pelayanan penting bagi anak asuh yang dilindunginya:
1. Mereka memperjuangkan para anak asuh mereka dan membela mereka dalam pertemuan.
2. Mereka bisa memperoleh informasi dan hubungan-hubungan formal yang bebas hambatan.
3. Mereka memberikan insyarat-isyarat pada para anak asuh mereka, sejenis bias kekuasaan.
Tentu saja, ada akibat yang harus ditanggung dalam main-dukung. Jika pendukung (sponsor) itu gagal, maka anak asuh akan ada dalam bahaya, dan ada bahaya besar jika anda melawan sponsor itu atau tidak menunjukkan rasa hormat yang layak. Dukungan adalah kemauan-kemauan kekuasaan yang mudah kena serang, namun demikian, ia masih merupakan sebuah permainan kekuasaan yang sering dimainkan pada semua level yang benar-benar terdapat dalam organisasi. Kepala sekolah, wakil kepala sekolah, para guru, seketaris, semuanya bisa bermain, jika mereka bisa mendapatkan sebuah sponsor dan jika mereka ingin menyediakan sebuah pelayanan sebagai pengganti dari pembagian kekuasaan.
Permainan membangun landasan kekuasaan itu juga dimainkan di antara para kolega. Di sini ia menjadi sebuah permainan pembangunan aliansi. Mintzberg (1983, 195) menggambarkan proses terjadinya hal tersebut dengan cara sebagai berikut. Seorang individu mengembangkan sebuah hal dan mencari pendukung, atau sebuah kelompok individu yang berkepentingan pada sebuah issu mencari-cari seorang pemimpin informal yang tepat dan bisa diajak bergabung untuk mewakili posisi dan peran mereka. Dengan demikian inti dari sebuah kelompok berkepentingan sedang dibentuk Beberapa kelompok berkepentingan lenyap pada saat issu itu dipecahkan, tetapi kelompok-kelompok yang lain tetap berlangsung, karena para pemain memiliki sejumlah issu umum, mereka menjadi banyak faksi (kelompok). Group-group berkepentingan dan faksi-faksi selalu merasa kurang untuk memenangkan sebuah issu yang mereka miliki. Akibatnya mereka mendapat bantuan dari kelompok-kelompok berkepentingan atau faksi-faksi untuk memper luas landasan kekuatan mereka. Dengan demikian sebuah aliansi terbentuk. Group-group ditarik, diancam dan dirayu untuk bergabung pada aliansi. Kanter (1977, 185) mencatat, “Aliansi-aliansi sebaya selalu bekerja lewat pertukaran hadiah.. Untuk aliansi level yang lebih rendah, informasi diperdagangkan. Sedangkan untuk aliansi level yang lebih tinggi digunakan tawar-menawar dan jual beli di depan para pembentuk dan pada awal-awal kerja.” Aliansi itu terus tumbuh hingga tidak ada lagi pemain yang ingin diajak bergabung, atau hingga menguasainya, atau hingga ia lari ke aliansi lawan. Di sepanjang waktu issu-issu berlangsung kalah menang, ada sebuah perubahan bertahap tentang keanggotaan, tetapi walaupun demikian ada sebuah kestabilan mendasar dalam keanggotaan sebuah aliansi.
Permainan Membangun-Kerajaan
Permainan membangun-kerajaan adalah usaha seseorang, seringkali terjadi dalam manajemen menengah, untuk mempergunakan basis kekuasaannya dengan cara mengum pulkan para bawahan dan kelompok-kelompok. Pembangunan-istana untuk merebut wilayah kekuasaan. Dalam kebanyakan sistem sekolah, pembangunan-istana berlangsung sebagai sebuah permainan anggaran belanja. Kepala sekolah ingin sebuah pembagian anggaran belanja total itu tidak proporsional (tidak seimbang). Ada persaingan dan perseteruan di antara kepala sekolah, mereka bersaing merebut sumber-sumber langka. Mereka ingin lebih banyak guru, lebih banyak staf pendukung, lebih banyak komputer, lebih banyak kesempatan, dan lebih banyak dalam segala hal dari pada pesaing-pesaingnya. Tujuan permainan itu adalah sederhana, yaitu ingin memperoleh kesempatan seluas-luasnya bagi sekolah anda. Strategi-strategi yang dipakai berlangsung bersih dan jujur, yaitu, selalu meminta lebih dari yang anda perlukan, karena bisanya setiap permintaan akan selalu dikurangi. Semua alasan rasional yang pokok dalam permaianan ini adalah mendukung sebuah anggaran yang besar dan menekan mereka yang tidak melakukan demikian, dan selalu menggunakan habis semua anggaran untuk tahun itu, sekalipun banyak yang digunakan secara boros. Kenyata annya banyak administrator yang suka menggunakan siasat “hutang sedikit” untuk mendemonstrasikan bahwa alokasi dana yang diberikan kepada mereka tidak cukup. Ini adalah sebuah strategi berbahaya karena akan minimbulkan adanya penelitian yang cermat tentang pengeluaran anggaran belanja.
Permainan Keahlian
Keahlian adalah basis lain untuk membangun kekuasaan. Permainan keahlian seringkali dimainkan oleh para profesional yang benar-benar bisa mengembangkan keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan oleh organisasi itu. Mereka memainkan permainan-kekuasaan itu secara agresif dengan cara mengekpoitasi pengetahuan mereka hingga ke batas puncak. Mereka menggunakan kelangkaan dan pentingnya bakat-bakat yang dimiliki oleh mereka sebaik mungkin untuk menekan ketidak-mampuan organisasi untuk menggantikan mereka. Pada saat yang sama, mereka berusaha dengan gigih melindungi kelangka an keterampilan dan bakat-bakat mereka dengan cara meya kinkan secara rasional untuk mengecilkan hati terhadap banyak usaha lain. Adakalanya, seorang guru master akan mengembangkan sebuah reputasi di sebuah wilayah seba gai seorang guru yang benar-benar terkemuka. Seorang guru tertentu memiliki keunggulan dalam mengembangkan sebu ah basis kekuasaan tidak hanya melalui keahlian tetapi juga hal memainkan permainan aliansi dan pendukungan. Selanjutnya, kepala sekolah yang menampilkan keterampi lan-keterampilan administratif dan kepemimpinan yang langka dapat menggunakan kekuasaannya sebagai sebuah basis untuk bergabung dalam permainan aliansi dan pembangunan-kerajaan sebagaimana juga bisa mengguna kannya dalam permainan pendukungan. Tentu saja, para kepala sekolah yang berhasil dalam membangun sebuah dasar kekuasaan yang kuat akan menjadi kandidat yang kuat untuk menjadi pengawas (penilik).
Permainan Pengkultusan
Yang terakhir dari permainan pembangunan-kekuasaan adalah “pengkultusan”. Mereka yang memiliki kekuasaan legitimate (yang sah) mengkultuskan kekuasaan mereka kepada mereka yang menjadi bawahannya, dan karena itu mengeksploitasi mereka dengan cara-cara yang tidak sah. Orang-orang yang memiliki kekuasaan terbatas berusaha melakukan permainan pengkultusan. Kanter (1977, 189) menyatakan, “Ketika praktek kekuasaan seseorang dihalangi atau dirintangi, ketika orang-orang diberi kekuasaan kecil dalam area yang luas, mereka cendrung mengkonsentrasikan kebutuhan-kebutuhan kekuasaan mereka pada mereka yang memiliki otoritas kecil yang sejajar.” Guru-guru yang frustrasi karena kepala sekolah yang otoriter dan beban kekuatan kontrol birokratis yang terlalu banyak bisa melampiaskan pengawasan ke bawah, kepada para siswa, menampakkan bahwa mereka juga bisa meneggangkan kekuasaan mereka sebagai boss bagi kalangan siswa-siswa mereka. Demikian juga, kepala sekolah yang ditekan dengan kepalan tangan besi oleh penilik sekolah bisa berusaha untuk mengkultuskan kekuasaan itu kepada seluruh guru. Walaupun perilaku tertentu bisa memberikan perasaan berkuasa atas beberapa orang kepada para pemain, tetapi tidak mungkin untuk bisa membangun sebuah basis kekuasaan yang sebenarnya.
Permainan Garis Struktural dan Staf
Juga ada beberapa permainan untuk mengalahkan para pesaing. Permainan “garis struktural dan staf” adalah sebuah konfrontasi klasik antara para manajer dalam struktur kelas menengah yang memiliki otoritas formal, dengan para penasehat staf yang memiliki keahlian khusus. Di sekolah yang demikian itu seringkali terjadi antara kepala sekolah dengan koordinator kurkurikulum suatu wilayah. Koordi nator kurikulum melaporkan secara langsung kepada peni lik kemudian menindaklanjutinya kepada kepala sekolah. Dalam beberapa hal, para pemain itu adalah teman setaraf. Sasaran permainan itu adalah mengawasi perilaku di sekolah. Koordinator kurikulum itu adalah seorang ahli, sedangkan kepala sekolah adalah seorang yang memiliki otoritas formal. Permainan terjadi antara pemegang otoritas formal secara struktural melawan pemegang otoritas keahlian yang bersifat informal. Peperangan terjadi di sepanjang issu tentang perubahan. Staf tertarik dengan perubahan dan pengembangan. Koordinator kurikulum menginginkan perubahan-perubahan dalam kurikulum. Tetapi perubahan seringkali memunculkan konflik dan kericuhan. Para kepala sekolah sebagai administrator struk tural bertanggung jawab terhadap kelancaran jalannya organisasi. Para kepala sekolah relatif lebih menyukai stabilitas. Garis-garis perang itu tergambar dengan jelas. Penilik ingin sekali mengembangkan, tetapi seringkali tidak ada pemecahan yang sederhana sebagai sebuah kelompok dalam permainan itu untuk mengembangkan keadaan yang diharapkan dan untuk memobilisasi sekutu-sekutu politisnya.
Permainan Partai-partai Saingan
Permainan partai-partai saingan terjadi jika ada dua sekutu dan hanya ada dua, saling berhadapan. Pada umumnya permainan-permaianan itu berlangsung keji, terutama pada saat semua knop sudah ditekan dan pada saat dimana hanya ada dua kemungkinan: kalah atau menang. Permainan bisa terjadi antara dua personel, antara dua unit, atau antara kekuatan-kekuatan yang menyukai stabilitas dan perubahan. Misalnya, perubahan sudah diajukan. Dalam keadaan semacam itu organisasi pecah menjadi dua faksi: pendukung pembaharuan dan pendukung hal lama. Secara normal, peperangan itu diselesaikan dan terus digerakkan oleh kelompok yang menang. Tetapi ada kalanya tak ada satu kelompokpun yang menang secara meyakinkan. Sekolah dalam keadaan semacam itu pada umumnya menyeim bangkan antara keinginan-keinginan yang mendukung keterampilan dasar pengajaran yang tradisional dengan keinginan-keinginan yang mendukung pengemba ngan emosional dan sosial yang progresif. Karena itu selama masa penyeimbangan itu kadangkala terjadi perubahan dari satu cara ke cara yang lain, pada saat itulah peperangan berlangsung kembali. Pada akhirnya sebuah permainan akhir dirancang untuk merubah organisasi itu. Permainan Calon-calon Strategis bisa saja saat itu dimainkan oleh seseorang dalam organisasi.
Permaianan Calon-calon Strategis
Seperti disebutkan, bahwa permainan ini lahir dari sebuah idea perubahan organisasi, setelah persaingan melahirkan konsep penyeimbangan, namun penyeimbangan kemudian sulit dilakukan. Permainan ini bisa dimainkan oleh seseorang atau kelompok yang sedang mencari sebuah perubahan yang strategis, dengan menggunakan sistem-sistem otoritas yang sah untuk mengajukan sebuah proposal atau proyeknya. Inilah yang dimaksud dengan “Calon Strategis.” Mereka yang sukses berinisiatif melakukan sebuah perubahan penting akan menggaet sejumlah besar kekuasaan yang ada dalam organisasi itu. Pada saat banyak ketetapan-ketetapan strategis disusun dengan cara-cara yang secara fudamental tidak mematuhi aturan-aturan struktural, mereka mengundang seorang ahli yang pandai memenangkan dengan cara-cara politis, sebagai sekutu dan faksi baru yang bertugas memenangkan perkara mereka. Itulah calon atau kandidat untuk melakukan perubahan itu (Mintzberg, Raisinghani dan Theoret, 1976). Permainan Calon-calon Strategis mengkombinasikan elemen-elemen kebanyakan jenis permainan lain. Mintzberg (1983, 206) menggambarkan prosesnya sebagai berikut:
Calon-calon Strategis seringkali muncul dalam suasana ada keinginan membangun kekuasaan, dan calon-calon strategis itu mengajak sekutu-sekutu; para pesaing seringkali muncul dari tengah-tengah antara staf dan pemimpin struktural, atau antara partai-partai pesaing selama permainan itu berlangsung; keahlian dalam permainan itu diekploitasi dan otoritas “dikultuskan” kepada semua tanpa kecuali; dan kadangkala kekacauan terjadi karena memang sengaja dibuat dan seluruhnya bisa dikonter; soal rencana anggaran belanja modal yang seringkali digunakan sebagai alat oleh para calon strategis dengan sengaja dimuncul kan; dan dukungan (sponsorship) seringkali merupakan sebuah kunci meraih sukses dalam permainan ini.
Permainan Hembusan-Siul
Permainan Hembusan-Siul secara umum terjadi di semua organisasi. Ia dirancang dengan menggunakan “informasi dari dalam” tentang sebagian perilaku yang dipercayai oleh orang sebagai melanggar sebuah norma penting atau bahkan melanggar hukum. Sang pemain “menghembuskan siul” dengan cara menginformasikan kepada otoritas eksternal tentang kecurangan permainan. Selama pemberi informasi itu mengelak dari saluran-saluran kontrol yang sah dan orang yang diinformasikan melakukan pembalasan, pemain itu secara lihai berusaha menjaga hubungan secara rahasia. Misalnya, mungkin saja cerita itu dipublikasikan oleh surat kabar dari sumber yang tidak disebut identitasnya. Hembusan Siul seringkali kemudian menjadi sebuah kejujuran terbuka yang dramatik manakala informasi yang dihembuskan menyebabkan terjadinya perubahan dalam organisasi. Tetapi perlu diketahui, permainan ini besar resikonya. Para penghembus siul itu biasanya selalu tidak dipuji.
Permainan Orang-orang Turki Muda
Barangkali permainan yang paling intensif adalah “Permainan Orang-orang Turki Muda” (Young Turks Game); Taruhannya tinggi. Tujuannya bukan perubahan yang sederhana atau bukan perubahan untuk mengkonter otoritas, tetapi mirip dengan “usaha mempengaruhi sebuah perubahan yang begitu sangat fondamental, yaitu melempar penguasa yang sah ke dalam sebuah masalah” (Mintzberg, 1983, 210) Permainan Orang-orang Turki Muda menantang kekuatan organisasi yang mendasar dengan cara mencoba menggulingkan missinya dan mengganti sisi-sisi utama keahliannya, menempatkan cita-cita dasarnya, atau bahkan menggulingkan kepemimpinannya. Ini adalah tindakan pendurhakaan yang umum, dan akibat-akibat yang ditimbulkan semuanya berlangsung keras. Perubahan kurikulum salah satu kesempatan di sekolah yang sering digunakan untuk memainkan Permainan Orang-orang Turki Muda. Aliansi-aliansi dikembangkan dan bentrokan dalam bentuk sebuah perjuangan intensif terjadi dalam dua kelompok guru dan staf, para manajer menempatkan diri dalam salah partai pesaing, salah satunya mendukung atau melawan perubahan itu. Jika penguasa yang sah yang ada menyerah kepada Orang-orang Turki Muda, maka para pendukung stabilitas tak akan pernah menduduki jabatan yang sama, tentu saja organisasi itu secara harfiyah tidak akan bisa tetap sama, selama hal Orang-orang Turki Muda sungguh-sungguh mengambil alih kepemimpinan. Di sisi lain, jika Orang-orang Turki Muda kalah, mereka akan diperlemah secara terus menerus. Dan karena itu mereka seringkali meninggalkan organisasi. Permainan ini seringkali merupakan permainan tuntas, menang tuntas atau kalah total sama sekali.
Sistem permainan-permainan politik dari Mintzberg ini secara singkat terdapat dalam Tabel 4.3. Sebenarnya tidak ada literatur riset yang menguji hubungan-hubungan antara permainan-permainan politik, tetapi ada sejumlah penelitian terhadap organisasi-organisasi non-pendidikan yang barang kali masuk ke dalam permainan-permainan politik yang spesifik, yang secara umum dimainkan (Kanter, 1977; Zald dan Berger, 1978). Memang ada sedikit keraguan, namun bagaimanapun banyak permainan terjadi di organisasi sekolah. Bagaimanapun sistem politik kadangkala muncul berdampingan dengan keinginan-keinginan pemegang otoritas yang sah yang tidak menguasainya. Dalam ungkapan Mintzberg (1983, 217), “Di sini sistem politik namun mencakup sejumlah permainan politik yang ringan, beberapa di antaranya banyak yang menggunakan sistem-sistem mempengaruhi yang sah, dalam proses itu ia benar-benar memperkuat sistem-sistem mempengaruhi itu, sementara yang lain memperlemahnya, tetapi biasanya hanya untuk satu maksud, dan karenanya permainan politik tetap dalam skala wajar atau skala kekuatan menengah.
TABEL 4.3 Ringkasan Permainan-permainan Politik
Permainan | Tujuan | Pemain Utama |
Pengacauan/Pemberontakan | Menentang pemegang otoritas | Para manajer atau administrator/guru/staf |
Mengkonter Pemberontakan | Mengkonter perlawanan terhadap pemegang otoritas | Para administrator atau manajer |
Dukungan | Membangun dasar kekuasaan | Para administrator atau manajer/guru yang naik ke atas |
Membangun aliansi | Membangun dasar kekuasaan | Para manajer atau adminsitrator/guru |
Membangun kerajaan | Membangun dasar kekuasaan | Para manajer atau administrator |
Pembuatan Anggaran Belanja | Membangun dasar kekuasaan | Para administrator atau manajer |
Keahlian | Membangun dasar kekuasaan | Para administrator atau manajer/guru |
Pengkultusan | Membangun dasar kekuasaan | Para manajer atau administrator/guru |
Garis struktural versus staff | Mengalahkan para pesaing | Para manajer atau administrator/staf |
Partai-partai pesaing | Mengalahkan para pesaing | Para manajer atau administrator /guru |
Calon-calon strategis | Memproduksi perubahan | Para manajer atau administrator/guru |
Menghembuskan Siul | Memproduksi perubahan | Para manajer atau administrator/guru/staf |
Orang-orang Turki Muda | Memproduksi perubahan | Para manajer atau administrator/guru |
Manajemen Konflik
Bila kekuasaan dan politik-politik keorganisasian dipastikan memproduk konflik, maka kami akan mencoba menyimpulkan analisis kami tentang kekuasaan beserta manajemen konflik dalam bentuk pembahasan singkat. Para manajer atau administrator selalu dihadapkan dengan pertentangan klasik antara kebutuhan-kebutuhan individual melawan kebutuhan-kebutuhan organisasi. Akibatnya, mereka menggunakan sejumlah kesempatan yang penting untuk menengahi konflik. Kenneth Thomas (1976) menyajikan sebuah tipologi yang berguna untuk menguji lima tipe manajemen konflik. Dia memperkenalkan dua dimensi mendasar tentang perilaku, yang bisa melahirkan konflik: usaha memuaskan kepentingan satu pihak (tuntutan-tuntutan keorganisasian dari sudut kepentingan para adminsitartor) dan usaha-usaha untuk memuaskan kepentingan pihak lainnya (kebutuhan-kebutuhan individual dari sudut kepentingan para anggota). Usaha untuk memuaskan tuntutan-tuntutan keorganisasian bisa diperhatikan secara terus menerus dalam gerak garis kontinum dari yang bersifat tegas hingga tidak tegas, sementara itu usaha memuaskan kebutuhan-kebutuhan idividual bisa dikonsepsikan berangkat dari yang bersifat nonkooperatif hingga ke kooperatif. Gambar 4.4 menunjukkan lima gaya manajemen konflik yang digambarkan secara umum.
Gaya Menghindar (avoiding type) bersifat tidak tegas dan nonkooperatif. Di sini administrator menggagalkan konflik, dengan berharap mereka yang konflik akan sembuh sendiri. Semua masalah secara remeh diambangkan. Ketika masalah-masalah itu dipertimbangkan, prosedur-prosedur diulur. Prosedur yang diulur digunakan untuk melumpuhkan konflik itu dan perahasiaan digunakan sebagai alat untuk menghindari konfrontasi. Administrator itu selalu akan kembali pada aturan-aturan birokrasi untuk memecahkan konflik tersebut.
Gaya Kompromi (compromising style) adalah menyeimbangkan antara kebutuhan organisasi dan kebutuhan individual. Fokus gaya ini adalah melakukan negosiasi, mencari jalan tengah, trade-offs, dan mencari pemecahan-pemecahan yang memuaskan, atau yang bisa diterima kedua belah pihak.
Gaya Bersaing (competitive style). Penggunaan gaya bersaing menciptakan situasi-situasi “kalah-menang”. Manajer atau administrator bersikap tegas dan nonkooperatif dalam usahanya memecahkan konflik. Dalam banyak hal gaya bersaing memproduk persaingan, dengan sasaran bagaimana tujuan dicapai dengan cara biaya dari orang lain. Kekuasaan digunakan untuk untuk mencapai kepatuhan, atau untuk menang.
Gaya akomadatif (accommodating style) tidak tegas dan kooperatif. Manajer atau administrator itu memenuhi suluruh tuntutan bawahan. Gaya ini merupakan sebuah pendekatan manut dan selalu mengalah.
Gaya Kerja Sama (Collaborating Style) tegas dan kooperatif. Gaya ini merupakan sebuah pendekatan pemecahan masalah. Problem dan konflik dipandang sebagai tantangan. Semua perbedaan dikonfrontasikan, dan semua idea dan informasi ditawarkan secara bebas, dilakukan sharing. Ada sebuah usaha yang diselenggarakan bersama untuk mendapatkan pemecahan-pemecahan menyeluruh. Dalam gaya ini semua pihak menang.
Gambar 4.4 Gaya-gaya Manajemen Konflik
Tegas
Gaya Bersaing Gaya Kerja Sama
| |||
Gaya Menghindar Gaya Akomodatif
Tidak tegas
Non Kooperatif Usaha Memuaskan Kebutuhan Individu Kooperatif
Thomas (1977) berpendapat, masing-masing dari lima gaya itu akan menjadi efektif, tergantung pada situasi. Dalam kenyataan, dengan menggunakan data yang dikumpulkan dari sekelompok pimpinan eksekutif, ia menyocokkan lima gaya manajemen konflik itu dengan situasi yang pas, sebagai berikut:
Gaya Bersaing:
- Ketika tindakan cepat dan menentukan sangat penting, seperti tindakan emergensi atau darurat.
- Ketika issu-issu kritis menuntut aksi yang tak populer, seperti pemotongan beaya.
- Ketika issu-issu itu sangat vital bagi organisasi.
- Melawan orang-orang yang tidak jujur mengambil keuntungan dari orang-orang lain.
Gaya Kerjasama:
- Ketika dua kepentingan sama-sama sangat penting dan tidak bisa tidak hanya pemecahan pemaduan yang bisa diterima, sementara itu kompromi dipandang tidak memuaskan. .
- Ketika tujuannya untuk belajar.
- Untuk mengintegrasikan pandangan orang-orang yang memiliki cara pandang yang berbeda.
- Kalau konsensus dan komitmen sangat penting.
- Untuk menghilangkan perasaan-perasaan yang tidak sehat yang menghambat terjadinya hubungan-hubungan..
Gaya Kompromi:
- Ketika sasaran-sasarannya penting, tetapi tidak membuang-buang usaha atau bukan yang berpotensi melahirkan kekacauan, seperti yang lahir dari tindakan memaksa.
- Ketika ada sebuah “angka sama” (kekuatan seimbang=ptj)
- Untuk meraih penyelesaian temporer bagi problem-problem yang rumit.
- Untuk mempercepat tindakan, ketika waktu dipandang penting.
- Ketika kerjasama dan penyaingan gagal.
Gaya Menghindar:
- Ketika issunya bersifat sepele atau remeh.
- Ketika biayanya lebih besar dari keuntungan-keuntungan yang diperoleh dengan jalan pemecahan.
- Untuk membiarkan situasi mendingin (colling down).
- Ketika memperoleh informasi yang lebih banyak sangat diperlukan.
- Ketika orang-orang lain bisa memecahkan masalah itu secara lebih efektif.
- Ketika masalah yang muncul hanyalah sinyal bukan sebab yang sebenarnya.
Gaya Akomodatif:
- Jika kamu merasa melakukan sebuah kesalahan.
- Jika issu-issu itu lebih penting bagi orang-orang lain.
- Jika dimaksudkan untuk membangun kemauan baik terhadap hal-hal yang lebih penting.
- Untuk mengurangi kerugian-kerugian, ketika kekalahan sudah dapat dipastikan.
- Ketika keharmonisan dan stabilitas menjadi sangat penting.
- Bila mengikuti bawahan dianggap sebagai sebuah kesempatan untuk belajar dari kesalahan-kesalahan mereka.
Sejalan dengan banyaknya hal, maka tidak ada satu cara terbaik untuk memanaj konflik. Apakah manajemen konflik yang berhasil serupa dengan menyocokkan gaya secara hati-hati dengan situasi, adalah sebuah topik yang akan kita bahas kembali dalam pembicaraan kita tentang kepemimpinan (Seri 9).
RINGKASAN
Kekuasaan adalah elemen dasar kehidupan organisasi. Ia bisa legitimate (sah) dan diterima secara suka rela oleh bawahan, atau bisa berupa paksaan, tidak legitimate dan dilawan oleh bawahan. Analisis kita dimulai dengan pelaksanaan kekuasaan dan otoritas (wewenang) yang legitimate. Weber dengan mendasarkan pada sumber legitimasi mengindentifikasi tiga tipe otoritas: tipe kharisma, tipe tradisi dan tipe hukum. Peabody memperluas gagasan itu dengan cara membedakan otoritas yang berdasarkan pada otoritas formal (yang berupa legitimasi dan posisi), dari otoritas yang berdasarkan otoritas fungsional (yang berupa keterampilan pribadi dan keterampilan human relation). Terakhir Blau dan Scoot menyederhanakan fondasi kekuasaan legitimate dalam organisasi dengan cara membagi otoritas menjadi dua: formal dan informal.
Berikutnya, sebuah analisis umum tentang kekuasaan yang dilakukan dengan cara menggunakan dasar-dasar kekuasaan interpersonal dari French dan Raven, yaitu penghargaan (reward), paksaan (coersion), pengesahan (legitimacy), referensi, dan keahlian (expertise). Selanjutnya bingkai kerja Rench dan Raven itu diperluas ke level keorganisasian. Mintzberg menyajikan sebuah pandangan alternatif mengenai kekuasaan. Ia menggambarkan empat sistem kekuasaan: otoritas, ideologi, keahlian dan politik. Pandangan yang paling komprehensif tentang kekuasaan, bagaimanapun adalah analisis Etzioni mengenai kesetiaan (compliance). Konsep kesetiaan tidak saja merupakan dasar tipologi hubungan-hubungan kekuasaan, tetapi juga merupakan sebuah teori deret-tengah organisasi (a middle-range theory of organization). Sekolah secara keseluruhan adalah tipe organisasi normatif, walaupun pada saat yang sama harus menggunakan paksaan.
Masing-masing formulasi otoritas dan kekuasaan ini masih mengandung sebuah perbedaan pandangan tentang pelaksanaan kontrol keorganisasian, dalam hal ini hanya Mintzberg yang menggali sistem politik. Politik adalah fakta kehidupan keorganisasian, yang telah pasti menggelar taktik, permainan dan konflik. Taktik-taktik politik adalah dasar dari sebuah sistem permainan-permainan politik yang dimainkan untuk menentang otoritas, untuk mengkonter penentangan, untuk membangun dasar-dasar kekuasaan, untuk menaklukkan lawan, dan untuk mengganti organisasi. Sistem politik itu secara khas hidup berdampingan dengan sistem-sistem pengaruh yang lebih legitimate dengan tanpa menguasai sistem-sistem pengaruh yang lebih legitimate itu. Tetapi kekuasaan dan politik membangkitkan konflik. Jadi analisis kita meliputi sebuah model manajemen konflik.
DAFTAR RUJUKAN
Ary, Donald, 1985, Introduction Research in Education, New York, Holf Renehart and Winston.
Atkinson, John, W., and Raymor, O. Joel, 1968, International Ecyclopedia of the Social Sciences, New York, Macmillan Company and the Free Press.
Blau, Peter M dan W. Richard Scott, 1962, Formal Organizations: A Comaparative Approach, San Franscisco, Chandler.
Blau, Peter M., 1955, The Dynamics Bureacracy, Chicago, University of Chicago Press.
Chaplin, James, P. 1989, Kamus Lengkap Psikologi, Terj. Kartini Kartono, Jakarta, Rajawali.
Cochran, William, G., 1974, Sampling Technique, New Delhi, Eastern Private Limited.
Combs, A.W., 1962, Perceiving, Behaving, Becoming, Washington D.C., A Departement of The National Education.
Cusich, Philip A., 1981 “A Study of Networks among Professional Staffs in Secondary Schools,” Educational administration Quarterly, 17, 114-138.
Davis, Keth dan John Philip R. Newman , 1996, Perilaku Dalam Organisasi, Terjemahan Agus Dharma, Jakarta, Erlangga.
Newman, R. Philip, 1993, Psychology, Homewood, Illinois, The Dorsey Press. .
Etzioni, Amitai, 1975, “Two Approaches to Organizational Analysis: A Critique and Suggestion.” Admnistrative Science Quarterly 5 : 257-278.
Filley, Alan, Robert House dan Steven Kerr, 1976, Managerial Process and Organizational Behavior, Glenview, IL. Scott, Foresman.
French, John, R. P. dan Bertram H. Raven, 1968, “Bases of Social Power,” in Group Dynamics: Research and Theory, Darwin Cartwright dan Alvin Zander (ed), 259-270, New York, Harper & Row.
Grenne, Charles N.dan Philip M. Podsakoff, 1981, “Effects of Withdrawal of a Performance Contingent Reward of Supervisory Influence and Power, Academy of Management Journal 24, 527-542.
Gross, Edward dan Amitai Etzioni, 1985, Organization in Society, Englewood Cliffs, NJ: Pretice-Hall.
Hall, J. E. Hass dan Norman Johnson, 1967, “An Examination of The Blau-Scott and Etzioni Typologies”, Administrative Science Quarterly 12, 118-138.
Hersey, Paul dan Kenneth Blanchard, 1978, Management of Organizational Behavior Utilizing Human Resources, ed. 4th ed. , New Delhi, Prentice-Hall of India Private Limitted.
Hersey, Paul dan Kenneth Blanchard, 1977, Management of Organizational Behavior Utilizing Human Resources, 3rd ed., New Delhi, Prentice-Hall of India Private Limitted
Hoy, Wayne K., dan Cecil G. Miskel, 1991, Educaional Administration: Theory, Research, and Practice, New York: Random House.
Hoy, Wayne dan James E. Henderson, 1983, “Principle Authenticity, School Climate and Pupil-Control Orientation, “ Alberta Journal of Educational Research 2, 123-130
Hoy, Wayne dan Richard Rees, 1974, “Subordinate Loyalty to Immediate Superior: A Neglected Concept in the Study of Educational Administration”, Sociology of Education 47, 268-286.
Hoy, Wayne dan Leonard B. William, 1971, “Loyalty to Immediate Superior at Alternate Levels in Public Schools, Educational Administration Quarterly 7, 1-11.
Hubber, V. L.,1981, The Source, “Uses and Consevation of Managerial Power”, Personnel 51, 66-67.
Isaacon, Gerald, 1983, Leadership Behavior and Loyalty, Ed. D. diss, Rutgers University.
Kotter, John P. 1978.Organizational Dynamic, Reading, MA: Addison-Wesley.
Lucio, William H., dan John D. McNell, 1979, Supervision in Thought and Action, New York, McGraw Hill Company
March dan Herbert Simon, 1958, Organizations, New York: Wiley,
McCleland, David C., 1953, The Achievement Motive, New York, Apleton Century Crofts Inc.
McCleland, David C.,1961, The Achieving Society, New Jersey, Princeton D. Van Nostrand Co.
McCleland, 1966, ‘Toward a Theory of Motive Acquisition”, American Psychologist 20, 321-333.
Mentberg, 1983, Power In and Around Organization, Englewood Clifs, NJ, Printice Hall.
Merton, Robert, 1957, Social Theory and Social Structure, New York: Free Press,
Mouly, George F., 1977, Psychology of Effective Teaching, New York, Harper and Rew Publisher.
Mullins, Toni, 1983, “Relationships among Teachers’ Perception of the Principle’s Style: Teacher’s Loyalty to the Principal and Teacher’s Zone of Acceptance”, Ed. D. Diss., Rutgers University.
Murray, V.V. dan Allen F. Corenblum, 1966, “Loyalty to Immediate Superior at Alternative Levels in Bureaucracy”, American Journal of Sociology 62, 77-85.
Peabody, Robert L., 1962, “Perception of Organizational Authority: A Comparative Analysis,” Administrative Science Quarterly 6: 563-482.
Sartain, A.Q., 1981, Psychology: Understanding Human Behavior, McGraw-Hill Book Company Inc.
Simon, Herbert A. , 1957, Administrative Behavior, 2nd ed., 126-127, New York, Macmillan.
Van, Dalen, Deobold, B., 1976, Understanding Educational Research, New York, McGraw Hill Book Company.
Weber, Max, 1947, The Theory of Social and Economic Organization, Talcott Parsons (ed), A.M. Henderson dan Talcott Parsons (penterjemah), New York: Free Press.
Yukl, Gary A1981., Leadership in Organization, Englewood Cliff, NJ: Prentice-Hall,.
Zalkind, Sheldon, 1983, S., dan Timoty W. Castello, Educational Administration and the Behavioral Science: A. System Perspective, Boston, Alyn and Bacon.
DAFTAR ISI
PENGANTAR…………………………………………………..……02
WEWENANG (OTORITAS) ……………………………..……...….03
à Tipe-tipe Otoritas ………………………………………….05
· Otoritas Tradisional ……………………………… 06
· Oritas Legal………………………………………...06
· Otoritas Fungsional…………………………………07
à Otoritas dan Perilaku Administratif di Sekolah………..…. 08
à Loyalitas Bawahan kepada Atasan………………………..… 09
à Model Administratif dan Loyalitas………………………….. 10
SUMBER KEKUASAAN………………………………………… .. 14
à Kekuasaan Lewat Penghargaan (Reward Power)……. . … 16
à Kekuasaan Lewat Pemaksaan (Coercive Power)…. . …… 16
à Kekuasaan Lewat Legitimasi (Legitimate Power)…………18
à Kekuasaan Lewat Referensi (Referent Power)…………… 19
à Kekuasaan Lewat Keahlian (Expert Power)……………… 19
KEGUNAAN KEKUASAAN SECARA ADMINIS……….………
TRATIF………………………………………….. ………….. 21
TIPOLOGI KEKUASAAN MINTZBERG …………………………26
à Sistem Otoritas……………………………………………. 28
à Sistem Ideologi……………………………………..…….. 29
à Sistem Keahlian……………………………………………29
à Sistem Politik………………………………………………30
à Sistem Ideologi……………………………………………. 31
TIPOL OGI KEKUASAAN DARI ETZIONI ……………………… 33
à Coerceive power………………………………………….. 33
à Remunerative power……………………………………… 33
à Normative power…………………………………………..33
à Coercive Organization …………………………………….36
à Utilitarian Organizations ………………………………….36
à Normative Organization……………………………………37
SEBUAH PERBANDINGAN ……………………………………….38
PERMAINAN POLITIK KEORGANISASIAN……………………. 39
à Taktik-taktik Politik………………………………………. 41
· Mengambil muka …………………………………. 41
· Jaringan Kerja (Networking)………………………. 42
· Manajemen Informasi …………………………….. 42
· Manajemen Kesan ……………………….……….. 43
PERMAINAN-PERMAINAN POLITIK…………………………… 44
à Permainan Berupa Pemberontakan…………………………. 45
à Permainan Membangun-Kekuasaan: ……………………. 47
à Permainan Membangun Landasan Kekuasaan…………… 48
à Permainan membangun Aliansi……………………………48
à Permainan Membangun-Kerajaan………………………….. 49
à Permainan Keahlian…………………………………………… 51
à Permainan Pengkultusan……………………………………… 52
à Permainan Garis Struktural dan Staf……………………….. 52
à Permainan Partai-partai Saingan…………………………… 53
à Permaianan Calon-calon Strategis ………………………… 54
à Permainan Hembusan-Siul…………………………………… 55
à Permainan Orang-orang Turki Muda………………………. 56
MANAJEMEN KONFLIK………………………………………….. 58
à Gaya Menghindar (Avoiding Style)……………………….. 59
à Gaya Kompromi (Compromising Style)………………….. 60
à Gaya Bersaing (Competitive Style)………………………… 60
à Gaya akomadatif (Accommodating Style) ………………… 60
à Gaya Kerja Sama (Collaborating Style)……………………. 60
RINGKASAN…………………………………………………………. 63
DAFTAR RUJUKAN ………………………………………………… 66
0 komentar:
Posting Komentar