Oleh: Sarqawi Dhofir
Tipe Wanita Ideal K. Idiris
Seorang nenek cukup umur, asal desa Prenduan datang bersilaturrahim kepada Kiai Idris. Di desanya, nenek yang bernama Ny. Salma itu dikenal sebagai tokoh adat masyarakat Prenduan. Disebut tokoh adat, karena nenek itu selalu mengetuai setiap rangkaian upacara perkawinan, dari mencari jodoh, peminangan hingga ke perkawinan.
Melihat Kiai Idris belum kawin, nenek yang terkenal dalam soal “kawin-mengawinkan” itu, secara spontan bertanya, “Pak Kiai, “ katanya minta perhatian, “Apakah Pak Kiai tak mau kawin?” Pak Kiai Idris sambil tersenyum tak segera menjawab. Kembali Sang Nenek menghujani pertanyaan berikutnya, “Kalau Pak Kiai suka, saya akan mencarikannya, tapi beri tahu dulu, wanita seperti apa yang diinginkan oleh Bapak Kiai?”
“Sederhana Nyi Salma, cukup dua syaratnya”, Jawab Pak Kiai sambil berpikir.
“Apa itu ?”, sambut Nyahi Salma keburu ingin tahu, dengan perasaan akan mendapat kebanggaan bila bisa membantunya
“Yang pertama, wanita itu dingin di hati, (cellep e ateh = bhs Madura). Kedua, wanita itu dingin di mata (lebur eabas)”, kata Pak Kiai yang masih muda itu, sambil tersenyum.
“Wah, pendek tapi sulit juga ya mencarinya”, komentar Nyahi Salma.
Lalu bagaimana dengan anda, mencari yang seperti apa?
Isteri Pertama dan Kedua Kiai Idris
Ketika seorang muridnya ada yang hendak melangsungkan perkawinannya, Bapak Kiai Idris berkumpul bersamanya, ditemani oleh guru-guru TMI pada tahun-tahun 70an. Beliau ingat pada peristiwa ketika mengalami malam pertama bersama Isterinya, Nyahi Zaratul Wardah BA.
“Kamu nanti kalau sudah bertemu dengan isterimu, apa yang harus kamu lakukan pertama?” tanya beliau kepada temanku yang akan kawin.
Seseorang nyelentuk, “Wah kalau dia itu langsung to the point, ” katanya sambil melawak. Spontan orang-orang yang mendengar saat itu menyambutnya dengan geer.
Sambil malu-malu, ustadz Fadli yang saat itu diperolok-olok, rupanya tidak kehilangan semangatnya untuk kembali menseriusi pertanyaan beliau. “Kalau Pak Kiai sendiri dulu apa yang dilakukan pertama?” kata Fadli seakan-akan minta fatwa dan nasehat perkawinan.
“Yang pertama kamu harus katakan kepada isterimu adalah soal yang berkaitan dengan memperkenalkan kepribadianmu. Terutama yang jelek, supaya mudah nantinya terjadi tafahum, saling pengertian. Kemudian tentang prinsip-prinsip hidup yang ingin ditegakkan dalam keluargamu. Dulu ketika akad dan acara walimah usai, kalimat pertama yang saya bisikkan kepada isteri saya adalah, kamu akan saya jadikan istri saya yang kedua. Istri saya kaget. Sebelum sempat bertanya, saya lanjutkan, Istri pertama saya adalah perjuangan, dan kamu adalah istri saya yang kedua”
Sebelum Minta Maaf Sudah Saya Maafkan
Seorang santri dikembalikan oleh Kiai Idris tanggung jawab pendidikannya kepada orang tuanya. Di kalangan santri “dikembalikan tanggung jawab pendidikannya” sama dengan diusir dari pondok. Selain karena santri itu telah berkali-kali mencuri juga karena sudah berkali-kali ditegor, dibimbing dan dibina, namun tetap tak mengalami perubahan. Khawatir penyakitnya menyebar kepada santri-santri lain, Kiai Idris melakukan tindakan bijak tersebut.
Dengan perasaan sebagai seorang pahlawan yang gigih yang bisa menyelamatkan, dengan gagah sang paman dari santri itu datang kepada Bapak Kiai. Setelah mendengar penjelasan dari Bapak Kiai tentang pengembalian tanggung jawab pendidikan ponaannya, sang paman menjawab, “Bapak Kiai, mengapa anak itu tidak bisa dimaafkan, Tuhan saja Maha Pemaaf dan Maha Pemberi Maaf jika hamba-Nya mau bertaubat dan minta maaf ?”.
Kiai Idris dengan tegas dan nada yang memukau pendengarnya menjawab, “Sebelum sampean datang untuk memintakan maaf ponaan sampean, sudah saya maafkan, dan bahkan saya do’akan semoga anak itu segera kembali ke jalan yang benar.” Selanjutnya beliau berkata, “Kalau saya kembalikan tanggung jawab pendidikannya, itu semata karena saya ingin menyelamatkan santri-santri lain yang lebih banyak. juga karena saya sudah merasa tak mampu lagi mendidiknya.”
Kemudian beliau sambil mencucurkan air mata mengatakan, “Tapi bagaimana pun dan sampai kapan pun juga, anak itu tetap anak saya, santri saya, dan bagian dari keluarga besar Al-Amien.”
Tidak Keluar Cuma Pindah Tempat
Karena persoalan yang menumpuk, persoalan spele bisa menjadi penyulutnya. Akhirnya, KH. Jamaluddien Kafie, salah seorang anggota Majlis Kiai Pondok Pesantren Al-Amien pamit dan mohon diri dari Al-Amien. Semua barang-barang beliau telah diangkut sebelumnya dari perumahan guru Al-Amien ke rumah beliau di Prenduan. Ini adalah klimak dari problem yang diperselisihkan itu.
“Pak Jamal ‘kan tidak akan keluar dari Al-Amien, cuma mau pindah tempat” , kata Kiai Idris, datar tapi mantap dan lembut
Almarhum Bakir Hasan, teman seperjuangan KH. Jamaluddien Kafie dan KH. Idris di Al-Amien ketika masa-masa awal perintisan TMI Al-Amien, ketika diberitahukan jawaban K. Idris tersebut, merasa kaget dan secara spontan berkata, “Itu yang beliau katakan, subhanallah, masih muda tapi beliau sudah bisa berlapang dada seperti itu” Kemudian menggelengkan kepala dan terpekur cukup lama.
Memilih Karena Istri
Di acara “Selasaan”, nama rapat mingguan anggota Majlis Kiai Al-Amien dan Majlis A’wan, seorang anggota Majlis berkata, “Kalau saya secara pribadi memilih SBY, pilihan itu sudah mantap. Pertama karena istri saya pengurus PBB. Dan PP PBB telah menyerukan memilih SBY, kalau saya memilih yang lain, saya bisa bertengkar dengan keluarga dan……….”
Mendengar itu KHM Idris berkata, “Saya tidak mempersoalkan pilihannya, silahkan pilih siapa saja yang disukai. Tapi sebagai seorang kiai, apalagi kiai Al-Amien, memilih karena istri itu kurang pantas. Seharusnya kita ini memilih pertama karena Izzil Islam (kejayaan Islam) baru kedua demi kaum muslimin. Untuk Islam itu artinya untuk Allah dan kaum muslimin artinya untuk ummat. Karena bagaimanapun memilih presiden itu ibadah yang dipertanggung-jawabkan kepada Allah”. Lalu “Terlalu naif kalau memilih sekedar karena istri”, tegasnya kembali.
0 komentar:
Posting Komentar