Bagi yang ingin berkonsultasi dengan penulis silahkan klik di sini

Wara'

Sabtu, 05 Februari 2011

Bersikap penuh hati-hati, dan menjauhi sifat meremehkan dalam setiap tindakan disebut “warak”. Dengan singkat Imam Qusyairi mendefinisikan warak dengan “meninggalkan hal-hal yang masih syubhat”, apalagi yang jelas haramnya. Dalam budaya kiai, warak adalah sifat yang paling menonjol yang harus dimilikinya. Apalagi kiai yang sedang memegang jabatan-jabatan legislatif maupun eksekutif dan yudikatif. Kakak sepupu saya yang dikenal sebagai kiai dan sekarang menjabat ketua DPRD suatu hari datang bersilaturrahim pada pamannya dengan mengendarai mobil dinas DPRD. Begitu duduk sang paman langsung menyapanya dengan sebuah pertanyaan, “Sejak kapan kamu membuang sifat warakmu? ldimana kamu taruk kekiaianmu? apakah memang halal mobil dinas dipakai untuk keperluan pribadi ?” Sejak itu kakak saya tak suka lagi menggunakannya kecuali untuk keperluan dinas.

Menurut Imam Ghazali sifat warak itu bertingkat empat. Tingkatan paling rendah adalah meninggalkan barang, niat dan tindakan yang jelas haram. Warak semacam ini dimiliki oleh “ahlul ‘adli” (orang adil). Tingkatan kedua, meninggalkan barang yang belum jelas halal dan haramnya alias syubhat. Warak semacam ini dimiliki oleh orang-orang shaleh. Tingkatan ketiga, meninggalkan sesuatu yang boleh hanya karena takut ada sesuatu yang tak boleh pada sesuatu yang boleh itu. Warak semacam ini dimiliki oleh orang-orang yang taqwa. Tentang tingkatan yang ketiga ini Umar bin khathab berkata, “Kami meninggalkan 90 % dari barang-barang halal hanya karena kami takut terjebak ke dalam sesuatu yang haram”. Berarti hanya 10 % dari barang halal yang diambilnya. Dan tingkatan tertinggi adalah meninggalkan semua yang bebas dari kealpaan. Tingkatan terakhir dan paling tinggi ini dimiliki oleh “ashiddiqien”, yaitu orang-orang yang membenarkan agama tanpa reserve, seperti ke-Islaman Abu Bakar Ashidieq yang selalu berkata, “Oh kalau itu dari Rasulullah, sudah pasti benar”.

Sekedar ilustrasi, barangkali bisa menyentuh nurani kita untuk segera berlatih memiliki sifat warak, ada sebuah kisah sejarah yang sangat menarik. Suatu hari saudara perempuan Basyar al-Khafie berkunjung ke Imam Ahmad, seorang Imam madzhab yang madzhabnya tidak saja diakui oleh NU dalam AD/ARTnya, tetapi diakui pula oleh sebagian kaum muslimin lainnya di dunia. Ia bertanya, “Kami sedang menenun di halaman. Tiba-tiba obor-obor Ath-Thahiriyah lewat di depan halaman kami. Sinar obor itu sampai di halaman kami. Apakah boleh kami tetap menenun di bawah sinar obor itu ?” Imam Ahmad menjawab, “ Siapa kamu ? Semuga Allah mengampunimu.” Ia menjawab, “Saya saudara perempuan Basyar al-Khafie.” Imam Ahmad lalu menangis tersedu-sedu dan berkata, “ Kalau di antara kamu masih memiliki sifat warak yang benar, maka tak akan menenun di bawah sinar obor-obor itu.”

Tentang keutamaan warak, Allah berfirman kepada Nabi Musa as., “Orang-orang yang selalu berusaha untuk mendekati-Ku tak akan pernah bisa mendekati-Ku sebaik yang dilakukan oleh orang warak dan zuhud.”Abu Hurairah, perawi hadits yang sangat populer dan alim berkata, “ Besok di akhirat tamu-tamu Allah adalah orang-orang warak dan zuhud.” Seorang putra dari Ali bin Abu Thalib sedang bernasehat di depan Ka’bah. Hasan Al-Bashrie menanyainya, “Apa dasar agama?”Ia menjawab,”Warak.” Lalu bertanya lagi,”Apa bencana agama ?”Ia menjawab, “Tamak.” Hasan al-Bashri sebagai seorang yang dikenal sebagai tokoh Ahlus Sunnah wal Jamaah, kaget mendengar jawaban itu dan berkata, “Seberat satu biji atom dari warak yang benar lebih baik dari seribu puasa dan shalat”

Warak memang bukan monopoli kiai, tetapi sangat riskan sekali bila tak dimiliki oleh kiai. Lebih riskan bila tak dimiliki oleh kaiai yang menjabat jabatan-jabatan politik.. Dan lebih sangat riskan lagi bila sifat itu tak mewarnai keputusan-keputusan politik mereka. Sekedar sebagai renungan, sebaiknya kita melakukan instrospeksi, “Kita sendiri sekarang berada di tingkat warak yang ke berapa ? Dan bagaimana dengan pemimpin-pemimpin kita sendiri? Lalu apa yang harus kita lakukan bila ternyata berada di tingkat nol alias jauh dari warak ?”

*Pondok Pesantren AL-AMIEN Prenduan Sumenep Madura
Kode Pos: 69465 Telp. (0328) 821286

Artikel Terkait



2 komentar:

Unknown mengatakan...

Waro tidaklah akan terjadi kalo bukan dgn LirrosulBirrosul LilghoutsBilghouts

Unknown mengatakan...

Waro tidaklah akan terjadi kalo bukan dgn LirrosulBirrosul LilghoutsBilghouts TrmKsh artikelnya

Falsafah Ilmu syarqowi.zofir@gmail.com | © 2010 Template by:
Teroris Cinta Dot Com