Diterjemahkah
Oleh Syarqawi Dhofir
Naufal Ramzi
Abusiri Sholehuddin
PENGANTAR
Bagaimana kita mengukur sebuah sekolah itu efektif, hingga kini bangsa kita belum memiliki standar baku yang bisa dipakai. Berikut akan kami sajikan sebuah contoh cara menerapkan tiga metode yang paling tepat pada data tentang sekolah-sekolah, dan sebuah pembahasan tentang penilaian sekolah efektif.
Walaupun pembahasan menyangkut sebuah dunia teknis , terminologi teknis sedapat mungkin tidak dibicarakan. Fokus perhatian adalah untuk memberikan sebuah tinjauan umum yang luas tentang isu-isu di sekitar masalah tersebut, tetapi dengan tanpa menyertakan detail-detail teknis mengenai metode-metode statistik yang rumit.
Metode statistik yang rumit itu telah dikembangkan untuk memisahkan pengaruh-pengaruh yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan sejumlah murid yang masuk ke sekolah, dari pengaruh-pengaruh yang timbul karena penerapan-penerapan program sekolah itu sendiri.
MENGUKUR HASIL PENDIDIKAN SEKOLAH
Walaupun apa yang menjadi hasil-hasil pendidikan sekolah itu selalu nampak nyata, tetapi ada sebuah jarak yang lebar dan cara pandang yang berbeda dari berbagai pandangan. Persoalannya adalah konsep yang mana di antara pandangan-pandangan itu yang akan digunakan untuk menilai keefektifan pendidikan sekolah.
Konsep keefekektifan membuat perbandingan antara sekolah secara langsung atau dengan cara membuat kriteria yang berasal dari luar sekolah. Pertama, kita perlu membedakan antara:
- hasil sekolah (outcomes of school)
- dan hasil murid (outcomes of pupil).
Walaupun akan selalu sangat nampak paralel antara:
- hasil yang diproduk oleh wilayah pengaruh sekolah (outcome of school domain ) pada diri murid, dengan
- hasil yang diproduk oleh wilayah pengaruh murid itu sendiri (outcome of pupil domain),
tetapi seringkali lebih mudah untuk mendiskusikan isu-isu khusus dalam istilah-istilah yang satu atau yang lain dari wilayah-wilayah pengaruh itu. Misalnya, walaupun nilai rata-rata ujian siswa dari sekolah asal merupakan sebuah hasil sekolah, tetapi secara langsung dikalkulasi dari nilai ujian murid murid dari sekolah yang menyelenggarakan ujian itu. Maksudnya, hasil-hasil murid (pupil outcomes), kebanyakan sekolah-asal rata-rata menggambarkan range of distribution (deret penyebaran) nilai ujian murid perorangan dalam sekolah-sekolah itu, dengan menggunakan nilai rata-rata tersebut.
Hal itu berguna untuk membatasi penggunaan istilah:
- “attainment” yaitu hasil–hasil yang menunjuk pada murid secara perorangan )
- “outcomes” yaitu hasil-hasil yang menunjuk pada sekolah secara kolektif,)
Juga perlu diperkenalkan dua istilah lainnya yang yang selalu dipakai dalam mengukur keefektifan sekolah, yaitu:
- “schools” (sekolah) dan
- “pupils” (siswa).
Istilah-istilah tambahan dari latar belakang siswa:
- “characteristic”: Istilah ini akan dipakai sebagai istilah yang menjabarkan karakteristik para siswa yang dihasilkan oleh sekolah.
- “intakes” : Istilah ini akan dipakai sebagai istilah yang menjabarkan karakteristik para siswa yang masuk perorangan ke sekolah.
Ada dua istilah lagi yang selalu disadari, bila kita ingin mengetahui dan mengukur kemajuan dan kefektifan pendidikan yang diberikan oleh sebuah sekolah:
- Level sekolah.(tingkatan yang dicapai murid ketika murid telah menjalani program pendidikan di sekolah)
- Level murid (tingkatan yang dicapai murid ketika baru masuk sekolah)
- “school intakes” adalah perimbangan level sekolah atas karakteristik level murid pada titik masuknya murid ke sekolah.
Secara ideal, semua karakteristik-status-awal dari murid-murid yang berhubungan dengan hasil murid berikutnya akan dihitung dalam menilai keefektifan sekolah.
Satuan yang lengkap dari karakteristik level siswa akan menunjukkan pada keseluruhan sebagai latar belakang karakteristik dari siswa yang masuk pada setiap sekolah.
Bagian berikut -mengenai penyelesaian hasil sekolah yang berkaitan dengan jumlah yang diterimanya- akan membicarakan dasar pemikiran penghitungan perbedaan dalam jumlah yang diterima di semua sekolah.
Sebelum menilai perbedaan tingkat keefektifan antar sekolah, bagaimanapun, penting untuk membicarakan “the range of outcomes” yang sangat menarik ini.
MEMPERMASALAHKAN UN SEBAGAI UKURAN
Nilai yang dicapai para siswa dalam ujian-ujian negara seringkali ditetapkan sebagai sebuah ukuran yang menyolok tentang kesuksesan akademik sekolah dan siswa. Anehnya, banyak orang tidak lagi mengindahkan apakah setuju atau tidak pada hasil ujian itu sebagai basis penilaian keefektifan dan kemajuan sebuah sekolah, hasil-hasil ujian itu kemudian dipakai untuk seleksi dan penyaluran siswa pada kelanjutan pendidikan dan karier pekerjaannya. Keadaan demikian menunjukkan bahwa hasil ujian negara itu dianggap memiliki pengaruh pada kehidupan siswa ketika siswa itu telah tammat meninggalkan sekolah.
Sebagai perbandingan dan perenungan selanjutnya dalam memajukan sebuah sekolah, mari kita berkaca kepada apa yang terjadi di negara maju sebagai sampel. Di Inggris pada tahun 1990 an, sekitar ¾ dari seluruh siswa mengikuti ujian negara, sekurang-kurangnya satu bidang studi, sebelum mereka meninggalkan sekolah. Ujian negara ini ditarik dari dua sistem ujian:
- The General Certificate of Education (GCE), dan
- Certificate of Secondary Education (CSE) ,
Di Skotlandia yang memiliki sebuah sistem pendidikan yang berbeda, terdapat banyak homogenitas yang lebih besar, sebagian besar siswa mengikuti ujian untuk memperoleh Scottish Certificate of Education (SCE), dan sebagian kecil mengikuti ujian yang ditawarkan Komisi Ujian Inggris GCE atau CSE.
Struktur ujian negara ini telah diganti oleh sistem-sistem baru. Di Sekotlandia, The Standard Grade menetapkan sebuah sistem tiga tingkatan: ujian tingkat dasar, umum dan kredit, sementara itu di Inggris dan Wales ujian CSE dan GCE diganti dengan General Certificate of Secondary Education (GCSE).
Poin pokok dari ini adalah bahwa ujian-ujian negara terus-menerus menetapkan visi yang tinggi dan luas yang digunakan sebagai frame work untuk seleksi memasuki jenjang pendidikan selanjutnya dan karier kerja. Tentu , situasinya lebih kompleks dari itu. The Technical and Ocasional Training Initiative (TVEI) dan The Substantial Amount of Education yang berkedudukan sebagai sponsor dari The Youth Training Scheme menetapkan dua indikasi yaitu:
- pengajaran akademik dan
- keterampilan hidup dan kerja.
Lembaga itu sebelumnya menjadi pelindung tunggal sekolah, dan karenanya tidaklah dapat diisolasi dari lembaga-lembaga lain, hal ini tentu tidaklah sederhana ditinjau dari perspektif akademik.
Selain itu, aneka macam filsafat pendidikan sekolah yang ada di bawah Inggris harus dilihat dalam sebuah perspektif yang lebih luas. Sebuah laporan ILEA (Hargreaves, 1984) tentang pengembangan sekolah menengah telah mencatat empat domain keterampilan siswa yang telah diamanatkan kepada sekolah-sekolah:
- .Kemampuan mengekspresikan dan memperoleh pengetahuan (Knowledge acquisition/expression): kapasitas mengingat pengetahuan dalil, untuk memilih dari pengetahuan tertentu secara tepat dalam jawaban untuk sebuah soal yang khusus, dan untuk melakukan secara cepat tanpa merujuk ke sumber informasi.
- Kemampuan menerapkan pengetahuan/dan meme cahkan masalah (Knowledge application /problem solving): Penerapan pengetahuan itu dia rahkan secara lebih luas kepada praktek dari pada diarahkan pada tujuan-tujuan teoritik, dan diarah kan ke dalam bentuk bicara lebih besar dari pada dalam bentuk tulisan.
- Ketrampilan-ketrampilan sosial dan personal (Per sonal and social skills): kemampuan berkomu nikasi dengan orang-orang lain dalam hubungan tatap muka; kemampuan bekerja sama sebaik mungkin secara perorangan dengan orang-orang lain dalam suatu kempok yang diminati; inisiatif, kepercayaan diri (self reliance) dan kemampuan bekerja sendirian tanpa pengawasan; dan kete rampilan kepemimpinan.
- Motivasi dan tanggung jawab (motivation and commitment): Keengganan untuk menerima kega galan tetapi tak berakibat destrktif.; kesiapan untuk bertahan gigih; kepercayaan diri untuk mempelajari tugas yang sulit sekalipun.
Pelaksanaan ujian negara yang sudah dikembangkan sedemikian rupa itu masih didapati sejumlah kritik, antara lain:
1. Empat domain kemampuan siswa itu baru dimanatkan kepada sekolah dan tidak diamanatkan kepada seluruh objek seperti orang tua, siswa dan lembaga lain yang terkait
2. Penerapnnya hanya terbatas pada pembelajaran di sekolah.
3. Basis penilaian terbatas pada hubungan antara keberhasilan yang diukur dari performance siswa dalam ujian negara dan hasil perjuangan sekolah untuk berprestasi.
4. Domain pertama, perolehan pengetahuan, sangat mungkin terrefleksikan pada penampilan siswa dalam ujian. Seperti ujian-ujian: bidang ujian tulis (yang utama) dan ujian-ujian yang berada di bawah konidisi batas waktu yang ketat dengan persyaratan bahwa para siswa memiliki sedikit sumber-sumber tambahan kemampuan yang tersedia pada mereka.
5. Ujian-ujian itu lebih menekankan pada:
a. pengetahuan dari pada keterampilan.
b. kemampuan menghafal dari pada pemecahan masalah atau kemampuan-kemampuan investigasi,
c. bentuk menulis dari pada bentuk bicara atau bentuk-bentuk komunikasi lainnya.
d. kecepatan dari pada refleksi.
e. prestasi yang dicapai perorangan dari pada prestasi yang dicapai kelompok “ (Hargreaves, 1984, h. 2).
Sedangkan kritik terhadap pelaksanaan ujian negara yang dikhususkan menilai domain kedua (kemampuan menerapkan pengetahuan dan memecahkan masalah) dan domain ketiga dan keempat:
1. Pelaksanaan ujiannya lebih sempit dari domain pertama.
2. Penilaian terhadap domain ini secara khas lebih banyak mengkonsumsi waktu dan selalu memenuhi ujian dengan latihan-latihan praktek.
3. Sedangkan keahlian pada domain-domain ketiga dan keempat tidak dinilai secara langsung oleh ujian-ujian negara, walaupun ujian-ujian itu secara tidak langsung menilai sepajang berkaitan dengan hasil pada dua domain pertama.
Jadi dalam penilaian keefektifan sekolah yang mendasarkan pada basis performance siswa dalam ujian-ujian negara, kita hanya menyentuh gambaran parsial mengenai keadaan bahwa sekolah-sekolah itu berubah dari satu ke lainnya hanya dalam soal istilah-istilah tentang hasil. Kecenderungan untuk mempertimbangkan bahwa yang diukur berfungsi sebagai penilaian yang objektif dari sekolah, menempatkan posisi lebih berbahaya karena yang demikian berarti melakukan penyempitan seluruh kriteria penilaian keefektifan sekolah. Dan karenanya maka hal itu sangatlah penting.
Ada kritik lain dari Torrance (1986). Dia menampilkan sejumlah issu yang berkaitan dengan penggunaan pelaksanaan ujian sebagai sebuah basis penilaian sekolah. Keyakinan pada ketidaksetujuannya terhadap penggunaan ujian negara didasarkan pada tiga kritik:
1. Angka-angka ujian lebih banyak dirancang untuk memilah-milah siswa dari pada memilah-milah sekolah. Padahal penilaian sekolah secara langsung akan berkaitan dengan perkembangan sekolah di masa yang akan datang
2. Angka-angka ujian dan ukuran-ukuran tentang karakteristik latar belakang siswa tidak dapat dipercaya Padahal informasi yang kurang tepat akan menjual kejujuran secara cepat
3. Ukuran-ukuran pelaksanaan ujian dan karakteristik latar belakang siswa tidak akan terukur dengan keakuratan maksimum yang bisa dilakukan.
Sungguhpun ada kritik semacam itu, tentu saja, bagaimanapun, hal itu tidak berarti bahwa ujian-ujian itu tidak benar menurut konteks ini. Sungguhpun tanda-tanda ujian yang terindikasi lebih dahulu menunjukkan bahwa tidak dapat mengukur semua aspek keberhasilan siswa, tetapi tanda-tanda itu secara relatif akurat dapat saja mengukur keberhasilan siswa dalam hal domain pertama yang baru dibicarakan di atas. Yang demikian didukung oleh kenyataan yang disimpulkan dari hasil penelitian yang diungkap oleh Torrance menunjukkan bahwa indikasi-indikasi yang diberikan, secara relatif dapat dipercaya (reliabel), dan bukan ditolak sama sekali.
Ketidaksetujuan utama Torrance terletak pada usaha-usa ha penyamaan dan pembandingan pengaruh yang diberla kukan untuk semua daerah ujian dan untuk semua waktu. Dalam hal ini dia benar bahwa problem terbesar ada pada masalah tersebut, dan hal itu menunjukkan bahwa peneli tian-penelitian keefektifan sekolah butuh mencermati dae rah-daerah pelaksanaan ujian dalam keadaan bagaimana siswa mengikutinya atau menganalisa data para siswa di seluruh daerah-daerah pelaksanaan ujian.
Sekali lagi, telah maklum bahwa karakteristik yang menjadi latar belakang siswa sangat kurang memadai, tetapi bila karakteristik itu dikumpulkan dengan lebih teliti maka ukuran-ukuran itu akan menjadi bisa lebih dipercaya.
Dalam istilah-istilah jargon yang digunakan dalam literatur, ujian-ujian negara itu dianggap “kurikulum berbahaya” . Tentu saja istilah ini tidaklah tepat, tetapi dalam batas-batas yang tinggi mungkin demikian. Gambaran ujian-ujian yang demikian ini akan lebih dipertinggi lagi oleh “The introduction of criterion-referenced examinations” (Pengenalan Ujian-ujian yang Merujuk pada Kriteria) dari pada “The present norm-refrenced examinations” (Ujian-ujian yang Merujuk pada Norma yang Berlaku).
- Pada Criterion Referenced Examinations nilai-nilai diberikan atas dasar beberapa kriteria yang didefinisikan ulang mengenai apa yang disebut sebuah jawaban yang benar,
- sementara dalam norm referenced examinations nilai-nilai ditentukan oleh kecerdasan jawaban-jawaban siswa dibanding dengan jawaban-jawaban para siswa yang lain.
Di bawah sistem Criterion referenced tidak ada kuota pembatasan awal tentang jumlah siswa yang bisa lulus pada setiap level,: mereka bisa, misalnya, mendapat nilai 90 % atau bahkan di atasnya. Dalam sistem norm-referenced, di satu sisi, para penguji memiliki proporsi prosentase siapa di antara mereka yang dikelompokkan akan lulus dalam ujian, misalnya 50 %.
“The Standard Grade” (Tingkat Kualitas Standar) yang diperkenalkan sebagai pengganti ujian berstandar “Ordinary Grade” (Tingkat Kualitas Biasa) di Skotlandia mula-mula dibangun di dalam bingkai kerja Criterion referenced, walaupun berbagai penekanan telah mengurangi kesetiaannya pada cita-cita Criterion Referenced itu sendiri.
Kritik bahwa nilai-nilai ujian bisa menjadi kurang relevan terhadap evaluasi sekolah terpaku pada asumsi yang salah bahwa nilai-nilai itu adalah elemen satu-satunya atau selalu yang utama dalam banyak evaluasi yang demikian.
Hal itu juga menimbulkan issu kepada siapa evaluasi-avaluasi yang demikian ditujukan dan untuk tujuan apa evaluasi itu dilaksanakan. Tidak ada satu strategi evaluasi tunggal yang bisa berguna secara tepat untuk semua tuju an. Jadi penting sekali adanya pembatasan tujuan karena boleh jadi seseorang hanya ingin sekali menilai perbedaan antar sekolah yang berkenaan dengan ujian performance para siswanya. Jelasnya, penelitian keefektifan sekolah memiliki aturan main yang terbatas dalam memerankan pola penilaian staf, dan boleh jadi tidak merupakan aturan yang langsung menyentuh pola pengembangan staf.
Program-program pengembangan sekolah yang sukses di Amerika Serikat bagaimanapun mengandung sebuah atu ran pokok mengenai pengawasan dan penilaian hasil. Program-program itu telah digunakan untuk memperoleh informasi mengenai kemajuan akademik dari aneka ragam tipe siswa secara perorangan dalam sekolah dan umpan balik dari keefektifan strategi-strategi pengembangan khusus. Dalam konteks ini penilaian-penilaian yang demikian tidak diharapkan untuk mengha silkan sebuah perkiraan sederhana atau indeks tentang keefektifan, tetapi diharapkan untuk memproduk indikator pengaruh praktek-praktek khusus terhadap peringkat hasil (range of outcome).
Semua itu akan menjadi fakta-fakta dalam pembicaraan berikut, bahwa idea tentang indeks unidimensional tunggal yang berkaitan dengan keefektifan tidak dapat dipertahankan, karena sekolah-sekolah hampir semuanya memiliki keefektifan yang berbeda untuk tipe-tipe siswa yang berbeda.
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam menilai keefektifan sekolah:
1. Perimbangan antara perbedaan antar sekolah perbedaan antar sektor-sektor sekolah
2. Perimbangan antara perbedaan antar sektor-sektor sekolah perubahan-perubahan nilai siswa di sepanjang waktu.
3. Perimbangan antara perubahan-perubahan nilai siswa di sepanjang waktu. Dan perbedaan dalam sistem karena terdesak oleh keadaan-keadaan
Sudahkah UN kita memperhatikan hal-hal semacam itu, sesuatu yang seharusnya dapat dilakukan.
PENGGUNAAN KEEFEKTIFAN SEKOLAH
Luas kegunaan-kegunaan studi keefektifan pendidikan sekolah sekarang telah menjadi tak terbatas. Namun demikian hingga kini masih tetap ada sekumpulan issu teknis yang harus diajukan sebelum penelitian yang demikian bisa dilaksanakan.
Secara ideal, perbedaan dalam keefektifan antar sekolah, setelah penyesuaian karakteristik yang menjadi latar belakang jumlah siswa yang diterima, akan bisa diterangkan oleh perbedaan proses-proses sekolah, ilmu pendidikan dan lain-lain. Bagaimana pun satuan-satuan data yang mengandung informasi tingkatan siswa yang diperlukan tentang latar belakang dan hasil-hasil yang dicapai, tidak mengandung ukuran-ukuran yang diper lukan untuk mengukur karakteristik-karateristik yang res ponsip untuk memproduk perbedaan-perbedaan keefek tifan antar sekolah. Kadang-kadang, hanya studi-studi yang direncanakan secara khusus untuk tugas itu, seperti The Rutter Study (Rutter et al., 1979) dan Inner London Junior School Project (Mortimore et al., 1988) yang mengandung dua informasi tentang karakteristik-karakteristik jumlah siswa yang diterima dan karakteristik-karakteristik sekolah.
Bagaimanapun, ada satuan-satuan variasi data yang tersedia yang mengandung dua hal:
1. Informasi hasil dan latar belakang siswa yang memberi kan sebuah basis untuk mengestimasi variasi itu dalam hasil sekolah setelah penyesuaiannya dengan jumlah murid yang diterima.
2. Estimasi-estimasi yang diajukan berikut didasarkan pada data tentang semua sekolah- menengah Skotlandia yang tersedia dalam Arsif Data Pendidikan Pendidikan Skotlandia, Scottish Educational Data Archive (SEDIA). Willms dan Cuttance (1985) sejak awal telah mengestimasi keefektifan sebuah sub-himpunan dari dua puluh satu sekolah dalam satu otoritas lokal Skotlandia, dan Gray (1986) telah menganalisa data yang serupa tentang empat puluh satu sekolah yang digambarkan dari dua otoritas lokal Inggris.
MENILAI KEFEKTIFAN
Dalam pembahasan bagian ini, tiga model keefektifan yang yang terdapat dalam literatur akan diperbandingkan. Hanya satu dari tiga model itu yang telah menunjukkan estimasi yang valid dan benar tentang keefektifan setelah menghitung jumlah siswa yang diterima oleh sekolah. Tiga model dinaksud seperti
1. The Standards Model
2. The School-level Intake Adjusted Model
3. ThePupil-level Intake adjusted Model
THE STANDARDS MODEL
The Satndards Model (Gray dan Hannon, 1986) adalah
1. Model tabel dari persekutuan dasar yang sering terdapat di surat kabar.
2. Model yang terdapat di laporan hasil-hasil ujian sekolah yang ditentukan wajib oleh Undang-undang Pendidikan sebelum tahun 1980.
3. Model ini berkenaan dengan performance siswa yang berlawanan dengan beberapa norma atau standar eksternal, kadang-kadang berkenaan dengan penampilan rata-rata seluruh siswa yang ada dalam sistem itu.
4. Penilaian terhadap performnace sekolah secara sendiri-sendiri atau per-sektor ( misalnya perwilayah sekolah) dilakukan dengan cara membandingkan penam pilan rata-rata para siswa di sebuah sekolah asal.
5. Penampilan sekolah dinilai atas dasar demokratis dan ditaruk secara kontinum, dari performance level terendah hingga level tertinggi. Yang ada di atas garis tengah disebut memiliki performan di atas rata-rata, dan yang ada di bawah garis tengah itu adalah penampilan yang bernilai kurang dari rata-rata.
Model ini secara fundamental dikritik karena:
1. Tidak memadai sebagai sebuah alat penilaian keefektifan sekolah, karena kegagalannya dalam menjumlah karakter-karakter jumlah siswa yang diterima di sekolah (Golstein dan Cuttance, 1988).
2. Tidak mampu mengindikasi keefektifan sekolah yang berkenaan dengan perolehan-perolehan yang dibuat oleh siswa. Agar supaya bisa menilai tingkat perolehan-perolehan yang dibuat oleh siswa pada setiap sekolah maka perlu mengontrol karakteristik-karakteristik latar belakang dan nilai utama para siswa mulai sejak awal masuknya mereka ke sekolah.
Bagaimanapun, kebanyakan alat-alat ukur prestasi yang cocok dengan titik awal masuknya ke berbagai tingkat pendidikan sekolah sering kali juga tidak cocok dengan tingkat di mana para siswa keluar dari tingkat pendidikan sekolah itu. Sebuah alat ukur yang menangkap secara memadai perbedaan keterampilan dan pengetahuan di sepanjang deretan para siswa, katakan masuknya ke pendidikan sekolah menengah, juga nampaknya tidak akan bisa menangkap secara memadai baik seluruh deret (full range) atau satu level keterampilan dan pengetahuan yang dicapai pada waktu siswa itu meninggalkan pendidikan sekolah menengah. Hal ini karena tipe-tipe pengetahuan dan keterampilan yang memberikan ciri-ciri khas (karakter) kepada para siswa pada aneka macam tingkatan pendidikan sekolah, tidak dapat secara mendesak diperlihatkan sebagai kumulatif (kumpulan) dalam sebuah struktur belajar yang berbentuk hirarkis linear.
Jadi ini nampaknya , satu ukuran tunggal yang cocok dengan masuknya ke beberapa tingkat pendidikan sekolah juga sensitif pada kurikulum khusus di mana siswa itu telah menjadi terbuka selama masa belajar di tingkat sekolah itu.
Untuk alasan itu, plus pertimbangan praktis, maka informasi utama mengenai hasil itu jarang tersedia untuk mengawinkan dengan data tentang hasil siswa dibanding teman-teman se-almamater yang keluar dari masing-amsing tingkatan pendidikan sekolah. Hal itu penting sekali untuk mengadopsi sebuah penyelesaian terbaik kedua bagi masalah penyesuian perbedaan yang terdapat dalam nilai utama para siswa pada waktu masuknya mereka ke setiap tingkatan pendidikan sekolah.
Penyelesaian yang diambil pada umumnya menggunakan ukuran ciri khas keahlian siswa yang telah diketahui untuk diasosiasikan dengan hasil yang dicapai, misalnya kelas sosial siswa dengan pendidikan orang tua, dan dimana tersedia untuk memasukkan ukuran-ukuran hasil utama siswa dalam bidang-bidang kurikulum yang se-rumpun (cognate curriculum areas) untuk mengontrol hasil yang dicapai dan alat-alat ukur hasil yang dicapai yang ada sekarang yang pada umumnya disekor di atas metrik yang berbeda, perbedaan antar dua siswa akan diajukan lebih sebagai sebuah indikasi kemajuan diban ding diajukan sebagai perolehan-perolehan tambahan sis wa.
Estimasi-estimasi mengenai keefektifan sekolah yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan itu semuanya akan diajukan sebagai estimasi–estimasi mengenai intake-adjusted. (karakteristik para siswa yang masuk perorangan ke sekolah yang telah disesuaikan). Estimasi-estimasi mengenai perbedaan hasil sekolah yang telah dikemukakan baru-baru ini didasarkan atas sebuah model yang berisi ukuran-ukuran untuk mengontrol karakteristik sosial siswa yang terdapat dalam school intakes (jumlah karakteristik siswa yang diterima), tetapi bukan untuk dipakai menilai nilai-nilai dan prestasi-prestasi utama yang dicapai oleh para siswa (prior attainments of pupils). Agar supaya memberi tekanan pada kualifikasi-kualifikasi yang harus berhubungan dengan estimasi-estimasi itu, mengingat estimasi-setimasi itu hanya didasarkan pada sebuah model yang tidak me ngandung kontrol terhadap nilai utama, maka estimasi-estimasi itu akan diajukan lebih sebagai penyederhanaan intake adjusted school outcomes (hasil sekolah yang disesuaikan dengan jumlah siswa yang diterima) diban ding sebagai estimasi-estimasi mengenai keefektifan se kolah.
SCHOOL-LEVEL INTAKE-ADJUSTED MODELS
Model ini bercirikan:
1. Menilai keefektifan sekolah atas dasar level siswa, lebih dari sekedar level sekolah,
2. Keefektifan sekolah secara individu telah diukur dengan tingkatan ke tingkatan performance di mana sekolah-sekolah berada, rendah atau tinggi, setelah melakukan penyelesaian komposisi sosial rata-rata dan komposisi nilai utama dari jumlah siswanya yang diterima (pupil inteke)
3. Komposisi pupils outcome dan intake menetapkan prediksi terbaik dari performance sekolah pada setiap level komposisi jumlah siswa yang diterima.
Perbandingan antara: The School-level Standards dan Intake-adjusted Model tentang keefektifan bisa mengarah pada kesimpulan-kesimpulan yang bertentangan mengenai keefektifan sekolah secara individual. Sekolah-sekolah di atas garis pusat berpenampilan di atas rata-rata nasional, walaupun dikatakan berada di atas rata-rata menurut The Standards Model, tetapi dalam bidang yang gelap hingga ke samping kanan garis lurus vertikal menampilkan harapan yang rendah dalam konteks The Intake-adjusted model, dikalahkan oleh komposisi rata-rata intake mereka yang di atas. Secara sama, sekolah-sekolah di bawah garis pusat semuanya menampilkan rata-rata nasional yang rendah dalam konteks The Standards Model, tetapi menampilkan harapan yang tinggi (above expectation) dalam konteks The Intake-adjusted Model. Jika sekolah-sekolah itu jatuh ke dalam bidang gelap, maka ia dikalahkan oleh intakes sekolah tersebut.
Gambar Diagram Standards Model yang dilapiskan di atas
School-level Intake- ajusted Model
Dua model yang menetapkan konklusi
yang bertentangan mengenai keefektifan
sekolah dalam bidang gelap Harapan tinggi menurut
Intake-adjusted Model
Rata-rata nasional yang tinggi
Menurut Standards Model
Harapan rendah menurut
Intake-adjusted Model
Rata-rata nasional yang rendah
Menurut Standards Model
Ada beberapa alasan untuk menolak dua model di atas:
1. Secara nyata, sebuah kegagalan untuk menyesuaikan ukuran-ukuran keefektifan sekolah dengan karakteristik para siswa dan pada saat yang sama menyesuaikan intakesnya dengan sekolah, menjadikannya tidak valid sebagai ukuran tentang nilai yang ditambahkan oleh seko lah yang bersangkutan, dan oleh karena itu kontradiksi-kontradiksi kesimpulan seperti yang telah ditunjuk dalam diagram di atas mengajak kita untuk mencari model yang lain.
2. Sebuah model yang tidak cocok (seperti The Standards Model) mengenai keefektifan sekolah menetapkan kepada kita sebuah estimasi tentang level absolut dari nilai rata-rata para siwa dalam sebuah sekolah, tetapi itu tidak menunjukkan luas kemajuan siswa pada setiap sekolah. Level absolut dari kinerja ini adalah produk banyak faktor non sekolah yang ditambahkan menjadi faktor-faktor sekolah. Secara khusus ia bergantung secara krusial pada level nilai utama para siswa dan pada saat itu juga ia menggantungkan intake pada sekolah, dan karena itu maka tidak tepat untuk menganggapnya sebagai sebuah ukuran langsung keefektifan setiap sekolah.
PUPIL-LEVEL INTAKE-ADJUSTED MODELS
Jadi sejauh ini pembicaraan masih dalam konteks performance rata rata para siswa pada setiap sekolah, tetapi karena ada korelasi antara karakteristik siswa yang berasal dari faktor:
1. Keturunan (asribed pupil characteristics)
2. Perolehan nilai siswa secara individual.
maka para siswa yang karakteristik background berbeda dalam sebuah sekolah akan memiliki level perolehan nilai yang berbeda. Level perolehan nilai para siswa yang memiliki nilai utama yang tinggi kadang-kadang didapati lebih tinggi dari perolehan nilai para siswa yang berada pada level perolehan nilai yang lebih rendah. Oleh karena itu, nampaknya ada derajat turun naik dalam performance di sepanjang rangkaian perolehan nilai utama dalam sekolah, di samping keberadaan pembedaan kompoisisi intake antar sekolah. Demikian pula ada sebuah derajat turun naik yang dihubungkan dengan latar belakang sosial siswa di sekolah.
Dua istilah teknis, equity (persamaan) dan quality (mutu) diperkenalkan untuk menggambarkan dimensi-dimensi keefektifan. Gambar diagram di bawah ini menunjukkan hubungan antara latar belakang siswa dan nilai perolehan siswa pada empat sekolah yang dihipotesa. Semua siswa pada sekolah A dan B tampil pada level-level yang lebih tinggi dari pada para siswa yang ada di sekolah C dan D, untuk semua level perolehan nilai utama para siswa. Jadi, tanpa memperdulikan apakah para siswa memiliki perolehan nilai utama yang lebih tinggi atau yang lebih rendah, [1] mereka akan tampil lebih baik di sekolah A dan B dari pada di sekolah-sekolah C dan D. Ini mempresentasikan dimensi kualitas sekolah (dimention of school quality) dan menurut istilah-istilah teknis dapat dimodel sebagai intercept (penahan) dalam regression equation (persamaan regresi) pada setiap sekolah.
Dalam setiap dari empat sekolah pada gambar diagram berikut ada sebuah derajat turun naik (gradient) yang menggambarkan perbedaan performance antar siswa yang memiliki perolehan nilai utama yang lebih rendah dan yang lebih tinggi. Gradient ini akan diajukan sebagai Equity differential (Sifat perbedaan dalam kesamaan) dalam setiap sekolah, dan ia dimodel sebagai tempat landai (slope) garis regresi pada setiap sekolah. Untuk keperluan analisa, sekolah-sekolah yang berada di tempat sangat miring (steep slope) dapat menunjukkan sebagai equalizing (penyamaan), karena dalam perbandingan dengan sekolah-sekolah yang lain, sekolah-sekolah itu menaikan perolehan nilai para siswa yang memiliki perolehan nilai utama yang lebih tinggi ke yang lebih tinggi dari pada mereka yang memiliki perolehan nilai utama yang lebih rendah. Dan sekolah yang berada di flatter slope (tempat miring yang lebih tinggi) menunjukkan sebagai equalizing (penyamaan), karena sekolah ini meninggikan perolehan nilai siswa yang memiliki perolehan nilai yang lebih rendah dibanding dengan mereka yang memiliki perolehan nilai utama yang lebih tinggi, lebih dari sekolah-sekolah lainnya. Ini tidak dimaksudkan bahwa para siswa yang berasal dari perolehan nilai utama yang lebih, tampil lebih bagus dari pada siswa yang berasal dari perolehan nilai utama yang lebih tinggi dalam penyamaan sekolah, hanya ingin menunjukkan bahwa ada sedikit perbedaan antar dua kelompok itu pada sekolah-sekolah yang telah disebutkan.
Gambar Perolehan Gambar Kualitas Sekolah dg
Nilai Siswa pada Empat Matrik Equity dari Empat
Sekolah Sekolah
|
|
Sekolah A
Sekolah B
|
|
Sekolah C u
a
Sekolah D l
i
t
a
Siswa siswa siswa s
lemah rata-rata unggul
Istilah-istilah “advantage” (unggul) dan “disadvantage” (lemah) yang bersifat sosial sekarang diperkenalkan untuk menunjukkan para siswa yang memiliki nilai utama tinggi dan rendah, dan berikutnya siswa rata-rata secara national. Pada gambar diagram kiri garis-garis regresi untuk sekolah A dan B berpotongan, menunjukkan bahwa para siswa pada seluruh level perolehan nilai utama tidak menampilkan lebih baik di sekolah A dari pada di sekolah B, dan sebaliknya. Siswa dengan level-level lebih tinggi dalam perolehan nilai utama tampil lebih baik di sekolah A. Performance siswa yang diharapkan yang diberi perolehan nilai utama bergantung pada dua hal: “quality” (intercept, penahan)) dan “equity” (slope, tempat miring) untuk masing-masing sekolah. Dari analisa dimensional keefektifan sekolah seperti ini memungkinkan untuk mengklasifikasi keefektifan setiap sekolah dalam sebuah kotak silang dua, satu berisi dimensi “quality” dan satu lagi berisi dimensi “equity”, sebagaimana terdapat pada gambar sebelah kanan. Jelas kami ingin sekali bergerak ke arah sebuah sistem yang di mana seluruh sekolah memiliki performance di atas dimensi kualitas. Bagaimanapun, apakah sekolah-sekolah “equalizing” (penyamaan) atau “disequalizing” (bukan penyamaan) yang ditunjuk akan bergantung penilaian dan keputusan masyarakat tentang tingkatan perbedaan dalam menampilkan kesesuaian yang dipertimbangkan antar siswa dalam level-level yang berbeda mengenai perolehan nilai awal.
Model kumpulan level sekolah dari bagian pertama gagal menangkap perbedaan dalam sekolah yang dipresentasikan oleh sifat perbedaan kesamaan (equity) dalam model “present pupil-level”. Sebenarnya, apa yang sama untuk memaksakan perbedaan persamaannya akan menjadi sama dalam semua sekolah. Hal ini akan dipresentasikan ulang oleh garis-garis paralel bagi empat sekolah dalam gambar gambar kiri. Jika demikian, perbedaan perolehan nilai bagi beberapa pasangan sekolah akan secara konstan berlaku untuk semua tipe siswa. Ada fakta bahwa perbedaan kesamaan berbeda di semua sekolah (Cuttance, 1988a; Raudenbush and Bryk, 1986), jadi, Model Kumpulan Level Sekolah (the School-Level Aggregate Model) nampaknya mengajukan estimasi yang salah mengenai perbedaan antar sekolah. Memaksakan perbedaan persamaan untuk menjadi sama pada semua sekolah secara salah berimplikasi memberi kemungkinan untuk mengikhtisarkan keefektifan sekolah bagi tipe-tipe siswa atas dasar sebuah hasil yang diberikan sebagai skor di atas sebuah indeks unidimensional tunggal (singgle unidimensional index).
Bagian awal telah menunjukkan bahwa the Standards Model tidak cocok untuk menilai perbedaan-perbedaan kefeektifan antar sekolah, karena ia gagal untuk memperhatikan: dari perbedaan intakes hingga perbedaan sekolah. Sebab dari itu adalah karena the School Level Adjusted Model telah mampu menunjukkan kontradiksi kesimpulannya yang digambarkan dari the Standards Model. Seperti telah ditunjukkan di atas, the School Level Adjusted Model juga gagal secara serius karena tidak menyertakan sifat perbedaan persamaan (equity differential) untuk membedakan seluruh sekolah. Sebagai gantinya, ia memaksakan tempat miring yang sama (same slope) untuk hubungan antara karakteristik latar belakang siswa dan perolehan nilai pada data untuk setiap sekolah. Hanya satu dari tiga model yang dipertimbangkan di sini untuk memperoleh sebuah pendekatan yang valid dalam mengestimasi kemajuan siswa yang dihubungkan dengan sekolah yang telah dipertimbangkan, yaitu model “the Pupil-level Intake Adjusted Model”. Model ini mampu menyesuaikan perbedaan-perbedaan antar sekolah dalam kaitannya dengan karakteristik siswa hingga perolehan nilainya. Hanya penelitian-penelitian Inggris yang telah menggunakan model ini untuk menilai variasi keefektifan antar sekolah, yaitu Aitkin dan Longford (1986) dan Gray (1986, Mortimore (1988) dan Willms dan Cuttance (1985). Penelitian yang dilakukan oleh Marks dan Pomian-Srzednicki (1985), Marks (1983) Gray dan Jesson (1987) tentang perbedaan hasil antar LEA yang menggunakan the school adjusted model yang telah disebut di atas bahwa tidak efisien, tetapi penelitian-penelitian mengenai perbedaan-perbedaan otoritas lokal dilaporkan oleh Wilms (1987) dan oleh Cuttance (1988) keduanya didasarkan pada the pupil-level adjusted model.
Kekurangan-kekurangan the standards model dan the school-level adjusted model membawa pada analisis-analisis yang mengarahkan estimasi variasi antar perbedaan sekolah ke berbagai sektor. Variasi antar sekolah bisa menjadi pemikiran mengenai, seperti model sektor sederhana dengan semua sekolah yang memiliki satu sektor, sementara penetapan sekolah-sekolah pada LEA mereka adalah sebuah pensektoran sistem yang didasarkan pada struktur administratif sistem sekolah. Kriteria lain untuk membagi sistem ke berbagai sektor kepentingan khusus telah memasukkan sektor-sektor pilihan versus sektor-sektor komprehensif (Steedman, 1980, 1983; Gray, 1983; McPherson dan Willms, 1987), Sekolah Katolik versus sekolah-sekolah sekuler dan sektor-sektor yang didasarkan pada periode di mana sekolah-sekolah itu ditetapkan, pilihan sekolah dan tipe-tipe komunitas yang telah mereka hidangkan (Cuttance 1988b) dan sekolah pemerintah versus sekolah-sekolah swasta (Coleman 1983; Colman dan Hoffer, 1987).
Analisis-analisis yang dikemukakan berikut mengilustrasikan penggunaan the pupil–level adjusted outcome model pada pengestimasian perbedaan keefektifan antar sekolah, dan penggunaan pengklasifikasian sistem pada sektor-sektor yang mengurai secara berkaitan tingkatan pilihan-pilihan sekolah dan tipe-tipe komunitas yang mereka sediakan.
KESIMPULAN
Untuk menilai sebuah sekolah efektif atau tidak, unggul atau tidak, maju atau tidak maka diperlukan:
1. Data perbedaan hasil (outcome) antar sekolah dan antar sektor sekolah.
2. Data tentang kemajuan yang melintasi sistem dari setiap teman seangkatan yang masuk.
3. Data tentang faktor-faktor khusus yang berpengaruh sebagian periode yang berbeda-beda dari tahun ke tahun,
4. Data tentang faktor-faktor sistem yang diberikan sepanjang periode yang mungkin saja ada perbedaan dalam penerapannya.
5. Data yang berupa nilai prestasi akademik
6. Data tentang karakteristik sosio-ekonomis keluarga siswa yang meliputi:. ukuran status sosio-ekonomis, level nilai pendidikan ibu siswa, dan jumlah anak dalam keluarga.
7. Data hasil analisis mengenai tipe-tipe sekolah yang bisa dipergunakan untuk membagi sistem sekolah ke berbagai sektor. Sebagai contoh analisis yang disajikan berikut mengklasifikasi sekolah sesuai tingkat selektivitas menurut jumlah siswa yang masuk ke sekolah dan menurut tipe masyarakat yang mereka layani.
8. Data perbedaan jumlah siswa untuk setiap sekolah, yang demikian mempengaruhi nilai level siswa secara perorangan.
9. Mempertimbangkan sistem yang dipakai oleh sekolah, misalnya:
a. Sekolah menengah umum dengan masa studi enam tahun dengan jumlah siswa yang masuk tanpa disaring.
b. Sekolah menengah umum dengan masa studi enam tahun dan memiliki sejumlah siswa yang masuk dengan melalui seleksi
c. Sekolah menengah umum dengan masa studi enam tahun dan memiliki sejumlah siswa yang masuk tanpa seleksi, tetapi telah melalui satu, dua, tiga atau empat tahun sekolah sebelumnya.
d. Sekolah menengah umum dengan masa studi enam tahun dan memiliki sejumlah siswa yang masuk melalui seleksi, tetapi telah melalui satu, dua, tiga atau empat tahun sekolah yang dilalui sebelumnya.
e. Sekolah menengah umum yang menerima setelah melalui saringan dari ujian negara dan lembaga-lembaga indepemnden.
f. Sekolah pembantu berupa kursus singkat
g. Sekolah menengah umum dengan masa studi enam tahun yang menggunakan ujian seleksi penerimaan atau transfer dari sekolah pembantu berupa kursus singkat pada akhir tahun ke dua atau keempat dari masa belajar di sekolah menengah
h. Sekolah-sekolah lain. Ia merupakan kelompok sekolah kecil yang tidak bisa dikelompokkan berdasarkan kriteria di atas.
10. Data hasil analisis mengenai tipologi sekolah yang harus dibedakan antara tiopologi yang satu dengan lainnya, misalnya:
a. Daerah pedesaan,
b. Kota kecil baru,
c. Kota kabupaten kecil,
d. Kota kabupaten besar dan
e. Penduduk kota besar (Cuttance, 1988b)
NB: Dipresentasikan Pada Seminar Pendidikan Disampang pada, tanggal 1 september 2005
[1] Van der Wolf, J.C. (1984) Schooluitval: een Empirisch OnderZoaek Naar de Samenhang Tussen Schoolinterne Factoren en Schooiuitval in Het Regulier Onderwijs, Lisse: Swets & Zeitlinger
0 komentar:
Posting Komentar