Bagi yang ingin berkonsultasi dengan penulis silahkan klik di sini

POLITIK BHINDARA

Senin, 05 Februari 2001


Netralitas politik Bhindara tidak identik dengan sikap tak peduli dengan urusan politik. Passif pun tidak. Yakin pada kebijakan politik sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan bangsanya, Bhindara selalu aktif mengikuti perkembangan politik di negerinya. Bahkan bukan cukup “mengikuti”, tapi ikut serta pula mempengaruhi kebijakan itu dan memberi sumbangan pemikiran baik dalam bentuk konsep yang utuh, lobi maupun sekedar usul konstruktif. Lewat mana? Bukankah Bhindara tak punya kendaraan politik?

Siapa bilang Bhindara tak punya kendaraan. Kalau satu tidak punya, kalau banyak kendaraan punya. Tokoh-tokoh parpol pusat hingga daerah selalu datang bershilaturrahim ke gubuk Bhindara. Santrinya yang sudah puluhan ribu menyebar di Republik ini  banyak juga yang menjabat jabatan-jabatan penting di pemerintahan, pers, akademik dan dunia politik. Belum lagi teman Bhindara yang tak terhitung jumlahnya. Semua itu nilainya bagi Bhindara lebih dari sekedar satu kendaraan politik  Kesempatannya pun tidak sekedar  pada rapat-resmi.

Bhindara bukan hanya punya banyak kendaraan, tapi juga punya banyak jalur jalan untuk menyampaikan aspirasi dan pikirannya. Dari shilaturrahim, lobi, pertemuan informal, pertemua  formal hingga  institusi-institusi kekuasaan yang resmi. Sakin besarnya potensi itu, ada juga yang menyarankan untuk mendirikan partai politik sendiri. Namun, “Terima kasih atas sarannya”, jawab   Bhindara  untuk menolak dengan sopan. Mengapa menolak?

“Aku ini berjuang di dunia pendidikan dan dakwah. Dunia ini memiliki kepentingan seumur hidup manusia. Tidak musiman. Dan karena itu tidak bisa diintervensi dengan kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat temporal. Lagi pula dua dunia itu bergerak mencari teman, mendamaikan yang bersenketa, bukan mencari musuh. Sekali masuk dalam kotak politik tertentu, berarti harus siap bersaing dengan kotak-kotak yang lain. Pendidikan dan dakwah itu dunia pembebasan dari kebodohan, kemunafikan, kemiskinan, kemungkaran, ekstremitas dan kekufuran. Sekali Bhindara masuk dalam satu kotak partai politik itu artinya  sama dengan masuk ke dalam dunia pembelengguan, atau paling tidak masuk pada ikatan tali kepentiongan sesaat, kepentinan golongan tertentu, dan kepentingan-kepentingan lain yang bersifat terbatas ”

Tetapi mengapa masih aktif juga di dunia politik, bukankah dengan begitu Bhindara juga tidak bebas dari kepentingan?

“Ya benar?”, jawab Bhindara dengan kalem sambil berenung.Kami memang tidak bebas dari kepentingan, namun kepentingan kami berbeda dengan kepentingan partai. Kepentingan kami satu-satunya adalah menyebar rahmah lil ‘alamien. Dalam sepanjang sejarah kemanusiaan, tidak ada yang bisa melakukan demikian tanpa ajaran dari Islam. Keyakinan Bhindara, pluralitas agama, sifat egaliter, toleransi, demokrasi dan etika  politik lainnya yang tertuang dalam sistem nation state semuanya akan bisa mencapai tujuan mulyanya hanya kalau ada dalam bingkai ajaran Islam. Sudah berapa banyak pikiran-pikiran spekulatif dari yang berwujud idea, konsep, teori hingga isme tertentu dicobakan, ternyata  di awal-awalnya melahirkan chaos, di tengah-tengahnya melajukan dehumanisasi dan di ujung-ujungnya menimbulkan penyesalan.”

Atas dasar itu maka dalam pemilihan 2004 ini Bhindara nyumbang pikir untuk pembaca Warkat, dalam pemilihan calon anggota legislatif, silahkan masing-masing kita mengikuti suara partai yang diyakininya, tetapi dalam pemilihan presiden,  baik pada tahap pertama, atau pun bila terjadi tahap kedua, hendaknya memilih berdasarkan perhitungan kepentingan “Islam”.  Kepada teman-teman sebangsa yang berlainan agama, Bhindara sarankan, saudara tidak perlu ragu, yakinlah di bawah payung ajaran dan etika politik Islam, saudara lebih baik, dibanding berada di bawah payung konsep-konsep, idea-idea, teori-teori dan isme-isme lainnya. Islam di Indonesia belum menjadi “payung” baru mayoritas, anda yang minoritas sudah menikmati syurganya Republik. Lihat dan perhatikan nasib minoritas di kebanyakan negara! Masih tidak yakin? Silahkan pelajari Islam!

Sejak menjelang kemerdekaan Republik, telah muncul perbedaan tentang bagaimana Islam diperjuangkan. Perbedaan itu melahirkan dua kelompok: formalis dan esensialis.  Yang pertama berjuang dengan menggunakan simbol-simbol ke-Islam-an, seperti partai Islam, negara Islam, hukum Islam dan lainnya yang serba Islam. Sedangkan yang kedua tidak menggunakan simbol-simbol Islam, tetapi bermuatan etika politik Islam. Ketika Hatta, wakil presiden pertama ditanya oleh sekelompok insinyur muda yang muslim mengapa beliau tidak berjuang untuk Islam, beliau menjawab, “Sama dengan air minum di depan kita ini. Bila diberi sedikit gincu, warnanya akan berubah merah, tetapi rasanya tetap. Tetapi bila ditambah sedikit garam, warnanya tidak berubah, tetapi rasanya langsung berubah. Saya suka garam itu, dan teman-teman ada yang lebih suka gincu”.

Nampaknya, perbedaan antara esensialis dan formalis itu hingga kini tetap mewarnai perpolitikan ummat Islam di Indonesia. Ada sekelompok partai dengan tegas menjadikan Islam sebagai dasarnya seperti PBB dan PKS, dan ada pula sekelompok partai yang didirikan oleh tokoh muslim tidak mau menggunakan dasar Islam, seperti PAN dan PKB. Lalu bagaimana dengan  Bhindara?  Bagi tradisi hidup Bhindara Islam itu harus diyakini di dalam hati, dinyatakan dengan lisan, diamalkan dengan perilaku dan dipersaksikan di hadapan publik. Maka tak ada kamus perbedaan antara fromalis dan esensialis dalam diri Bhindara, keduanya satu hal, yaitu ibadah kepada Allah. Bagi Bhindara, politik itu bagian dari ibadah yang juga dipersembahkan hanya semata demi, oleh dan untuk Allah. Bentuk (form)  dan isinya (essence) harus sama, serasi, harmoni, dan saling terkait secara esensial maupun fungsional.    

Artikel Terkait



0 komentar:

Falsafah Ilmu syarqowi.zofir@gmail.com | © 2010 Template by:
Teroris Cinta Dot Com