Bagi yang ingin berkonsultasi dengan penulis silahkan klik di sini

REORIENTASI PENGEMBANGAN MADRASAH

Minggu, 06 Februari 2011

Oleh: H. Drs. Syarqawi Dhofir M.Pd.

  1. Deskrispsi Singkat Keadaan Madrasah

Hanya sedikit madrasah yang dikelola oleh Pemerintah dan organisasi ke-islam-an. Kebanyakan dimiliki oleh keluarga kiai. Walaupun di setiap keluarga pemilik madrasah itu berdiri  yayasan dan badan hukum lainnya tapi tak fungsional. Eksistensinya sekedar memenuhi kebutuhan persyaratan formal legal, lebih-lebih bila bersentuhan dengan urusan birokrasi di pemerintahan. Kepemilikan demikian, menjadikan madrasah sebagai asset yang diwariskan kepada banyak keturunan kiai. Kasus tanah masjid dibagi-bagi, lokasi madrasah dikelompok-kelompokkan dan lainnya telah kerap terjadi di lingkungan di dunia madrasah.  Ada resiko lain dari keadaan semacam itu, partisipasi masyarakat berkurang, dan kepercayaan masyarakat menipis. Padahal kemajuan sebuah amat bergantung pada besarnya partisipasi komunitaspendukungnya.  

Kekuasan atas madrasah lebih banyak bersumber dari hereditas (keturunan, nasab) dan refernsi (tetesan wibawa leluhur) , bukan expertice (keahlian). Kalau pengelola secara kebetulan memiliki keahlian, maka madarasah dapat beroperasi dan berkembang layak. Bila tidak, maka akan terjadi sebaliknya. Akibatnya kemajuan madarasah lebih dideteminasi oleh “permainan judi nasib”, bukan oleh “ibadah ikhtiyar yang sistemik”. Resiko yang ditanggung dan harus dibayar adalah “kemanjaan prilaku” keluarga kiai. Oleh masyarakat tradisonal yang tertutup di tempo dulu, kemanjaan prilaku semacam itu masih dimakfu dan ditoleransi, bahkan disikapi dengan sikap yang respektif. Tapi di zaman sekarang bila tetesan wibawa ternyata tak merefleksikan charisma seperti  leluhurnya, maka lambat laut kepercayaan itu menipis dan akhirnya menimbulkan sikap kontraproduktif.

Kaderisasi kepemimpinan madrasah lebih tertutup, hanya berlaku dalam lingkaran keluarga. Keadaan demikian menutup peluang bibit-bibit unggul yang dilahirkan oleh komunitas madrasah. Biasanya kebijakan kaderisasi diambil dan dikuasai oleh kiai dalam kapasitasnya sebagai “ayah” bukan  “manajer” atau leader madrasah. Manajemen madrasah pada gilirannya mengekspresikan prilaku manajamen one man show, bukan perilaku yang mencerminkan kekuatan yang dari lahir dari kearifan kelompok. Kalau kebetulan kiai itu cukup kuat, maka refleksi yang terpantulkan adalah sikap diam yang pada gilirannya melahirkan “massa yang diam”, tetapi tak menutup kemungkinan meledak menjadi dari protes hingga demonstrasi.

Kurikulum madrasah sejak SKB tiga mentri zaman Daud Yusuf hingga sekarang tak mengalami perubahan prinsip kecuali memberi peluang berupa kurlok (kurikulum lokal). Madrasah dengan komposisi kurikulum yang ada sekarang menempatkan diri sebagai sekolah yang kurang jelas bentuknya atau mungkin tanpa bentuk. Apakah madrasah itu sekolah kejuruan atau sekolah umum. Dalam banyak ujian yang dislenggarakan secaranasional, lebih bila berkaitan dengan ujian masuk perguruan tinggi, standar tes yang didigunakan adalah sekolah umum. Bisakah bersaing ? Kalau ada satu dua murid atau siswa yang mampu bersaing, itu hanyalah informasi kasus, bukan produk dari sebuah kurikulum. Belum lagi dipersoalkan pada masalah prototype produk yang diinginkan, apakah kurikulum itu mampu menciptakan prototype  produk itu untuk pencapaian tujuan institusionalnya? Atau malah belum punya deskripsi riil tentang profil alumninya ?  

Jumlah madrasah di pedesaan melampaui jumlah sumber inputnya. Tidak heran bila madrasah tertentu memiliki murid dan siswa yang kecil. Kalau saja manajemen proses pendidikan berlangsung baik, sudah tentu situasi itu,  menjadi peluang yang sangat baik untuk melahirkan kualitas. Situasi empirik yang ada justru melukiskan keadaan yang sebaliknya. Persaingan merebut calon murid yang tak sehat, laporan jumlah murid yang palsu hanya sekedar memperoleh dana BOS yang lebih besar, ketidakberdayaan mensejahterakan guru dan karyawan, dan lainnya. Yang demikian  terjadi karena banyak keturunan  kiai setelah kiai sepuh meninggal mendirikan madarasah baru secara berdekatan di lingkungan kharisma ayahnya, dan tidak memilih kerja sama membangun kekuatan yang lebuh besar.  

Mayoritas guru madrsah menjadikan pekerjaan keguruannya hanyalah sebagai sambilan, bukan pekerjaan utama, apalagi profesi yang professional. Ada yang sekedaar balas jasa kepada kiai, ada karena tetangga madrasah, ada pula yang sekedar mencari tambahan penghasilan. Pendek kata, rata-rata tak memiliki motivasi professional yang diperlukani  seorang mujahid tarbiyah (pejuang di bidang pendidikan). Masalah keguruan di madrasah hanya selalu bergelut pada soal-soal kerajinan guru mengajar. Sudah soal kerajian guru mengajar adalah soal penting, tapi masalah demikian mestinya dialami oleh sekolah-sekolah yang baru satu dua tahun berdiri, bukan oleh madarasah yang sudah berusia puluhan tahun. Kompetensi, sifat dan watak keguruan, pengembangan kepribadian dan keahlian guru, peningkatan kesejahteraan, kesiapan dan persiapan guru, dan banyak lainnya masih merupakan sesuatu yang elit di madrasah.

Lingkungan sosial madrasah, rata-rata masyarakat pedesaan yang sangat minus sarana penunjang yang bisa ikut mengambil bagian dalam pengembangan kualitas pendidikan madrasah. Baik dukungan financial dan sarana, idea dan pemikiran, kemampuan menghubungkan kepentingan madrasah dengan dunia lain, tenaga terampil, maupun kemampuan mengontrol madrasah. Lima hal sangat penting dimiliki oleh komunitas madrasah.  

Dan masih banyak potret lainnya yang melukiskan “kesenduan” madrasah yang memprihatinkan kita semua. Tapi penulis batasi pada soal-soal yang menonjol itu mengingat keterbatasan kita. Sertidaknya dari situ kita mengetahui bahwa madrasah kita dirundung oleh problema-problema substansial  sebagai berikut:

  1. Soal kepemilikan madrasah.
  2. Soal manajemen kekuasaan
  3. Soal kaderisisasi kepemimpinan
  4. Kurikulum
  5. Sumber input
  6. Guru dan semua aspeknya.
  7. Partisipasi Masyarakat Pendukung Madrasah.

B. REORIENTASI
   
  1. Orientasikan dari kepemilikan keluarga ke asset Ummat

Ada sejumlah alasan mengapa perlu diaorientasikan kepemikian madrasah dari keluarga menjadi asset ummat:
a.       Masyarakat yang semakin demokratis menuntut keterbukaan, dan keterbukaan menuntut akuntabilitas pada penyelenggaraan kepentingan ummat, termasuk pendidikan.
b.       Partisipasi masyarakat yang berupa dukungan sarana dan dana, nasehat dan pemilikiran, tenaga keahlian dan fisik, penjembatan kepentingan madrasah pada dunia luar, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan hanya terjadi kalau madrasah menjadi asset ummat dan bukan kekayaan pribadi atau keluarga.
c.       Madrasah bisa terhindar dari pemecahan akibat terjadi pewarisan dari kiai keketurunannya.

  1. Orientasikan Kekuasaan dari referensi dan hereditas ke expertice dan kealiman

Ada sejumlah pertimbangan mengapa kekuasaan perlu diorientasi ke expertice (keahlian) dan kealiman:
a.       Hereditas dan referensi usianya terbatas dan keabadiannya amat tergantung pada apakah keturunannya bisa membawa charisma seperti leluhurnya atau tidak.
b.       Hereditas dan referensi menyuburkan kehidupan gaya feodalisme, sesuatu yang sangat ditentang oleh masyarakat yang sudah melek dan terbuka.
c.       Dari sejumlah sumber kekuasaan (legalitas, kharisma, reward dan kebijakan yang bersifat kursif, referensi) hanyalah expertice dan kealiman yang lebih berdaya fungsi dan lebih tahan lama serta lebih direspeki secara menyeluruh.
     
  1. Dari kaderisasi kepemimpinan tertutup ke terbuka, dan dari kekeluargaan ke acuan sitem.

Selain orientasi demikian sangat Islami, artinya sejalan dengan syariat agama, juga ada sejumlah keuntungan:
a.       Menumbuhkan “istibaqul khair” (daya kompetitif) yang meluas ke semua komunitas madrasah.
b.       Bibit unggul di luar lingkaran keluarga bisa menjadi asset madrasah yang penting dalam ikut serta memberi andil pada kemajuan madrasah.
c.       Keadilan dan kebersamaan yang menjadi cita-cita Islam dan merupakan anjarannya yang paling menonjol yang membedakan dengan agama dan budaya lainnya, akan teraplikasikan. Ajaran yang hukumnya wajib ain ini akan menemukan ruang yang untuk membuktikan kebenarannya.

  1. Mengembalikan kurikulum madrasah pada  tujuan institusional sejarah pendiriannya dan menyelaraskan dengan kepentingan nasional sebagai format kebutuhan kekinian ummat Islam Indonesia.

Ada sejumlah alasan mengapa kurikulum madrasah perlu dirorientasi kembali pada tujuan institusionalnya:
a.       Sejaran pendirian madrasah erat sekali dengan kepentingan penyebaran ajaran Islam.
b.       Konsekwensi logisnya, profil kepribadian muslim sesuai tingkatan usia, harus juga menjadi profil utama alumni madrasah. Untuk kepentingan hal tersebut maka kurikulum harus dikemas sedemikian rupa, dan sudah tentu tidak melupakan kepentingan link and match dengan kebutuhan ummat Islam Indonesia sekarang dan esok.
c.       Tindaka    dapat disebut sebagai mengembalikan jati diri madrasah ke habitatnya semula setelah mengalami banyak intervensi pihak luar
           

Artikel Terkait



0 komentar:

Falsafah Ilmu syarqowi.zofir@gmail.com | © 2010 Template by:
Teroris Cinta Dot Com